Mendaki Arthur's Seat, Gunung Api Purba di Edinburgh

15 Juli 2017 14:02 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Arthur's Seat (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Arthur's Seat (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
ADVERTISEMENT
Konferensi Future News Worldwide 2017 akhirnya usai juga. Seluruh delegasi sudah mulai berpencar dan berkelana sesuai agenda masing-masing. Ada yang hendak ke kastil, ada pula yang tidur seharian di kamar agar siap pesta hingga dini hari di kelab malam.
ADVERTISEMENT
Sedang saya? Arthur’s Seat yang membentang di depan penginapan itu seakan merayu untuk dijajaki, sehingga jadilah saya dan beberapa kawan sepakat menapaki terjalnya jalanan menuju puncak Arthur’s Seat.
Saya bingung harus pakai baju apa, karena hampir semua baju yang saya bawa umumnya cenderung tipis. Jaket pun tak cukup tebal rasanya. Akhirnya, pilihan kostum hari itu jatuh pada turtle neck sweater yang seharusnya cukup tebal untuk melindungi saya dari dinginnya angin yang berembus di tengah musim panas Edinburgh. (Yeah, summer, it is.)
Sepatu olahraga, checked. Kamera, checked. Gawai, checked. Sepertinya tidak ada yang kurang. Saya pun melenggang ke pintu depan hotel untuk bertemu dengan kawan lain yang akan turut pergi mendaki Arthur’s Seat.
Pemandangan Arthur's Seat dari jendela. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan Arthur's Seat dari jendela. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Jarak dari penginapan ke tangga pendakian begitu dekat, hanya sekitar 500 meter. Bersama beberapa kawan yang begitu antusias untuk mendaki, saya menenteng tas ransel kulit berwarna cokelat (berisi sandwich dan jus apel biar tak kelaparan) menuju ke Arthur’s Seat.
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan saya pun bertanya-tanya: bagaimana sebetulnya sejarah Arthur’s Seat? Mengapa diberi nama demikian?
Legenda dan cerita yang melatarbelakangi sejarah Arthur’s Seat sebetulnya cukup rancu. Beberapa pihak menyebutkan nama Arthur diambil dari tokoh Raja Arthur dan Camelot-nya yang melegenda, pula ada yang berkisah bahwa namanya berasal dari sebuah bahasa Skotlandia - Perancis Àrd-na-Said yang berarti panah yang besar dan tepat sasaran.
Tak hanya itu, legenda Celtic lain pun berujar kalau sebetulnya Arthur’s Seat adalah naga yang tertidur pulas dan tidak bangun lagi.
Arthur’s Seat sebetulnya bukan satu-satunya bukit di Edinburgh. Tak jauh dari sana, terdapat bukit lain yang diberi nama Calton Hill. Hanya saja, Calton Hill memiliki ketinggian yang lebih rendah dan jalur pendakian yang lebih landai. Namun tak perlu diragukan lagi, pemandangannya sungguh aduhai luar biasa, seperti halnya yang terlihat dari puncak Arthur’s Seat.
Arthur's Seat (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Arthur's Seat (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Ketinggian Arthur’s Seat sendiri hanya sekitar 200 meter dari atas permukaan laut. Untuk mencapai puncak, ada beberapa jalur yang bisa digunakan. Selayaknya sebuah permainan, setiap jalur memiliki level kesulitannya masing-masing. Sebagai pemula (dan pintu masuknya paling dekat dari penginapan), saya dan beberapa kawan mengambil jalur pendakian yang lebih landai dan mudah.
ADVERTISEMENT
Jalanan di sana cukup terjal dan sempit. Dalam beberapa waktu, kita kerap bergantian untuk melewati jalan dengan mereka yang baru saja tiba dari atas. Jalur pun cenderung berbatu dan berpasir, sehingga harus ekstra hati-hati jika ingin mendaki.
Sepanjang pendakian, kami disuguhi dengan pemandangan kota Edinburgh dari atas bukit. Runcing gereja kuno yang menyembul ke langit Edinburgh, kubah museum, hingga deretan rumah tradisional nan unik yang dengan rapi berjejer.
Kota Edinburgh dari atas Arthur's Seat (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kota Edinburgh dari atas Arthur's Seat (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Di beberapa titik, saya sempat hampir terjatuh akibat jalanan menanjak agak terjal, ditambah dengan banyaknya batu yang membuat jalan menuju puncak Arthur’s Seat menjadi semakin licin. Tetapi, karena saya sigap (CIAT!) dan cekatan, akhirnya saya bisa bertahan di atas kaki saya sendiri. Sungguh berdikari luar dalam.
ADVERTISEMENT
Untuk mendaki sampai ke ‘setengah puncak’ Arthur’s Seat, dibutuhkan waktu setidaknya setengah jam (ditambah setengah jam kalau sibuk berfoto ria). Tak jarang banyak pendaki yang antre berfoto di salah satu spot terbaik yang menyuguhkan hamparan kota Edinburgh disinari matahari yang lebih sering tertutup awan abu-abu di tengah musim panas.
Bersama delegasi negara lain di Arthur's Seat (Foto: Dok. Maria Sattwika)
zoom-in-whitePerbesar
Bersama delegasi negara lain di Arthur's Seat (Foto: Dok. Maria Sattwika)
Tapi seperti halnya kehidupan, jalan menanjak itu diganti dengan jalan landai yang cukup halus untuk dilewati. Di sana, turis kembali antre untuk berpose dan berfoto ria. Beberapa berfoto di dinding batu Arthur’s Seat, beberapa lainnya berpose di pinggir bukit dengan deretan semak berbunga yang rancaknya alamak.
Saya dan Intan (lagi-lagi sama dia) juga turut memilih spot untuk foto. Kami memilih latar belakang dinding batu Arthur’s Seat yang menjulang tinggi. Untuk mendapatkan foto terbaik juga sinar matahari yang pas, kami rela menunggu hingga setengah jam dengan ratusan pengulangan foto. But at the end, that was all worth -it! Terima kasih untuk Intan yang sungguh skillful dan berbakat!
Wika di Arthur's Seat. (Foto: Dok. Intan Farhana)
zoom-in-whitePerbesar
Wika di Arthur's Seat. (Foto: Dok. Intan Farhana)
Setelah melalui jalanan yang cukup landai, kami kembali bertemu dengan jalanan yang menurun cukup curam pula berbatu. Di beberapa langkahnya, Intan sempat hampir terjatuh. Sebagai teman yang baik, saya pun membantu ia untuk menapaki jalan curam, sembari membantu memegang kameranya selagi ia turun.
ADVERTISEMENT
Setelah berhasil melewati halangan dan rintangan yang membentang selama menuruni Arthur’s Seat (baca: jalan curam, berpasir, lengkap dengan kerikil dan batu yang rentan longsor), kami menapaki kaki bukit menuju salah satu spot yang subur ditumbuhi rumput dan ilalang. Matahari yang hangat menyinari, ditambah dengan tiupan angin musim panas yang sejuk membuat perjalanan kami semakin sempurna.
Kami pun kembali menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk mengambil beberapa foto dan footage untuk video blog. Semesta seakan mendukung, matahari persis menyinari di sudut yang tepat, sehingga foto yang diambil pun mampu mengeluarkan pesona Arthur’s Seat yang seakan tak ada habisnya.
Oh, ya! Sedikit saran untuk anda yang berencana untuk liburan ke Edinburgh dan mendaki Arthur’s Seat, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum pendakian. Pastikan anda memakai sepatu olahraga yang tidak licin dan pas untuk mendaki. Jalanan menuju puncak Arthur’s Seat cukup curam, lengkap dengan kerikil dan batu yang dengan mudahnya membuat anda terpeleset. Saat mendaki Arthur’s Seat, saya sempat menemui beberapa turis yang mengenakan sepatu flat dan akhirnya sukses terjatuh.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, kalau tidak terbiasa dengan tiupan angin kencang nan dingin, pastikan anda kenakan sweater dan jaket tebal. Jika perlu, siapkan pelindung atau penghangat telinga. Saat mendaki, telinga saya sempat sakit karena tidak tahan dengan dingin. Jadi, siapkan baju dan penutup telinga yang hangat, ya.
Walau tak terlalu tinggi, cuaca dan angin di Edinburgh kerap kali tak bisa ditebak. Hari yang cerah bisa berubah menjadi berawan hanya dalam hitungan jam. Belum lagi angin kencang yang kerap menerpa ketika mendaki menuju puncak Arthur’s Seat.
Arthur's Seat disinari matahari. (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Arthur's Seat disinari matahari. (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Perjalanan mendaki Arthur’s Seat pun dengan manis ditutup dengan sinar matahari yang hangat menyinari dan angin musim panas yang hari itu tumben tak bertiup terlalu kencang. Setelah menikmati indahnya Arthur’s Seat, kami pun melenggang menuju pusat kota. Maklum, perut ini sudah kangen seporsi kebab dan nasi kari ayam.
ADVERTISEMENT
Selama perjalanan menuju pusat kota, saya pun kerap diam, terganggu oleh pikiran sendiri, lantas bertanya dalam hati: kapan saya bisa kembali lagi ke kota ini?
Akankah Edinburgh menyambut saya sehangat ini lagi?