Kalau Aku "Ndeso" Memangnya Kenapa?

Konten dari Pengguna
10 Juli 2017 16:09 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sedikit telat, namun saya akan tetap menuliskan opini saya tentang hal yang cukup ramai di perbincangkan akhir-akhir ini mengenai ungkapan "Ndeso". Sebenarnya ungkapan ini memiliki arti kata apa sih? apakah dengan sikap atau sifat yang masih terbelakang, sikap atau sifat yang belum mampu mengikuti perkembangan jaman, atau suatu sikap atau sifat yang sederhana dan bersajaha?
ADVERTISEMENT
Kata "Ndeso" sendiri lahir dari kata Deso, atau lebih dikenal dengan kampung halaman atau menurut saya sebagai orang Jawa memaknai ndeso adalah sebuah desa atau padukuhan. Dapat di ilustrasikan dengan percakapan seperti, seorang bertanya,"kamu berasal dari mana?" , lantas dijawab ,"saya berasal dari Desa SukaDuit, hendak menuju Desa SukaKorup". Seperti itulah gambaran yang dapat saya paparkan mengenai asal istilah “Ndeso” menurut saya.
Namun yang sedang ramai di perbincangkan saat ini menurut saya sudah memiliki pemaknaan yang lebih luas lagi mengenai kata “Ndeso”. Saat ini kata atau istilah “Ndeso” yang sedang ramai diperbincangkan lebih mengarah pada sikap terkesan norak, tidak mengikuti perkembangan jaman. Yang kemudian masih menurut saya istilah ini lahir atau melahirkan jarak diantara kita. Dimana ada yang disebut "Ndeso" adalah orang yang dianggap tidak mengikuti perkembangan jaman. Sedangan orang yang (merasa) disebut tidak "Ndeso" adalah orang yang mengikuti perkembangan jaman.
ADVERTISEMENT
Secara tidak langsung mereka yang merasa tidak ndeso memandang orang ndeso/desa adalah orang yang norak atau tidak mengikuti perkembangan jaman. Hmm, bukankah kita semua berasal dari desa? Pembangunan sajalah yang cukup membedakan suatu desa. Dengan adanya istilah “Ndeso” dan tidak “Ndeso”, bukankah ini cerminan pembangunan atau pendidikan kita yang belum merata? Memang belum sanggup rata atau memang sengaja dibikin tidak rata? Yang agar nantinya ada istilah,”liburan ke desa ah, disana lebih tenang dari segalanya”