Musriyah: Saya Perempuan, Tidak Sunat, Tak Binal

10 Agustus 2017 9:29 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Menelusuri soal sunat perempuan. (Foto: Syarifah Sadiyah/kumparan)
Matahari tepat di atas ubun-ubun. Siang itu, saya akan bertemu seorang perempuan yang konon menolak mentah-mentah praktik sunat perempuan.
ADVERTISEMENT
Ya, ini masih meneruskan catatan harian (sekaligus menuntaskan rasa penasaran) saya tentang praktik sunat perempuan di Indonesia yang ternyata amat beragam jenis dan prosesinya dari Sumatera ke Maluku.
Kali ini, saya ingin agak fokus pada satu hal: apakah benar anggapan bahwa perempuan yang tidak disunat punya perilaku “liar”? Atau itu sekadar mitos dan isapan jempol belaka?
Ibu Musriyah menolak sunat perempuan. (Foto: Syarifah Sadiyah/kumparan)
Ia seorang perempuan Jawa tulen. Lahir di Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah, 48 tahun lalu. Kini hidup serbaterbatas. Mungkin karena semasa kecil, ia tak mengecap pendidikan secara layak. SD pun tak tuntas.
Namun, ia punya satu hal yang jadi modal utama: semangat--untuk belajar dan berjuang.
Perkenalkan, Musriyah.
Musriyah, yang saya panggil “Ibu”, kini menjadi Ketua Sekolah Perempuan di Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan. Ini sebuah komunitas yang fokus untuk mengajar dan berbagi pengetahuan mengenai isu gender.
ADVERTISEMENT
Dengan visi mewujudkan masyarakat inklusif dan berkeadilan gender, Musriyah tak pernah segan untuk terus menyambangi berbagai diskusi yang membahas isu perempuan dalam berbagai spektrum, mulai politik hingga kesehatan seperti reproduksi.
Musriyah tinggal di sebuah rumah sederhana. Pada bagian depan rumah, ia membuka warung kelontong untuk menambah pemasukan keluarga.
Ketika saya tiba di rumah Musriyah, Senin (7/8), Musriyah menutup warungnya tanpa ragu, bersiap berbincang dan bercerita, mengajak saya masuk ke dalam rumah. Padahal, saat itu jelas masih jam buka warung.
“Loh Bu, nanti kalau ada yang mau beli bagaimana?” tanya saya, sembari celingukan melihat beberapa orang yang seliweran di sekitar warungnya.
Musriyah menjawab enteng, “Ah, ya nggak papa. Cari uang mah bisa di mana saja dan kapan saja.”
ADVERTISEMENT
Hal serupa ia lakukan jika harus menghadiri tiap acara dan diskusi yang diadakan oleh Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (KAPAL Perempuan)--organisasi nirlaba yang menjadi induk bagi Sekolah Perempuan yang dikembangkan di Rawajati, daerah tempat tinggal Musriyah.
“Kalau misalnya ada acara atau undangan, ya warung tutup,” tegas Musriyah.
Ia selalu percaya, rezeki tak akan pernah pergi meninggalkan mereka yang tulus ikhlas. Toh, ujar Musriyah, pergi menghadiri acara diskusi juga berguna untuk menimba ilmu baginya dan sang suami.
“Kalau uang kan bisa dicari lagi. Kalau ilmu? Itu kan mewah,” kata Musriyah.
Ah tentu saja, seorang yang bahkan tak lulus SD tentu amat memahami betapa ilmu terkadang menjadi barang mewah, dan kesempatan untuk mendapatkannya sama sekali tak boleh disia-siakan.
ADVERTISEMENT
Sadar penuh ia tak mengenyam pendidikan yang layak, Musriyah tak mau jatuh ke jurang kebodohan. Ia terus mengais ilmu tentang keadilan gender. Pelbagai isu perempuan ia kuasai--kuat dan khatam.
Tak heran, dari sekadar “perempuan tak lulus SD” ia menjelma narasumber dan orator di berbagai diskusi, seminar, dan kampanye soal gender.
Berbincang dengan Ibu Musriyah. (Foto: Syarifah Sadiyah/kumparan)
Sebelum obrolan dimulai, setoples kacang tanah dan empat gelas minuman disajikan. Tanpa ragu, saya mengambil beberapa butir, menaruhnya di mulut, dan mengunyah nikmat sembari mendengar Musriyah berkisah.
Lahir dan besar di Bumiayu, Brebes, lingkungan Musriyah tak mengenal tradisi sunat perempuan, berbeda dengan daerah-daerah lain di Jawa.
Tak heran Musriyah pun tak disunat. Namun sewaktu Musriyah menginjakkan kaki di Rawajati Jakarta dan mulai menetap di sana, seorang tetangga bertanya padanya.
ADVERTISEMENT
“Ibu, anak perempuannya sudah disunat?”
Musriyah kaget. Ia tak tahu-menahu tentang budaya sunat perempuan. Ia heran karena banyak ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya mendorong dia untuk sesegera mungkin menyunatkan anaknya, Ayu.
“Masyarakat di sini ada yang nanya, ‘Anaknya perempuan?’ Saya jawab ‘Iya’. Ditanya lagi ‘Sudah disunat belum?’ Saya bilang, ‘Belum.’ Katanya, ‘Loh, kok di Jawa nggak disunat? Kalau di sini harus disunat.’”
“Saya lalu ikutin apa kata orang sini. Karena lingkungan gitu, akhirnya anak saya disunat,” ujar Musriyah.
Saat itu, Musriyah yang belum sepenuhnya mengenal Jakarta, menjadikan sunat perempuan untuk sang anak sebagai salah satu cara “aman” menjaga pertemanan dan silaturahmi di tengah masyarakat sekitarnya.
Sampai akhirnya ia memperoleh pengetahuan baru soal sunat perempuan dari KAPAL Perempuan.
ADVERTISEMENT
“Di sini tuh ada yang namanya kelompok Sekolah Perempuan Ciliwung, didampingi oleh KAPAL Perempuan. Setelah itu saya sering ikut diskusi, seminar, nah diberi tahu ternyata sebaiknya perempuan tidak disunat,” ujar Musriyah.
Astari, perempuan Jawa yang disunat. (Foto: Syarifah Sadiyah/kumparan)
Musriyah kini terutama menentang dikaitkannya sunat perempuan dengan kebinalan perempuan. Anggapan itu kerap dijadikan alasan bagi praktik sunat perempuan.
“Ada yang bilang, katanya perempuan kalau tidak disunat tuh binal. Saya jawab, ‘Loh, kok binal? Saya tidak disunat dan jadi ibu rumah tangga biasa. Saya tidak binal.’”
Musriyah tentu bukan satu-satunya contoh. Seorang teman saya, Nurul, juga tidak disunat. Dan hingga kini menjadi seorang ibu, ia jauh dari kata “binal”.
Bagi Musriyah, sunat perempuan ialah budaya yang dibentuk oleh masyarakat, dan bila dibalut kuat dengan alasan “untuk mencegah perempuan jadi binal” itu, maka tradisi itu menjadi “cara untuk menginjak hak seksualitas perempuan.”
ADVERTISEMENT
“Sebetulnya, itu bentuk penindasan terhadap perempuan,” ujar Musriyah, setengah geram namun diselimuti tawa kecil.
Padahal, sunat perempuan jamak dipraktikkan di Rawajati.
“Saya kan sering mondar-mandir, (lihat) ada bayi masuk (ke rumah bidan), ternyata itu ditindik sama disunat. Sepasang, sepaket.”
Terkadang, Musriyah mengajak bicara si bidan. Ia bertanya, bukankah bidan tak boleh lagi melakukan sunat perempuan?
Lontaran pertanyaan Musriyah didasarkan pada pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Tahun 2010 yang mengatur tentang praktik sunat perempuan. Permenkes tersebut mengizinkan pekerja medis seperti dokter dan bidan untuk melakukan sunat perempuan, serta mengatur rinci tentang metode sunat perempuan.
Berdasarkan Permenkes--yang telah dicabut--itu, sunat dilakukan dengan “menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai dari sisi mukosa (selaput) ke arah kulit, tanpa melukai klitoris.”
ADVERTISEMENT
Permenkes tersebut dicabut empat tahun lalu, pada 2013. Namun praktik sunat perempuan oleh tenaga medis terus berlangsung.
Apalagi, meski Kementerian Kesehatan mengedukasi pekerja medis bahwa sunat perempuan tak bermanfaat, dokter atau bidan yang menyunat perempuan tak akan diberi sanksi karena tak ada regulasi yang mengatur soal itu.
Peralatan untuk menyunat. (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Sejak 1997, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah berupaya menghentikan praktik sunat perempuan. Hingga akhirnya Desember 2012, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi untuk menghapus sunat perempuan--yang istilah internasionalnya ialah female genital mutilation/cutting (FGM/C).
“Saya sendiri, bila nanti punya anak atau cucu perempuan lagi, tidak akan disunat. Karena saya sudah tahu bahwa kalau disunat akan mengurangi kenikmatan (seksual). Dan bisa berisiko secara kesehatan,” ujar Musriyah.
ADVERTISEMENT
Islam, yang kerap menjadi alasan lain atas sunat perempuan, mengatur agar sunat perempuan tak dilakukan dengan sewenang-wenang.
Hadis Riwayat Al Khatib dalam Tarikh 5/327 menyatakan, “Apabila engkau mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit. Jangan potong (bagian kulit klitoris) semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”
Serupa, H.R Abu Dawud berbunyi, “Jangan berlebihan dalam mengkhitan, karena akan lebih nikmat (ketika berhubungan seksual) dan lebih disukai suami.”
Komisioner Komnas Perempuan, Kiai Haji Imam Nakha’i, mengatakan para ulama sendiri berbeda pendapat tentang sunat perempuan. Ada yang menganggap itu wajib, sunah, dan tak wajib maupun sunah.
Kiai Imam Nakha’i sendiri berpendapat, ajaran Islam tak memerintahkan sunat perempuan.
“Dalam hadis, tidak ada perintah untuk khitan perempuan. Yang ada ialah untuk mengatur bagaimana khitan dari tradisi sebelumnya tidak melampaui batas,” kata dia.
Ilustrasi sunat perempuan. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Musriyah menutup perbincangan dengan menegaskan keyakinannya bahwa sunat perempuan sama sekali tak diperlukan.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak setuju. Kepada yang mengatakan, perempuan kalau nggak disunat akan binal, saya tidak disunat dan tidak binal. Itu memperkuat sikap saya bahwa perempuan tidak harusnya disunat.”
Bagi Musriyah, perempuan berhak penuh atas tubuh mereka, seutuhnya.
Tentu saja, pendapat Musriyah bisa jadi berbeda dengan orang lain, termasuk sesama perempuan sendiri.
Hari mulai sore. Saya beranjak, berpamitan kepada Musriyah, sembari mencatat satu sisa pertanyaan yang masih mengganjal di hati: bagaimana sesungguhnya sunat perempuan di Indonesia dari sisi medis? Benar ada manfaatnya tidak sih?
Ah, besok akan saya cek soal itu.
Menelusuri soal sunat perempuan. (Foto: Syarifah Sadiyah/kumparan)
Oh ya, buat kamu yang ingin berbagi cerita, pengalaman, atau urun pendapat pro maupun kontra--bebas saja--tentang tradisi sunat perempuan yang mungkin ada di keluarga dan lingkungan sekitarmu, boleh banget loh.
ADVERTISEMENT
Kamu bisa menulis cerita sendiri lewat akun kumparan kamu. Kalau belum punya akun kumparan, yuk bikin. Nggak susah kok. Sila klik panduan berikut: Q & A: Cara Membuat Akun & Posting Story di kumparan
Jangan lupa masukkan topik Sunat Perempuan saat mem-publish story, ya.
Kami tunggu cerita kamu ;)
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.