Jalan Sukar Menjaga Lajur Demokrasi Indonesia

24 Mei 2017 8:46 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi demonstrasi (Foto: Istimewa)
Masyarakat yang mudah terbelah.
Meski tak menggembirakan didengar dan diakui, begitulah nyatanya yang dialami rakyat Indonesia --yang memang begitu beraneka rupa.
ADVERTISEMENT
Konsolidasi demokrasi, sebagai turunan reformasi yang telah berjalan 19 tahun, kini terancam mengalami kemandekan. Kebebasan bicara (free speech) kerap dijadikan tameng bagi ujaran kebencian (hate speech) yang disebar. Di sisi lain, free speech yang dijamin konstitusi dibungkam lewat pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Sungguh ruwet.
Imbasnya, kebebasan berekspresi sekadar hal semu bagi sebagian orang, dan konflik horizontal merebak cepat hanya dengan sedikit pemicu.
Pertanyaannya: kenapa Indonesia, yang mengusung semboyan Bhinneka Tunggal Ika --berbeda-beda tapi tetap satu; unity in diversity-- nyatanya mudah pecah?
Wahyudi Djafar, peneliti dan Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya Hak Asasi Manusia Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), berpendapat salah satu sebabnya ialah berbagai problem masa lalu Indonesia yang belum juga tuntas, dan itu menjadi bara dalam sekam yang mudah menyulut konflik.
ADVERTISEMENT
Penyebab lainnya, menurut Mugiyanto Sipil, senior program officer di Human Rights and Democracy (INFID), ialah rakyat Indonesia yang memang belum sepenuhnya siap berdemokrasi dari segi substansi.
“Demokrasi kita masih transisi, masih dalam proses. Masih berupa formal democracy, belum substantif,” kata Mugi.
Mugi dan Wahyudi sepakat, perlu peran aktif pemerintah, termasuk sikap tegas, untuk turun tangan dan mengambil tindakan agar lajur demokrasi Indonesia berjalan seperti semestinya, dan kian matang.
Jokowi. (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
Dari perspektif hak asasi manusia, masih ada kebijakan dan sistem pemerintah yang tak tegas soal kehidupan berdemokrasi --yang secara harfiah memiliki arti: pemerintahan rakyat dengan pandangan hidup mengutamakan persamaan hak, kewajiban, serta perlakuan sama bagi seluruh warga negara.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya, ujar Wahyudi, tujuan yang ingin dicapai pemerintah Jokowi melalui Nawa Cita adalah baik. Sayangnya, sampai sekarang belum ada tindak lanjut tegas untuk mewujudkan kesembilan poin prioritas menuju Indonesia berdaulat itu.
“Sebenarnya visi misi Nawa Cita bisa menjawab beragam persoalan yang mengemuka di Indonesia --jika dijalankan secara konsisten. Namun dua tahun lebih pemerintahan berjalan, belum mampu konsisten mewujudkannya.”
Padahal, kata Wahyudi, dalam dokumen Nawa Cita tercantum janji politik perihal perlindunan kelompok marjinal, penegakan aturan hukum, reformasi politik, hingga janji restorasi sosial untuk menjaga kebinekaan dan kohesivitas sosial.
“Jika seluruh agenda Nawa Cita tersebut terlaksana, tentu Indonesia bisa melalui transisi demokrasi dengan cukup baik,” ujar Wahyudi.
Persoalan HAM dalam Nawa Cita tercantum pada poin 4 yang selengkapnya berbunyi:
ADVERTISEMENT
Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Kami akan memprioritaskan pemberantasan korupsi dengan konsisten dan terpercaya; pemberantasan mafia peradilan dan penindakan tegas terhadap korupsi di lingkungan peradilan; pemberantasan mafia peradilan dan penindakan tegas terhadap korupsi di lingkungan peradilan; pemberantasan tindakan penebangan liar, perikanan liar dan penambangan liar; pemberantasan tindak kejahatan perbankan dan kejahatan pencucian uang; penegakan hukum lingkungan; pemberantasan narkoba dan psikotropika, menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah, dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; perlindungan anak, perempuan dan kelompok masyarakat termarginal; serta penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
ADVERTISEMENT
Soal kunci keberhasilan Nawa Cita dan kematangan demokrasi, Wahyudi dan Mugi sependapat: perlu ketegasan pemerintah.
“Harus tegas bahwa pemerintah Jokowi ini berbeda dengan sebelumnya, apalagi dengan Orde Baru. Harus menarik garis demarkasi bahwa ia menegakkan supremasi sipil, penegakan hukum yang tegas di lapangan,” kata Mugi.
Hal tersebut, tentu saja, belum sepenuhnya terlihat. “Diskusi oleh sipil diserang ormas, didiamkan, dibiarkan. Polisi diam, pemerintah diam. Ini nggak bisa ditolerir lagi,”
Padahal, ada garis demarkasi tegas antara otoritarian (sewenang-wenang) dan demokrasi. Mugi menekankan pentingnya semua pihak, termasuk aparat negara, untuk tidak mengulangi pendekatan otoritarianisme di masa lalu.
“Parahnya, kalau di masa Orde Baru pembungkaman hanya dilakukan oleh negara dan aparatnya, saat ini justru pelaku pembungkaman juga berasal dari aktor non-negara seperti kelompok ormas tertentu,” ujar Wahyudi.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi kebebasan berekspresi. (Foto: Istimewa)
Jokowi sendiri pertengahan bulan ini, 16 Mei, usai menerima sejumlah tokoh lintas agama di Istana Merdeka, menyatakan kebebasan berpendapat berekspresi harus sejalan dengan koridor hukum, Pancasila, UUD 1945, dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika
“Gesekan antarkelompok di masyarakat, mulai saat ini saya minta hal-hal tersebut dihentikan. Jangan saling menghujat karena kita adalah saudara. Jangan saling menjelekkan. Jangan saling memfitnah. Jangan saling menolak. Jangan saling mendemo. Habis energi kita untuk hal-hal tidak produktif seperti itu,” ujar Jokowi.
Sang Presiden mulai tampak lelah campur jengkel menghadapi kepelikan bangsanya.
Dan akhirnya ia berkata, “Saya telah perintahkan kepada Kapolri, Panglima TNI, untuk tidak ragu-ragu menindak tegas segala bentuk tindakan dan ucapan yang mengganggu persatuan dan persaudaraan. Yang mengganggu NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.”
ADVERTISEMENT
Sehari kemudian, 17 Mei, Jokowi dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, berucap kian garang.
“Organisasi yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, kebinekaan, tidak bisa (dibiarkan). PKI, kalau nongol, gebuk saja.”
Kata “gebuk” yang kerap digunakan Soeharto untuk membungkam rakyat itu lantas memicu kritik.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid berkata, “Kita harus mengingatkan kembali Presiden bahwa ini bukan lagi zamannya menggunakan kekerasan, menggunakan ‘menggebuk’ dalam artian membungkam kebebasan, membubarkan organisasi tanpa proses yang benar.”
Indonesia, tampaknya, masih harus meniti jalan panjang menuju kematangan demokrasi.
Simak pula