news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kalah

Marini Dewi Anggitya Saragih
Tidak suka beres-beres. Tidak mau makan tauge dan durian.
Konten dari Pengguna
11 September 2018 15:55 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marini Dewi Anggitya Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kalah
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kekalahan adalah kawan yang baik. Ia datang dalam banyak rupa.
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu, satu-dua bulan belakangan, saya disibukkan dengan perhelatan olahraga. Mulai dari Piala Dunia, Wimbledon, Asian Games, hingga AS Terbuka. Entah apa yang ada di dalam pikiran manusia-manusia ini, sehingga memutuskan untuk menggelar perhelatan-perhelatan dalam waktu yang hampir berbarengan.
Imbasnya, kami yang bekerja di bidang yang ada kaitannya dengan olahraga, walau tak secara langsung, jadi kerepotan. Habis gelap terbitlah terang. Bernapas lega sekelebat, lalu kembali terengah-engah.
Saya dan beberapa teman seprofesi walau tak sekantor sampai mengumbar lelucon begini hampir tiap malam, “Besok giliran siapa yang tifus, rek?”
Euforia kemenangan menjadi santapan hampir setiap hari. Lagak kami sudah seperti jadi bagian tim atau atlet yang menang setiap kali gelar kemenangan itu disahkan oleh sang wasit.
ADVERTISEMENT
Kemenangan memang menyenangkan buat diikuti. Lewat momen yang singkat itu, yang hanya bisa kami saksikan dari kejauhan, via tayangan televisi dan sambungan video streaming, rasanya kami mendapat macam-macam injeksi.
Tapi, kekalahan juga menjadi pemandangan yang hampir setiap hari muncul. Anehnya, rupanya yang macam-macam itu tak membikin ngeri, tapi malah membikin akrab.
Di Piala Dunia 2018, Kroasia kalah. Predikat runner-up hanya istilah halus yang disematkan untuk para pecundang. Tapi, kekalahannya harum semerbak.
Dunia memandang kekalahan itu sebagai kemenangan Kroasia, setidaknya di ranah sepak bola. Sebagian besar diingatkan lagi dengan sejarah Kroasia yang tak mudah. Sebagian besar orang dicelikkan bahwa kisruh-kisruh politik dan kejahatan yang mengusik sepak bola Kroasia tak membikin Timnas Kroasia jadi sekumpulan orang yang mati gaya di pesta sepak bola sejagat itu.
Kolinda Grabar-Kitarovic menyelamati Luka Modric. (Foto: REUTERS/Carl Recine )
zoom-in-whitePerbesar
Kolinda Grabar-Kitarovic menyelamati Luka Modric. (Foto: REUTERS/Carl Recine )
Penikmat bola -entah sudah lama atau musiman Piala Dunia- disentak dengan kisah sang kapten, Luka Modric. Bahwa amukan perang tak cukup hebat untuk meredam daya ledak Modrid di atas lapangan bola.
ADVERTISEMENT
Cerita masa kecil yang muram dan penuh dengan penolakan tak cukup logis bagi Modric untuk menolak setiap kesempatan untuk berkreasi mengirim umpan, mengacak-acak pertahanan lawan, dan membuka jalan bagi para penyerangnya di atas lapangan bola. Namanya memang Luka, tapi Modric tak mau berlama-lama hidup dalam belenggu luka.
Kekalahan Nigeria dan Senegal menjadi kekalahan yang menyenangkan. Kekalahan yang membuat orang-orang melihat apa arti keceriaan yang awet. Kekalahan Jerman memberikan pelajaran tentang akibat menjadi angkuh.
Kekalahan Jepang menjadi bukti bahwa di dalam kekalahan pun kau bisa menjadi terhormat dan beradab. Kekalahan Mesir menyuarakan bahwa di atas lapangan sana, ada seorang tua yang menolak untuk meringkuk di hadapan masa tua.
Yang menjadi pengingat bahwa di mana pun, asal kau punya nyali, selalu ada tempat untukmu walau kau sudah tak muda lagi. Dan untuk ini, saya menaruh hormat pada Essam El Hadary.
ADVERTISEMENT
Di atas lapangan rumput Wimbledon, John Isner menanggung kekalahan yang agung. Melawan petenis asal Afrika Selatan, Kevin Anderson, ia mesti menghabiskan waktu 6 jam 36 menit di atas lapangan. Sudah kepalang lama, ujung-ujungnya kalah pula. Ayunan raket dan smes-smes Isner ternyata tak cukup ampuh untuk mengantarkannya pada kemenangan.
John Isner di semifinal Wimbledon 2018. (Foto: Ben Curtis/Pool via Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
John Isner di semifinal Wimbledon 2018. (Foto: Ben Curtis/Pool via Reuters)
Kekalahan Isner di semifinal tunggal putra itu mengingatkan orang-orang bahwa ia sama hebatnya dengan sosok yang muncul di Wimbledon 2010. Bahwa terkadang, seseorang tak butuh bergelimang gelar juara untuk bisa menjadi orang yang hebat.
Di laga babak grup di Asian Games 2018, raihan minor Timnas Indonesia dari Palestina menunjukkan bahwa ada yang lebih penting daripada kemenangan dan kekalahan. Sepak bola hari itu mewujud dalam laga yang aneh.
ADVERTISEMENT
Tak ada kekesalan yang berlarut-larut walau tuan rumah gagal mengemas kemenangan. Dari tribune penonton terdengar seruan yang meneriakkan nama Palestina. Mereka yang menang tak menjadi musuh.
Mengutip tulisan si Akbar yang jadi kawan saya, "Palestina dan Indonesia adalah dua karib yang terpisah jarak. Sesekali dua kawan karib memang perlu untuk bertemu dalam satu pertandingan sepak bola yang sama. Pertemuan seperti ini dibutuhkan untuk memastikan masing-masing mereka tetap bertahan dalam bentuk yang sebenarnya."
Anthony Ginting memang kalah di pertandingan pertama final bulu tangkis nomor beregu putra Asian Games 2018. Tapi, siapa pula yang tak menyalutkan keputusannya untuk tetap berdiri tangguh melawan cedera, tak peduli seberapa hebat sakit yang ditanggung?
Anthony Ginting terhenti di babak semifinal. (Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anthony Ginting terhenti di babak semifinal. (Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan)
Nama Anthony menjadi masyhur, disebut-sebut sebagai pahlawan olahraga. Mengutip omongan Mas Dalipin (kutip terus!), di laga itu Anthony memang kalah, tapi ia kalah sebagai orang yang sudah menyelesaikan tugasnya.
ADVERTISEMENT
Di atas lapangan itu, Anthony tak punya tugas untuk memenangi pertandingan. Yang menjadi tugasnya adalah menyelesaikan pertandingan.
Dan tanpa diminta, ia menuntaskan tugas yang lain, memberi insipirasi dalam wujud penolakan untuk tunduk pada cedera. Shi Yuqi yang jadi lawannya itu pun menaruh hormat.
Saat Anthony melepaskan pukulan dengan kaki yang teramat menegang, sampai tak bisa ditekuk, ia mengembalikan shuttlecock dengan pukulan seadanya. Di pinggir lapangan, ia menggenggam tangan Anthony yang sedang terkapar.
Ia memang menang, tapi kemenangan itu tak lagi penting buat dirayakan. Begitu wasit memutuskan laga tak bisa dilanjutkan Yuqi meninggalkan lapangan tanpa perayaan sedikit pun. Dan yang menjadi pembicaraan setelahnya bukan kemenangan Yuqi, tapi kekalahan Anthony.
ADVERTISEMENT
Naomi Osaka adalah pemenang di nomor tunggal putri AS Terbuka 2018. Tapi, kemenangannya terusik oleh polemik Serena Williams dan umpire, Carlos Ramos.
Hanya, Serena tak mewariskan polemik itu kepada Osaka yang menimang gelar Grand Slam pertamanya. Seusai laga, Serena merentangkan kedua tangannya sembari berjalan ke arah net. Semringah. Di depan net itu, keduanya berpelukan, dan Osaka kembali ke masa kanak-kanaknya.
Juara AS Terbuka 2018, Naomi Osaka. (Foto: USA Today/Reuters/Robert Deutsch)
zoom-in-whitePerbesar
Juara AS Terbuka 2018, Naomi Osaka. (Foto: USA Today/Reuters/Robert Deutsch)
Di atas podium penyerahan trofi Grand Slam, Osaka sesenggukan. Seantero stadion riuh dengan gemuruh kekecewaan. Osaka merasa diolok-olok, seketika ia merasa menjadi musuh bagi mereka yang duduk di tribune-tribune penonton.
Wajahnya ia tutupi dengan topi hitam yang tak mau ditanggalkan dari kepalanya. Serena merangkulnya, entah berbisik apa, yang jelas Osaka tersenyum setelah itu.
ADVERTISEMENT
Serupa runner-up lainnya, Serena berpidato -sambil terisak pula. Di sana, ia memberikan penghormatan kepada Osaka yang berhasil menjadi juara. Di sebelahnya, Osaka bertepuk tangan, memberikan salut dan penghargaan untuk sang idola.
Di atas Arthur Ashe Stadium, kekalahan Serena adalah kekalahan yang menjaga kemenangan Osaka supaya tetap utuh. Kemenangan Osaka adalah kemenangan yang menjaga kekalahan Serena supaya tetap terhormat.
***
Definisi seperti apa pun tidak mungkin bisa membuat kekalahan jadi menyenangkan bagi yang kalah. Mereka yang kalah hanya bisa merasakan kesakitan dan rasa malu itu dengan sedalam-dalamnya, dengan seliris-lirisnya.
Tapi, sebagaimana mereka yang berlaga sebagai atlet, kita pun tak akan lepas dari kekalahan. Dan ketika ia datang, ketika ia telah menempuh perjalanannya untuk sampai kepada kita, apa lagi yang bisa kita lakukan selain menerima, menyambutnya tanpa bergidik ngeri, dan mengenyam segala petunjuk yang ia wariskan?
ADVERTISEMENT
kredit foto: Glynn Kirk/Pool via Reuters/File Photo