Tubuh dan Seni Telanjang di Indonesia

14 Maret 2017 12:48 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Patung perempuan di Istana Bogor (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
Telanjang, baik setengah maupun bulat, kerap dilekatkan pada makna yang sarat dengan saru dan tabu. Apapun, telanjang merupakan kondisi awal manusia saat ia hadir di muka bumi.
ADVERTISEMENT
Ketelanjangan sering kali dipandang sebagai lawan dari modernitas. Premis ini lantas menjelaskan sebuah kondisi di mana masyarakat adat kerap disebut primitif karena tidak mengenakan kain sepatutnya dalam kacamata masyarakat modern. Dengan ketelanjangan itu, mereka melakukan berbagai aktivitas sehari-hari.
Dengan pemaknaan tersebut, ketelanjangan menjadi konsep yang bertentangan dengan norma sosial masyarakat modern.
Berbicara mengenai ketelanjangan adalah bicara mengenai tubuh. Tubuh, dalam kepercayaan akar manusia Indonesia, dipandang sebagai objek sakral.
Ignas Kleden, sosiolog dan cendekiawan kelahiran Larantuka Flores, menyatakan bahwa tubuh dipandang sebagai medium untuk roh leluhur, sehingga kerap kali seni pertunjukan dilakukan dengan menunjukkan keberadaan roh melalui tubuh manusia untuk berinteraksi.
Namun, seiring perkembangan masyarakat yang makin kompleks, tubuh tak lagi dipandang sebagai objek yang sakral dan tak terbatas. Tubuh mesti dikontrol dengan berbagai macam aturan dan norma yang berjalan di tengah masyarakat, baik hukum maupun agama.
ADVERTISEMENT
Kontrol masyarakat terhadap tubuh manusia dilakukan guna “membatasi” kebutuhan dasar manusia yang “haus” akan ketubuhan. Kontrol itu akhirnya turut membentuk pemaknaan yang berbeda antara tubuh laki-laki dan perempuan.
Tubuh perempuan dimaknai sebagai tempat penciptaan. Dari tubuh perempuan, manusia baru tercipta, bertumbuh di rahim, lalu lahir ke dunia.
Di sisi lain, tubuh yang sama pun dipandang sebagai pemicu kerusakan. Tubuh perempuan dipandang sebagai sumber godaan dan kenikmatan. Ini membuat perempuan dihadapkan pada konsep kewajiban untuk menutupi payudaranya guna menghindari perbuatan yang dianggap dosa.
Berangkat dari ide dasar tersebut, ketelanjangan dianggap sebagai penodaan terhadap tubuh. Alih-alih jadi bentuk ekspresi diri, ketelanjangan dipandang sebagai sumber dosa dan maksiat.
Masyarakat pun jengah ketika melihat tubuh telanjang --walau kadang sebagian orang menikmatinya dalam diam.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia seni, kontrol terhadap tubuh manusia dipandang sebagai belenggu yang mengekang identitas dan jati diri manusia. Bagi sebagian orang, berbagai norma dan aturan yang diberlakukan atas tubuh membuat kebebasan manusia tercerabut dari jiwa.
Kontrol tubuh yang dianggap membelenggu itu lantas menuai berbagai kritik dan perlawanan, salah satunya melalui seni.
Laksmi Shitaresmi (Foto: Facebook: Laksmi Shitaresmi)
Di tengah masyarakat yang pekat dengan kontrol sosial, selalu ada seniman yang secara eksplisit menjadikan tubuh dan ketelanjangan sebagai karyanya. Salah satunya Laksmi Shitaresmi, pelukis asal Yogya yang menggambar tubuh telanjang dan tak segan menggantung lukisan tersebut di ruangan keluarganya.
Seorang seniman lain bernama Arahmaiani tak kalah eksplisit dalam berkarya. Dalam lukisannya, ia kerap menggambarkan bentuk alat kelamin secara jelas dan gamblang. Karya itu menjadi simbol kritiknya terhadap dominasi dan militerisasi dalam konteks Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada sebuah kesempatan untuk unjuk gigi, Arahmaiani menyampaikan kritiknya secara ekstrem: dengan hanya mengenakan pakaian dalam, Arahmaiani membiarkan para penonton untuk menulis atau menggambar apapun yang mereka sukai di tubuhnya.
Contoh seni ketelanjangan eksplisit lain ditunjukkan dalam karya seniman bernama Nurkhlois. Ia, dengan karakternya yang blakblakan dan tak berpura-pura, membuat karya surealis berupa lukisan yang ia buat dalam keadaan telanjang bulat.
Seakan karya yang dibuat dengan cara itu kurang tak masuk akal, Nurkholis melibatkan sang istri dalam membuat karya pionirnya. Ia dan sang istri berhubungan badan di atas kanvas, membiarkan gerakan tubuh alami mereka yang menjadi kuas.
Hasil karya itu terang mengundang berbagai reaksi, mulai dari rasa heran, malu, hingga decak kagum dan ucapan selamat.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan aktivis yang menyuarakan kritik mereka atas pembelengguan dengan bentuk demonstrasi misal, para seniman tersebut mewujudkannya melalui karya seni --yang telanjang dan tak bersekat.
Unggahan foto lukisan istri Soekarno di IG Pevita (Foto: Instagram @pevpearce)
Perkara telanjang ini, anda bisa simak selengkapnya di sini