Potret Masa Kelam Indonesia dalam Bingkai Film

30 Maret 2017 6:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sukarno dan Soeharto (Foto: Asian History and Culture)
Setiap bangsa memiliki kisah dan sejarahnya masing-masing-- yang tak semua manis belaka. Banyak pula kisah kelam yang mewarnai perjalanan panjang sebuah bangsa, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Periode 1965-1966 menjadi salah satu masa kelam negeri ini. Pada masa yang menjadi awal bercokolnya rezim Oder Baru itu, ratusan ribu orang mati, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi musuh bersama bangsa.
Sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa, hanya satu film yang menceritakan tentang tragedi 1965 itu. Film propaganda itu disutradarai Arifin C. Noer, berjudul Pengkhianatan G 30 S PKI.
Sudah, satu itu saja. Dan tentu, sudut pandang film menggunakan kacamata pemerintahan Orde Baru sebagai pemenang pertarungan politik kala itu.
Hingga akhirnya angin perubahan bertiup, Orde Baru runtuh, dan film-film tentang periode kelam Indonesia mulai bermunculan segar, dengan perspektif yang beragam, tak lagi seragam. (Baca juga: )
ADVERTISEMENT
Tragedi 1965 tetap jadi salah satu masa yang menarik bagi para sineas, baik sineas Indonesia maupun internasional. Film-film yang dibuat tentangnya lantas menawarkan perspektif baru bagi penonton.
Berikut beberapa di antara film yang menggambarkan kelam sejarah Indonesia pada masa 1965-1966.
The Act of Killing
The Act of Killing. (Foto: Flickr)
Film dokumenter karya Joshua Oppenheimer yang dirilis tahun 2012 ini menceritakan sejarah 1965 dari perspektif pejagal yang terlibat langsung dalam pembantaian.
Dalam film ini, digambarkan cara membantai para tahanan politik atau pengikut sayap kiri dilakukan. Mulai dari metodenya, hingga bagaimana kematian mereka dirayakan.
Anwar Congo dan Adi Zulkadry menjadi dua tokoh utama dalam film. Mereka duo pejagal yang begitu ditakuti. Anwar misalnya telah membunuh setidaknya 1.000 orang dengan tangannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pada beberapa adegan, ia mereka ulang kejadian dan menunjukkan metode pembunuhan yang ia lakukan. Semisal, kawat dilingkarkan ke leher orang yang dianggap komunis, lalu kawat itu ditarik kuat hingga orang tersebut tewas.
Metode demikian bukan hanya membunuh satu orang dalam sehari, namun puluhan. Dan para pejagal seperti enteng saja melihat nyawa-nyawa manusia melayang di tangan mereka.
The Look of Silence
The Look of Silence (Foto: thelookofsilence.com)
Film dokumenter ini mengisahkan kehidupan keluarga korban pembantaian 1965 yang mencari keadilan atas kematian kerabatnya.
Adi, seorang penjual kacamata yang merupakan adik Ramli, sang korban, menemui para pelaku yang bertanggung jawab atas pembantaian pada periode 1965, dan mendengarkan langsung cerita dari mulut mereka tentang pembantaian yang terjadi pada masa 1965 itu.
ADVERTISEMENT
Kali ini sang sutradara, Joshua Oppenheimer yang juga menggarap The Act of Killing, menggunakan kacamata korban dalam menceritakan rangkaian kisah sepanjang film berlangsung.
Sudut pandang ini digunakan untuk mengimbangi sekaligus menyempurnakan kelengkapan konteks yang ia hadirkan sebelumnya melalui film The Act of Killing.
Dalam pencarian keadilan yang tak mudah itu, luka Adi akibat kehilangan sang kakak kembali terbuka. Pergulatan terjadi di batinnya, dan terpancar lewat pandangan matanya yang sarat kegelisahan.
Diperlihatkan pula, luka bukan cuma tergores di hati para korban, tapi juga si pembunuh. Inong, tokoh yang membunuh Ramli, menanggung beban yang terus dibawa hingga masa tua karena telah membunuh rasa kemanusiaan.
Pulau Buru Tanah Air Beta
Pulau Buru Tanah Air Beta (Foto: Twitter: @rahung)
Bercerita mengenai tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru, film garapan Rahung Nasution ini membahas mengenai kehidupan Hersri Setiawan, seorang sastrawan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) selama di Buru.
ADVERTISEMENT
Pada film ini, Hersri kembali mengunjungi Pulau Buru tempat ia menjadi tahanan politik selama 9 tahun, dan mengingat lagi memori saat ia ditahan bersama rekan-rekan seperjuangannya.
Saat ditahan di Buru, Hesri tahu betul ia tak akan berupaya kabur. Sebaliknya, ia percaya Pulau Buru adalah sebuah harapan baginya, sembari terus menderaskan doa bahwa ia akan pulang suatu saat nanti.
Doa itu tampaknya didengarkan oleh Sang Kuasa. Pada 1977-1979, tahanan Pulau Buru akhirnya dibebaskan.
Film diakhiri dengan adegan Hersri menyambangi makam rekan-rekannya sesama tahanan di Buru. Ia mengenang, mengatakan bahwa menjadi korban politik bukanlah jalan hidup yang ia sangka sebelumnya.
Pada masa itu, tak ada pilihan lain tersisa baginya selain berserah diri sembari berharap kekuatan.
ADVERTISEMENT
Shadow Play: Indonesia’s Years of Living Dangerously
Cuplikan film Shadow Play. (Foto: Youtube: Aishaa Fitriani)
Sebuah film dokumenter yang menjabarkan situasi internal pada masa kejatuhan Sukarno dan pengaruh global yang melingkupinya.
Shadow Play: Indonesia’s Years of Living Dangerously dibuat oleh sineas barat bernama Chris Hilton, dengan melibatkan aktris kawakan Hollywood, Linda Hunt, serta sastrawan terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Film diawali dengan reka kisah mengenai peristiwa dibunuhnya enam tokoh bangsa pada malam 30 September 1965. Pembunuhan ini dianggap dilakukan oleh PKI, menjadikannya sebagai kambing hitam dan alasan "kuat" untuk menggulingkan kepemimpinan Sukarno.
Kisah dilanjutkan dengan pembongkaran sebuah area di pegunungan Jawa, menyibak kisah dari para korban yang dibunuh dan dikuburkan secara massal di sana. Salah satu tubuh itu milik Ibnoe Santoro, seorang murid yang dianggap sebagai simpatisan PKI.
ADVERTISEMENT
Tak hanya Ibnoe, Dr. Sumiyarsi yang bekerja sebagai dokter dan ilmuwan pada masa itu pun tak luput dari serangan dan siksaan. Ia dipenjara selama 11 tahun karena dianggap berafiliasi dengan PKI. Padahal, ia hanyalah seorang anggota Persatuan Ilmuwan Indonesia.
Shadow Play yang menceritakan sedikit demi sedikit kisah para korban, mencoba untuk menyibak peran dan andil bangsa Barat dalam periode 1965.
Dalam beberapa dokumen, ditemukan adanya indikasi keterlibatan CIA yang bekerja sama dengan militer Indonesia. HIngga kini, dokumen-dokumen tersebut terus dikumpulkan dan dikaji lebih lanjut untuk melihat konteks dan fakta sesungguhnya yang melatarbelakangi kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa itu.
Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!
Kami Hanya Jalankan Perintah, Jenderal! (Foto: youtube.com)
Film yang digarap pada 2016 oleh seorang murid SMA bernama Ilman Nafai ini mengambil sudut pandang anggota pasukan Cakrabirawa dalam menjelaskan peristiwa berdarah periode 1965.
ADVERTISEMENT
Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! merupakan film dokumenter yang berisi wawancara mendalam terhadap tiga mantan anggota Resimen Cakrabirawa --sebutan untuk satuan pasukan pengawal Sukarno.
Pemecatan mereka alami karena dianggap sebagai simpatisan Sukarno. Secara tidak langsung, ketiganya seakan memiliki keterlibatan dalam peristiwa penculikan enam jenderal TNI yang dilakukan pada malam 30 September 1965, sehingga masing-masing dijatuhi hukuman penjara.
Dalam sejarahnya, Pasukan Cakrabirawa dibentuk untuk mengamankan Presiden Sukarno. Didirikan pada 1962, Cakrabirawa diambil dari nama senjata pamungkas milik salah satu tokoh pewayangan, Batara Kresna. Tragedi 1965 hanya satu contoh, bahwa suatu peristiwa dapat direkam dan dikisahkan kembali dengan kuat dalam berbagai perspektif, tergantung pada sudut yang diambil sang sutradara.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai sumber