news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Penerbit Indie Menyongsong Masa Depan

7 Oktober 2017 6:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Jadi penerbit indie itu susah-susah-gampang-enak di Indonesia. Demikian kata para pegiatnya--yang gemar berseloroh.
ADVERTISEMENT
Teknologi yang berkembang pesat--media sosial sebagai sarana promosi masif dan sistem print on demand untuk menekan biaya--bisa dibilang memudahkan penerbit indie menyambung nyawa.
Dengan bujet terbatas, penerbit indie bisa mencetak buku sesuai pasar yang ditarget. Jika pasarnya kecil dan spesifik, kenapa harus mencetak jorjoran?
Angka penerbit indie yang aktif bergerak di dunia literasi kini terus merangkak naik, menandakan ada ruang luas bagi mereka untuk berkembang.
Wijaya Kusuma Eka Putra, penggagas Pojok Cerpen (PoCer) dan Penerbit OAK, menuturkan jumlah penerbit indie yang kini bergerak aktif meningkat hingga 100 persen.
“Tahun 2015 ada 25 penerbit alternatif (indie), sekarang sudah 57 yang aktif--walaupun beberapa penerbit baru punya satu buku terbitan,” ucap Eka saat berbincang dengan kumparan.
Anak membaca buku (Foto: Dwi Ma'aruf Alvansuri )
Berkembangnya penerbitan indie di Indonesia tak lepas dari iklim yang kondusif--mulai faktor penggerak, infrastruktur, budaya masyarakat yang mengakar, pola interaksi sosial, hingga keterbukaan pemikiran di antara elemen masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bicara soal iklim kondusif, Yogya banyak disorot sebagai contoh daerah yang “lengkap” dan subuh untuk mengembangkan literasi.
“Komponen di Yogya, dari produksi sampai konsumen, tersedia lengkap. Penulis ada, editor ada, layouter banyak, percetakan dari yang kecil sampai besar ada, toko kertas ada, pembelinya juga banyak,” kata Prima Sulistya, editor di Penerbit Buku Mojok.
Pegiat literasi Yogya, Eddward S. Kennedy, menuturkan hal senada. Ia melihat kultur Yogya menjadi elemen kunci dalam menciptakan dan mengembangkan iklim positif.
“Karena di sini banyak kampus, ditambah kultur Yogya yang slow dan bukan daerah industri, menciptakan suasana akademik yang cair--banyak ruang otonom untuk diskusi dan menyelenggarakan acara kesenian. Secara geografis juga diuntungkan karena Yogya itu kecil. Orang mudah berinteraksi, suasana jadi guyub, pertukaran ide lebih hidup,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Semua itu misalnya terlihat dari kegiatan bertajuk Kampung Buku Jogja yang menjadi ajang pertemuan dan jejaring antarpenerbit dan penulis indie untuk saling berkolaborasi.
Keramaian di Kampung Buku Jogja 2017. (Foto: Twitter: @bukumojok)
Digagas Irwan Bajang, Adhe, dan Wijaya Kusuma Eka Putra sejak 2015, Kampung Buku Jogja menjadi wadah bagi para penyuka buku untuk bertemu dengan orang-orang yang juga sama-sama menyukai buku.
Ajang yang menyebut dirinya sebagai “ruang dan waktu bertemunya buku dan dirimu” itu lebih dari sekadar urusan niaga perbukuan. Perhelatannya berbasis komunitas, dan penggeraknya bukan pemodal besar.
Kampung Buku Jogja bukan satu-satunya wadah kolaborasi para pegiat literasi dan penerbit indie. Marjin Kiri, misalnya, bersama IndoPROGRESS berkolaborasi menerbitkan produk.
Tali-temali antarpegiat literasi terus dirajut. Dan bagaimana mereka memandang masa depan mereka sendiri sebetulnya?
ADVERTISEMENT
Nezar Patria, pendiri dan penasihat Penerbit Circa yang setahun terakhir menerbitkan di antaranya dua terjemahan novel Gabriel Garcia Marquez, melihat peluang besar dan masa depan yang baik bagi tumbuh kembang penerbit indie di Indonesia.
“Setiap ada event Kampung Buku Jogja ataupun yang lain, pasti diramaikan dengan karya kreatif dan itu dilakukan oleh para penulis muda. Nah, misi kami sebetulnya mencoba mencari talent yang bagus dari penulis muda, dan penerjemah yang andal. Kami juga mau kenalkan karya klasik dan kontemporer supaya mereka paham sejarah story telling dan belajar banyak dari karya dunia,” ujar Nezar.
Ia yakin, walau dunia digital terus berputar dan melahirkan berbagai perubahan dan inovasi, buku dan penerbit indie selalu punya tempat, terutama di khalayak muda.
ADVERTISEMENT
“Ada audiens muda yang suka koleksi karya klasik dan kotemporer, atau jurnalisme sastra. Mereka suka sekali dengan buku-buku pengetahuan. Jadi kami melihat ada gairah untuk terus belajar,” imbuh Nezar.
Buku terbitan penerbit Circa. (Foto: Facebook: Penerbit Circa)
Menjadi indie pada akhirnya berarti bebas berkreasi, menuangkan kreativitas lebih banyak, dan yang terpenting: tak tunduk pada selera pasar, sehingga ruang untuk berkarya kian luas dan tak terbatas.