Perempuan dalam Politik: Budaya Keibuan yang Menjadi Populer

Mariana Amiruddin
Magister Humaniora Kajian Gender Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
9 Juli 2018 10:47 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mariana Amiruddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak. (Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
zoom-in-whitePerbesar
Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak. (Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
ADVERTISEMENT
Fenomena terpilihnya sebagian besar perempuan menjadi pemimpin daerah di Jawa Timur menjadi perhatian publik. Ada beberapa “tembok besar” yang secara umum perlu perempuan lewati dalam menjadi politisi dan calon pemimpin.
ADVERTISEMENT
Pertama, bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa perempuan boleh memimpin. Kedua, bahwa perempuan bisa memimpin. Ketiga, bahwa perempuan mampu memimpin, serta yang keempat adalah perempuan berhasil memimpin. Jadi, ada 4 "tembok besar" yang harus diterjang dan ditunjukkan oleh mereka yaitu: boleh, bisa, mampu, dan berhasil.
Tembok pertama tentang boleh dan tidak boleh, sering diumpamakan perempuan tidak boleh memimpin rumah tangga. Keraguan terhadap kepemimpinan perempuan dimulai dari ranah keluarga, yang akibatnya keraguan terhadap mereka menjadi alasan untuk tidak boleh memimpin, bahkan tidak diperkenankan untuk memimpin masyarakat.
Apabila mereka diperbolehkan memimpin, mereka perlu menunjukkan kemampuan mereka bisa dan mampu, dan untuk mampu saja tidak cukup, mereka harus menunjukkan keberhasilan. Setelah semua itu dicapai, barulah masyarakat dapat menerimanya.
Faida, Bupati Jember (Foto: jemberkab.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Faida, Bupati Jember (Foto: jemberkab.go.id)
Artinya bahwa perempuan yang berhasil terpilih dalam politik memerlukan modal yang besar dibandingkan politisi laki-laki. Tidak melulu modal dalam bentuk uang, karena itu berlaku pada politisi manapun.
ADVERTISEMENT
Modal utama bagi politisi perempuan tidak tunggal. Dia perlu memiliki keberanian untuk melompat atau bertransformasi dari kehidupan perempuan umumnya, menuju “arena lain” yang berjarak dan asing, yang berada di luar norma budaya kehidupan perempuan.
Arena tersebut adalah ruang publik yang penuh dengan rambu-rambu maskulin; berkompetisi, bertarung, membuat program, dan narasi-narasi politik yang kuat, memiliki tim pemenangan yang mendukung, menghadapi tipu daya politik yang menjatuhkan (hoax) dan bahkan harus siap untuk gagal bertarung atau malah mengalami kerugian besar.
ADVERTISEMENT
Gangguan-gangguan untuk menjatuhkan itu biasanya menyerang perempuan. Tidak sedikit perempuan “mati di tengah jalan” karena tidak tahan tantangan-tantangan yang kompleks tersebut, yang mempermalukan dan membunuh karakternya.
Para pemimpin perempuan, telah melewati semua itu, atau mereka mampu mengemas dan mempersiapkannya dengan baik sehingga tidak ada celah bagi orang lain untuk menjatuhkan. Hal ini terjadi karena seringkali yang dilihat dari sosok perempuan adalah bukan prestasi, kepintaran, keahlian, atau kerja kerasnya, melainkan moralitasnya dalam bingkai stereotype gender yang masih diyakini masyarakat.
Untuk menjadi pemimpin, lompatan tersebut tentu perlu dukungan kepercayaan diri individu perempuan itu sendiri, dukungan keluarga atau orang terdekat, kekuatan jaringan organisasi massa dan organisasi politik. Tanpa sektor-sektor pemenuhan modal tersebut, perempuan mengalami kesulitan yang besar dan nyaris tidak mungkin.
ADVERTISEMENT
Namun di Jawa Timur, tantangan-tantangan yang khas pada perempuan tidak terlalu berkorelasi atau berkaitan, di mana masyarakatnya cenderung tidak lagi melihat mereka sebagai perempuan ataupun laki-laki, melainkan sebagai calon pemimpin yang dibutuhkan masyarakat.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengenakan pakaian tentara zaman dulu. (Foto: Instagram @trirismaharini)
zoom-in-whitePerbesar
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengenakan pakaian tentara zaman dulu. (Foto: Instagram @trirismaharini)
Kebutuhan tersebut dipelopori oleh Bu Risma, Wali kota Surabaya, yang mengatur masyarakat dan lingkungannya sebagaimana mengatur keluarga: yang menggunakan politik etika kepedulian. Memperlakukan warga dan lingkungannya seperti anak-anaknya sendiri.
Sehingga arena politik yang biasanya menghasilkan nilali-nilai maskulin yang kebapakan, menjadi nilai-nilai feminin yang keibuan. Nilai-nilai ini yang kemudian menjadi popular sekaligus menaikkan popularitas Bu Risma.
Selain itu, popularitas tidak lagi melekat pada seorang selebritis, melainkan karena memiliki basis massa yang kuat, jaringan yang terkonsolidasi dengan baik dan solid. Seperti yang dilakukan Khofifah, Gubernur Jawa Timur terpilih.
ADVERTISEMENT
Rata-rata perempuan yang terpilih sebagai pemimpin di Jawa Timur, memiliki jaringan basis massa perempuan yang kuat, dan memiliki keahlian pada tema-tema persoalan hidup yang biasanya dibutuhkan oleh perempuan, seperti kesehatan, pemberdayaan ekonomi, kesejahteraan, serta lingkungan, yang diharapkan mudah diakses dan diterapkan secara sederhana.
Muslimat NU (Foto: Prabarini Kartika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Muslimat NU (Foto: Prabarini Kartika/kumparan)
Nilai-nilai keibuan ini kemudian juga menjadi kebutuhan masyarakat laki-laki. Popularitas tahap berikutnya adalah media, yang semakin menaikkan citra atau figur mereka, serta memberi kesan penting bagi masyarakat. Bu Risma, tanpa sosialisasi media massa dalam hal sepak terjangnya, mungkin tidak akan dikenal secara nasional sampai sekarang ini.
Khofifah, sudah sangat dikenal beberapa kali menjadi menteri. Oleh karena itu para politisi perempuan memang sangat penting menjadi menarik perhatian media, yang bukan lagi soal kecantikannya, tetapi karakter kerjanya yang khas.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, lompatan atau transformasi mereka ke arena maskulin tadi (arena kebapakan) yang penuh kompetisi, pertarungan, saling menjatuhkan, telah membawa sesuatu yang baru ke ruang publik, yaitu budaya keibuan yang tidak lagi hanya diterapkan dalam rumah tangga, melainkan pada masyarakat umum.
Budaya kepedulian yang sangat biasa dipraktikan oleh kaum ibu ini, menarik dan memberi kesan bagi masyarakat yang haus dengan perhatian. Namun tentu saja politik keibuan ini bukan tanpa kekurangan, karena memimpin masyarakat tidak cukup menggunakan kepedulian atau empati saja, melainkan juga kemampuan menganalisa dan menyelesaikan masalah.
Masalah tidak cukup dilakukan dengan kepedulian, tetapi diperlukan keadilan yang mencakup wawasan yang dalam dan luas tentang pengetahuan masyarakat di daerah tempatnya memimpin, demikian pula tanah, air, udara, dan seisinya.
ADVERTISEMENT
Hal lainnya yang menjadi kritik masyarakat adalah banyak perempuan terpilih karena ada kaitan dengan suami, ayah, atau saudaranya yang sebelumnya berkuasa dan memiliki jaringan politisi-politisi yang kuat.
Perempuan pemimpin juga bukan berarti tidak dapat terjerat pada persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme, yang terjadi pula pada laki-laki, dan tidak menggunakan cara-cara keibuan dalam kekuasaannya. Bahkan melanggengkan budaya patriarkhi dalam menerapkan kebijakan-kebijakan mereka.
Perjuangan gerakan perempuan tentu saja pada awalnya memiliki tujuan pemenuhan keterwakilan perempuan di parlemen, dan keterwakilan perempuan di wilayah eksekutif baik nasional dan daerah, adalah didasari oleh pentingnya memberi kesempatan kepada perempuan.
ADVERTISEMENT
Langkah berikutnya, pemimpin perempuan diharapkan membawa angin perubahan, kepedulian, dan juga keadilan bagi masyarakat perempuan dan masyarakat pada umumnya.