Edinburgh, Aku Datang!

8 Juli 2017 14:51 WIB
comment
21
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“The more you give, the more you receive --even it hurts.”
ADVERTISEMENT
Perjalanan panjang 12 jam di udara tak sedikit pun memberi rasa lelah. Nyatanya, rasa antusias jauh lebih erat meliputi saya --yang notabenenya baru saja sembuh dari diare dengan intensitas 12 kali bolak-balik kamar mandi dalam sehari. Sekejap, semua rasa sakit, mual, dan kembung hilang saat sudah mengangkasa.
Kalau ada yang bilang setiap perjalanan pasti punya cerita dan nilai yang bisa diambil, saya percaya bahwa perjalanan saya kali ini betul-betul berbuah baik. Belum sampai di Edinburgh, saya sudah bertemu dengan beberapa orang yang sedia berbagi kisah hidupnya. Oia, saya ke Edinburgh karena lulus seleksi menjadi peserta Future News Worldwide 2017 yang diselenggarakan oleh British Council. Ada dua peserta dari Indonesia yang mendapat kesempatan tersebut, dan saya satu-satunya jurnalis mewakili kumparan (kumparan.com).
ADVERTISEMENT
Pesawat terbang dari Jakarta menuju Turki pukul 20:45 WIB. Tiba dini hari pukul 4:30 waktu Turki, saya langsung menuju transit area. Tampaknya, bulan ini menjadi bulan sibuk bagi Ataturk International Airport. Orang berlalu-lalang, kadang bertabrakan satu sama lain. Satu keluarga terlihat terburu-buru mengejar pesawat, sampai-sampai menabrak seorang pebisnis yang sibuk mengetik pesan di gawainya.
Meja-meja hampir penuh diisi penumpang yang menunggu penerbangan selanjutnya. Saya memilih untuk duduk di sebuah meja panjang. Terlihat dua orang penumpang yang dengan nyenyaknya tidur di sebelah, tampak begitu lelah. Saya geser kursi sedikit, khawatir tak sengaja senggol dan mengganggu tidur nyenyaknya.
Ramainya bandara Ataturk. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Tiga jam berlalu saya habiskan dengan mencari koneksi internet yang entah kenapa tak kunjung tersambung, hingga akhirnya terpaksa membeli paket internet 24 jam yang harganya bahkan hampir sama dengan biaya visa on arrival ke Turki, pula hanya terpakai untuk lima jam sisa waktu transit.
ADVERTISEMENT
Sudah dapat koneksi internet, akhirnya saya putuskan untuk menjajal beberapa makanan yang dijual di area transit. Perut sebetulnya sudah terasa penuh setelah menikmati sajian di atas pesawat. Namun, tidak ada salahnya menyicip satu dua makanan yang khas dari Turki --walau pasti harganya jauh lebih mahal karena dijual di bandara.
Pilihan pun jatuh pada es krim Turki. Harganya sekitar 18 Lira, setara dengan harga 6 dolar AS. Untuk sesendok es krim cokelat ukuran kecil, harga itu cukup mahal bagi saya. Tapi, demi sejumput kebahagiaan dan penghalau rasa bosan, saya putuskan untuk mencobanya. *dadah-dadah ke uang*
Es krim Turki. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Katanya sih 'es krim Turki'. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Bosan.
Sampai akhirnya, --Tuhan mungkin kesal lihat muka saya yang murung akibat bosan-- tibalah seorang dari Filipina yang datang menyapa.
ADVERTISEMENT
Symon namanya. Pertemuan kami menarik sekali; dia menitipkan gawainya karena ia kelimpungan mencari koneksi internet. Sudah habis akal, dia menyerah dan duduk di sebelah. Obrolan pertama dibuka dengan, “do you know how to connect to internet?”.
Nyatanya sekarang tidak cuma pemantik yang bisa memicu sebuah percakapan. Koneksi internet pun manjur untuk ajak seseorang berkenalan. Saya pun ceritakan keluhan terkait dengan koneksi internet di Ataturk International Airport yang tidak mudah terhubung --pula mahal kalau mau beli koneksi. Keluhan itu berubah menjadi salah satu obrolan hangat yang boleh saya dapatkan dari seorang yang baru kenal hanya dalam waktu lima menit.
Obrolan ini bermula dari bagaimana Symon --nama si orang ini-- bercerita tentang agenda travelingnya. Dia sudah keliling ke berbagai belahan dunia. Menariknya, ia keliling dunia hampir ‘tanpa’ menggunakan uang pribadinya. Pekerjaannya sebagai seorang medical escort --semacam perawat untuk pasien dengan kebutuhan khusus di salah satu rumah sakit besar di Qatar, mengemban tanggung jawab untuk memastikan setiap kebutuhan pasien terpenuhi dengan baik. Tak heran, jika si pasien hendak pelesir ke satu dua negara, pastilah Symon turut ikut.
Perjalanan menuju Edinburgh (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
ADVERTISEMENT
Cerita pun berlanjut. Symon begitu semangat menceritakan tentang pengalamannya dalam bekerja. Tak jarang, ia ceritakan beberapa kisah yang cukup emosional mengenai hidupnya.
“Saya bekerja keras sekali, untuk Ibu dan Ayah saya. Mereka Tuhan kedua di dunia,” kata Symon, sembari menyesap teh hangat yang ia beli di salah satu gerai makanan.
Menarik. Ia bercerita tentang bagaimana ibunya berjuang untuk pendidikan Symon, mulai dari menjual seluruh emas dan perhiasan yang ia miliki, hingga tanah keluarga satu-satunya. Lantas, perjuangan ini memacu Symon untuk terus berjuang menjadi anak paling ‘pintar’ di kelas, hingga akhirnya kini ia bisa bekerja dengan pendapatan yang begitu tinggi --untuk ia berikan pada orang tuanya yang menetap di Filipina.
ADVERTISEMENT
“Kamu ingat ceritaku tentang Ibu yang menjual tanah keluarga satu-satunya untuk membiayai pendidikanku? Kini, aku sudah bisa kembalikan tanah yang pernah ia jual itu kembali padanya,” kata Symon.
Saya terenyuh, lalu bertanya dalam hati; apa yang sesungguhnya sudah saya berikan untuk orang tua saya ketika kini saya sudah bisa berjuang untuk diri saya sendiri? Pertanyaan itu terus membayangi, bahkan hingga saat cerita ini ditulis.
“Berikan apa pun yang bisa kamu berikan untuk orang tuamu. Bahagiakan mereka,” lanjut Symon.
Tak bosan Symon bercerita tentang bagaimana ia ingin terus berbagi dengan orang tua dan orang-orang di sekitarnya. Dalam kisahnya, kerap kali ia meminjamkan uangnya pada kawan yang membutuhkan --tanpa mengharap uang itu akan kembali padanya. Baginya, ia percaya jika memang uang itu memang ‘rezekinya’, pastilah ia kembali padanya. (Don’t you think he is way, uhm, too nice?)
ADVERTISEMENT
Satu rangkai kalimat yang paling saya ingat darinya: “The more you give, the more you receive --even it hurts.”
Pertemuan kami pun usai karena Symon harus (segera) mengejar pesawatnya. Obrolan yang begitu hangat membuatnya lupa kalau ia harus masuk ke ruang tunggu dalam waktu lima menit. Keramaian Bandara Ataturk seakan kembali menyeruak. Saya pun kembali membaca buku di pojok meja.
Area transit Bandara Internasional Ataturk. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Sebetulnya, Bandara Ataturk punya ruang yang ‘cukup luas’ untuk dijelajahi, mulai dari bagian duty free yang pastinya menggoda para pecinta belanja, hingga beberapa kedai kopi yang lucu untuk disinggahi. Sayangnya, lagi-lagi koneksi internet menjadi salah satu hambatan kenyamanan di sana. Pilihan makanan pun sayangnya tak terlalu banyak --dan terlalu mahal, tentunya.
ADVERTISEMENT
Namun tak lama, datang seorang delegasi lain yang akan pergi bersama ke Edinburgh. Ia berasal dari Rusia. Roman, namanya. Dengan gayanya yang begitu sarkastik, ia jelaskan bahwa dirinya tidak ‘sepenuhnya’ Rusia, melainkan ‘separuh’ Republik Chuvashia. Menarik, ia bercerita tentang lagu pop khas Chuvashia --yang kalau didengar sangat mirip dengan dangdut remix di Indonesia.
“Wait for it, you’re gonna get the biggest star-struck after you watch her,” kata Roman sambil menunjukkan sebuah video seorang penyanyi pop paling terkenal di negerinya.
Dan, ya, baru satu menit menonton, perut kami sudah kram akibat terbahak melihat kostum ‘kebanggaan’ si penyanyi pop perempuan itu. Ia mulai bercerita tentang bagaimana begitu banyak penyanyi pop Rusia yang terinspirasi oleh Taylor Swift dan Demi Lovato, mulai dari lagu hingga cara berpakaian. Seluruh bentuk pengemasan karya hingga pembawaan lagu pun dibuat begitu mirip dengan dua penyanyi kancah internasional tersebut.
ADVERTISEMENT
Tetap dengan gayanya yang sarkastik, Roman bercerita ia menyesalkan musik Chuvashia yang sangat lamban perkembangannya. Baginya, musik pop negerinya tersebut tidak ‘berinovasi’. Sayang sekali, padahal Chuvashia adalah salah satu dengan kekayaan budaya yang begitu beragam.
Obrolan kami begitu sarat dengan bahasa baru, pengetahuan baru, bahkan gaya candaan baru --dengan cara yang begitu sarkastik, tentunya. Menarik sekali rasanya bisa bertemu dengan orang baru yang tinggal di sebuah negara yang kerap membuat saya tertawa akibat teringat akan pemimpinnya yang ‘luar biasa’.
Waktu delapan jam untuk transit akhirnya usai. Masih ada empat jam penerbangan selanjutnya menuju Edinburgh. Dengan badan yang mulai terasa berat akibat penerbangan 12 jam ditambah lagi dengan menunggu transit di Turki, penerbangan empat jam menuju Edinburgh terasa cukup lama. Tentu ditambah dengan rasa tak sabar mengirup udara Edinburgh yang konon begitu asri dan segar.
Edinburgh dari atas langit. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Edinburgh memang betul kota yang cantik. Dari atas langit, rapi dan asrinya Edinburgh terlihat jelas dari warna hijau yang dominan dan blok-blok perumahan yang terlihat rapi dari atas. Semakin dekat dengan darat, semakin jelas terlihat cantiknya bangunan-bangunan klasik hingga kastil yang ujungnya menjulang ke langit.
ADVERTISEMENT
Perjalanan di atas udara selama belasan jam terasa begitu melelahkan. Namun, rasa lelah itu akan dengan mudahnya dikonversi dengan rasa girang, terlebih jika anda mau membuka diri untuk mengenal orang baru yang anda temui dalam perjalanan. Sedikit membuka diri untuk sekadar berkenalan atau melempar orbolan sederhana dengan sesama penumpang pesawat yang sedang menunggu waktu terbang dapat menambah satu lagi pengalaman baik yang boleh dinikmati untuk mengimbangi rasa lelah yang kerap meliputi.
Edinburgh, will you soothe my soul?
Edinburgh dari langit. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Editor Video: Cornelius Bintang