Melihat Sisi Gelap dari Media Sosial

12 Mei 2017 11:38 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi bermain Twitter di gadget. (Foto: Pixabay)
Penggunaan media sosial menjadi kegiatan yang lumrah dan biasa dilakukan oleh anak dan remaja zaman saat ini. Mulai dari laman daring hingga aplikasi yang bisa mengakomodir interaksi sosial dapat disebut sebagai media sosial.
ADVERTISEMENT
Facebook, Twitter, hingga Snapchat menjadi tiga media sosial yang ‘wajib’ dimiliki oleh anak-anak remaja saat ini.
Maka, jangan heran jika anda melihat seorang anak remaja yang tiba-tiba mengeluarkan handphonenya di pinggir jalan, lalu mengajak temannya untuk berfoto bersama sambil berteriak, “nanti gue masukin ke instastory gue ya,”
Atau ada foto-foto remaja dengan hidup dan lidah anjing menjulur keluar, dipasang dengan bangga di akun media sosial mereka.
Namun, sadarkah bahwa ada bahaya mengintai ketika terlalu lama berhadapan dengan sosial media?
Rasa candu terhadap sosial media kerap kali menjadi salah satu ‘penyakit psikis’ yang dialami oleh banyak remaja saat ini. Rasa ingin tahu yang pekat pada kehidupan orang lain menjadi salah satu pemicu penggunaan sosial media.
ADVERTISEMENT
Perasaan kolektif dan kemudahan untuk bisa terhubung dengan orang lain yang tercipta saat bermain media sosial ini terus terbentuk ketika kita ‘mendekatkan diri’ ke media sosial. Jelas, media sosial telah membuka akses yang lebih luas guna memperluas cakrawala pandangan terhadap sebuah situasi.
Sayangnya, sisi gelap media sosial tak bisa sama sekali dilupakan. Dalam penelitian yang bertajuk Internet, Social Media Addiction Linked to Mental Health yang digarap oleh Dabi-Ellie Dube menemukan bahwa semakin lama seseorang bermain di dunia media sosial, maka semakin rentan pula dirinya terhadap isu kesehatan mental.
Penelitian ini lantas diperkuat pula dengan hasil eksperimen studi lainnya, yakni mereka yang ada di umur 19 - 32 tahun yang bergabung menjadi responden dan menjadi pengguna sosial media secara intens 2,7 kali lebih rentan merasakan depresi dibandingkan dengan mereka yang lebih jarang memeriksa sosial medianya.
ADVERTISEMENT
Berbagai bentuk emosi pun rentan terbentuk ketika seseorang terlalu lama terpapar dengan media sosial, seperti perasaan rendah diri, cemas, depresi, merasa kehilangan teman, merasa inferior, susah fokus, hingga kecanduan terhadap media sosial itu sendiri.
Salah satu perasaan yang kerap menyerang para pengguna berat media sosial adalah depresi, salah satu pemicu keinginan bunuh diri yang muncul dalam diri seseorang. Kepekatan depresi yang dirasakan seseorang dan bila tidak ditangani lebih lanjut atau oleh orang yang tepat dapat menggugah pikiran ingin bunuh diri yang kuat mengakar dalam benak pengguna dan memicu untuk melakukan tindakan-tindakan yang bisa menyakiti atau membahayakan diri sendiri. Misalnya saja ketika seseorang lantas mengiris lengannya dan membentuk sebuah tulisan dari bekas siletan yang ia buat.
ADVERTISEMENT
Itu baru salah satu saja. Aksi yang lebih menyeramkan dapat terjadi dengan misalnya menjatuhkan diri dari gedung tinggi. Aksi ini bahkan ‘didukung’ dengan permainan yang memicu pengguna media sosial untuk menjalankan tantangan yang ditutup dengan aksi bunuh diri.
Tantangan inilah yang disebut dengan blue whale challenge. Pada awalnya, blue whale challenge mulai dikenal melalui media sosial, yakni facebook, twitter, hingga instagram. Tantangan ini kemudian semakin marak di tanah Eropa.
Logo Instagram (Foto: Pixabay)
Salah satu kasus yang mencengangkan adalah Yulia Konstantinova, seorang anak perempuan dari Rusia yang masih begitu belia --berumur 15 tahun-- kemudian melakukan aksi bunuh diri dengan menabrakkan dirinya ke kereta yang sedang melaju begitu cepat. Tak hanya satu kasus, terdapat kasus lain di mana seorang remaja perempuan kemudian menjatuhkan dirinya dari atas gedung tinggi.
ADVERTISEMENT
Setelah kasus ini diusut, ternyata kedua anak perempuan tersebut sempat mengunggah foto diri terakhir disertai dengan deretan kalimat yang menyuratkan ucapan perpisahan. Foto tersebut kemudian kembali diurutkan kronologinya, hingga akhirnya ditemukan bahwa kedua perempuan tersebut mengikuti tantangan yang disebut dengan blue whale challenge.
Permainan ini nyatanya marak telah memakan korban jiwa. Di Rusia, setidaknya 130 anak memutuskan untuk bunuh diri karena tantangan ini. Sementara di Afrika, sudah ada satu jiwa yang terenggut karena mengikuti tren media sosial tersebut. Bahkan, kini tren itu mulai merambah Asia.
Grup blue whale challenge di media sosial. (Foto: Dok. news.cgtn.com)
Sisi gelap media sosial memang semakin menarik perhatian berbagai pihak. Terlebih lagi ketika media sosial menyebarkan tren bunuh diri --bahkan membunuh orang-- yang bisa menginspirasi pengguna lain untuk melakukan hal serupa. Salah satunya adalah kasus bunuh diri dengan gantung diri di rumahnya yang dilakukan oleh seorang bapak bernama Pahinggar Indrawan.
ADVERTISEMENT
Dalam video yang terekam selama hampir dua jam, Pahinggar menayangkan seluruh rangkaian aksinya, mulai dari saat dia persiapkan talu untuk gantung diri, hingga akhirnya ia menggantungkan dirinya sampai betul-betul menggantung kaku di tali itu.
Kasus lain yang juga ekstrem dalam menggambarkan sisi gelap media sosial adalah penembakan yang ditayangkan secara real-time melalui Facebook Live di Chicago, Amerika Serikat. Dalam kasus tersebut, seorang pria dengan sengaja merekam dirinya menembak seorang kakek tua yang sedang berjalan di trotoar. Dengan jelas ia merekam seluruh rangkaian kejadian, dan dengan ‘bangga’ menayangkannya melalui laman profil pribadinya.
Masih ada begitu banyak deretan kasus lain yang terjadi akibat media sosial. Penggunaan yang tidak bijak tentunya menjadi salah satu pemicu semakin pekatnya gelap dalam memainkan media sosial. Sehingga, kecerdasan dalam bemedia menjadi kunci penting agar bisa melihat baik sisi terang maupun gelap yang dihadirkan oleh media sosial dan dapat meminimalisir hal buruk yang dibawa olehnya.
ADVERTISEMENT