news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kawan, Saya Juga Penyintas Pelecehan Seksual

Sattwika Duhita
Masih dalam proses belajar baca dan tulis.
Konten dari Pengguna
30 November 2017 19:37 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sattwika Duhita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi depresi (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi depresi (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Mei, 2002.
Saya ingat betul perawakan laki-laki itu. Banyak bekas jerawat di pipinya. Ia gemuk dan besar. Kulitnya gelap, rambutnya cepak. Napasnya bau dan tubuhnya kerap berkeringat. Ia duduk di sebuah sofa, memegang gitar, lalu mendendangkan sebuah lagu. Sementara saya tengah asyik bermain boneka di dalam kamar teman.
ADVERTISEMENT
Dua orang kawan asyik berlarian di dalam rumah. Satu jam berlalu, dan kami mulai bosan. Hanya ada kami bertiga dan si Pak Gemuk di dalam rumah. Raut wajah kami yang bingung dan bosan nampaknya menarik perhatian laki-laki itu.
“Kita main monster-monsteran, yuk,” ajaknya tiba-tiba.
Aturan mainnya sederhana: monster dan anaknya menunggu ‘manusia’ menemukan persembunyian. Setelah itu, anak monster akan mencari si manusia. Jika sudah tertangkap, giliran menjadi anak monster pun berganti. Selaiknya bermain petak umpet, hanya ditambah sedikit cerita dan peran.
Giliran menjadi anak monster pun jatuh pada saya.
Saya duduk di sebelahnya, sembari menghitung mundur dan menunggu kedua kawan saya sembunyi. Saya dan Pak Gemuk tidak saling bicara. Pula, saya tak kenal dia. Walau diam, dia tampak memperhatikan saya dari ekor matanya.
ADVERTISEMENT
Saya duduk sedikit menjauh. Namun, semakin saya duduk menjauh, ia bergeser mendekat. Saya tidak nyaman. Hingga akhirnya, ia memegang tangan dan menarik badan saya.
Dan ia, tiba-tiba, menciumi saya. Tubuhnya yang besar menarik saya hingga saya tak bisa menghindar.
Saya diam. Setelah ia ‘usai’ menciumi, disuruhnya saya pergi mencari kedua kawan yang tengah bersembunyi.
“Dah, sana, cari temenmu,” katanya.
Saya berjalan gontai menapaki tangga, tak lagi berjingkrak senang, tak lagi ingin menangkap kawan di persembunyiannya. Sesampainya di lantai dua, saya hanya duduk sendiri tak mengejar kawan, hingga akhirnya kedua kawan saya dengan sendirinya keluar dari persembunyian.
Mereka bertanya ada apa dengan saya, dan saya hanya diam, tersenyum kecil, lalu minta pulang.
ADVERTISEMENT
Saya hanya diam. Tak menangis, tak pula meringis. Hanya diam.
Dan kawan, kau tahu? Saya masih berusia tujuh tahun saat itu terjadi.
Kau mau tahu ihwal yang lebih akut? Itu bukan satu-satunya kasus yang saya alami.
***
Menjadi penyintas bukan hal yang mudah. Sebagian besar lebih memilih untuk diam--mungkin karena ada ancaman dari pelaku jika ia angkat bicara, pula kurangnya sistem dukungan dari lingkungan.
Pola pikir patriarkis masyarakat kerap menaruh penyintas pada posisi sulit. Berbagai pertanyaan yang cenderung menyudutkan sering dilontarkan. Kali pertama saya bercerita kepada kawan terdekat (oh ya, saya baru berani bercerita saat berumur 18 tahun) tentang pelecehan yang saya terima, pertanyaan yang ia tanyakan adalah, “Lagian kok mau berduaan nunggu temen?”
ADVERTISEMENT
Tanpa disadari, deret pertanyaan yang tidak sensitif menjadi salah satu faktor para penyintas enggan untuk melapor dan bercerita. Bagaimana ia bisa dengan leluasa membicarakan peristiwa yang dihadapi, kalau yang ia terima bukanlah dukungan, melainkan rentetan pertanyaan menyudutkan bak pengadilan?
Ilustrasi memberi dukungan (Foto: Shutter Stock.)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi memberi dukungan (Foto: Shutter Stock.)
Proses pendampingan advokasi dan bagi para penyintas, baik dari segi hukum dan psikologis, menjadi hal yang penting. Merasa aman terlindung serta nyaman untuk berbagi cerita adalah faktor utama bagi para penyintas untuk berani melaporkan.
Tentu, keberanian untuk melapor dan mengungkapkan kasus yang ia alami, menjadi salah satu langkah penting dalam menurunkan angka pelecehan seksual. Pasalnya, Komnas Perempuan mencatat, pada 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan, berarti sekitar 881 kasus setiap hari. Bukankah ini angka yang terlampau banyak?
ADVERTISEMENT
Dan jangan lupa: ini baru angka terlapor. Bagaimana dengan angka-angka ‘sunyi’ lainnya?
Tak hanya dalam hal bersikap, pola pikir patriarkis kerap muncul dalam candaan yang dirasa ‘wajar’, hingga akhirnya berujung pemakluman. Sesederhana, “Wah, ada anak baru masuk kantor yang cakep bener nih, buat gue ya,” atau membicarakan dada perempuan di sela rapat, ditambah godaan-godaan seksual yang membuat gerah kuping.
Kalau saja candaan seksis seperti ini masih banyak dan dimaklumkan, tak heran jika pelecehan masih kerap terjadi.
Dan kawanku, tahukah kamu? Pelecehan seksual tak hanya dialami oleh perempuan. Laki-laki pun bisa menjadi sasaran pelecehan seksual.
Pola pikir patriarkis nyatanya tak hanya menyakiti perempuan, namun juga berimbas pada bagaimana laki-laki dipandang. Pelecehan seksual memang masih lebih banyak dialami perempuan. Kondisi dan pandangan ini memunculkan stereotip laki-laki yang memiliki kuasa lebih besar, sehingga ia kerap dipandang sebagai pelaku, bukan penyintas.
ADVERTISEMENT
Sementara, jika ada laki-laki yang menjadi penyintas, pelaporannya acap kali hanya ditertawakan. Bahkan, ia dianggap laki-laki lemah yang tidak mampu melawan. Padahal, sebuah jurnal American Journal of Public Health tahun 2014 mencatat, jumlah korban laki-laki dan perempuan korban pelecehan seksual berada pada angka serupa: 1.267 laki-laki dan 1.270 perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan seksual.
Ilustrasi depresi (Foto: geralt/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi depresi (Foto: geralt/Pixabay)
Tapi, pandangan yang cenderung mengadili penyintas, lagi-lagi, membuat angka-angka di atas sebagai angka terlapor. Mungkin saja ada banyak angka lain yang terjebak dalam diam.
Ini hanyalah gambaran ‘sederhana’ tentang sulitnya menjadi penyintas. Membawa trauma yang mungkin tak bisa benar-benar hilang, kerap dipandang dengan picingan mata seakan kami berdosa, mendapat pertanyaan yang tidak sensitif dan cenderung mengadili, hingga masih harus mendengar candaan seksis yang keluar dari mulut rekan sendiri.
ADVERTISEMENT
Jadi, iya kawanku, hanya supaya kau paham: saya juga penyintas pelecehan seksual. Di usia yang begitu dini.
Cobalah untuk sedikit berpikir dalam canda, dan empati dalam rasa. Mungkin, kau bisa membantu menghentikan, bahkan mencegah tindak pelecehan seksual. Mungkin juga kau akan menemukan Wika yang lain di sekitarmu--dan angkanya bisa saja jauh lebih banyak dari yang kau duga.