Merawat Optimisme Kebangsaan

B Mario Yosryandi Sara
Aktivis HAM dan Pegiat Demokrasi, tinggal di Jakarta
Konten dari Pengguna
18 November 2023 19:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari B Mario Yosryandi Sara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi optimisme kebangsaan. Foto : Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi optimisme kebangsaan. Foto : Pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam perjalanan sejarah 78 tahun Indonesia merdeka, negara kita telah melewati tonggak-tonggak sejarah penting. Sejak ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, hingga perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari serangan kolonialisme yang ingin kembali merebut Indonesia pada episode masa revolusi fisik 1945-1949.
ADVERTISEMENT
Tak berhenti di situ, proses mempertahankan kemerdekaan juga harus dilalui dengan menumpas gerakan separatis di Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan, dan Makasar. Tahun 1965, Indonesia kembali mendapatkan ujian saat diperhadapkan dengan tragedi Gerakan 30 September (G30S). Dan diakhir abad ke-20 (1997-1998), Indonesia mengalami transisi demokrasi dengan lahirnya era reformasi.
Keberhasilan bangsa kita melewati proses sejarah dalam berbagai rentetan waktu, baik itu pada episode perjuangan dengan deru mesin yang diwarnai dengan percikan darah dan hujan air mata di era revolusi fisik; perjuangan melawan bangsa sendiri dikarenakan unsur politik dan ideologi, serta episode melawan tirani, tidak terlepas dari tekad para pendahulu kita untuk membawa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, dan maju.
ADVERTISEMENT
Era reformasi sudah kita lalui selama 25 tahun. Dalam proses itulah, Indonesia telah mengubah arus sejarah dengan menghadirkan suatu tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana diketahui, sekarang Indonesia sedang tampil sebagai sebuah negara emerging economy dan menjadi kekuatan ekonomi ke-17 dunia.
Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah (US$ 4.850) dengan tingkat kemiskinan (9,36%) dan pengangguran (7,86 juta dari 147,71 juta angkatan kerja) yang secara bertahap berhasil diturunkan. Pada saatnya nanti, diyakini Indonesia akan beralih status menjadi negara maju, berada pada level lima besar kekuatan ekonomi dunia di tahun 2045.
Harus diakui 78 tahun kemerdekaan Indonesia, sudah banyak kemajuan yang bernilai. Meski demikian, masih terdapat kompleksitas persoalan yang wajib diselesaikan. Sejak berabad-abad silam, rumah besar yang bernama Nusantara dihiasi oleh kemajemukan.
ADVERTISEMENT
Kemajemukan merupakan warna tersendiri dalam potret keindonesiaan. Namun, kemajemukan pula yang seringkali menghadirkan persoalan, pertentangan, bahkan malapetaka di antara sesama anak bangsa. Sikap intoleransi sebagian besar masyarakat kita, kerap mengarah pada konflik berkepanjangan.
Ilustrasi kemajemukan. Foto : Pexels.com
Hingga kini masih kita saksikan bersama, apabila selalu ada kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah bahkan berujung pada aksi teror atau pengancaman. Padahal yang dibutuhkan adalah sikap toleransi, yang kita harapkan sebagai tameng untuk menjaga nilai-nilai kemajemukan dalam budaya multikultural.
Secara empiris kelemahan mendasar bangsa Indonesia dalam membangun semangat nasionalisme adalah terletak pada orientasi pembangunan sebagai tujuan utama yang paling fundamental, bukan mengacu pada aplikasi instrumen pemberdayaan masyarakat menuju kesejahteraan, sehingga menyebabkan wawasan kebangsaan perlahan terkikis oleh mobilisasi pembangunan yang secara faktual mengarah pada sentralitas negara yang semakin mengemuka.
ADVERTISEMENT
Tidak heran jika wawasan kebangsaan dan semangat pluralisme direduksi melalui hegemonisasi pembangunan. Artinya, politasasi atas pluralisme melalui politik hegemonisasi, tentu saja menjadi kendala bagi tumbuhnya wawasan kebangsaan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks modern saat ini, semangat kebangsaan akan mampu menggerakkan semua individu, yang pada ujungnya mampu menempatkan Indonesia pada mainstream dunia. Elemen itulah yang sanggup menarik benang merah kebangsaan kita di sepanjang jalan perubahan dan kemejemukan.
Perlu diingat, di tahun politik ini proses demokrasi kita mulai menggeliat ke berbagai arah. Para kontestan yang sedang bertarung baik di ranah legislatif (DPRD, DPR, DPD) maupun eksekutif (Pilpres), sedang mematut diri dan menebar senyum dalam bentuk media kampanye konvensional hingga online yang ditebar di sepanjang jalan dan platform media sosial.
ADVERTISEMENT
Padahal demokrasi tidak mensyaratkan senyum termanis, melainkan mengutamakan kejujuran serta gagasan organik dalam proses penyelenggaraannya, sekaligus penegakkan aturan yang adil jika terjadi perselisihan. Kita percaya jika demokrasi tanpa kebebasan akan berubah menjadi tirani, tapi demokrasi yang melampaui batas dan tidak disertai tanggung jawab dipastikan berubah anarki. Sebab demokrasi harus terhindar dari perilaku amoral.
Iustrasi Demokrasi. Foto : Pexels.com
Sejauh ini, sebagian besar masyarakat memiliki trust bahwa Indonesia sedang dalam proses mempercepat penguatan demokrasi. Dikarenakan tanpa demokrasi yang kokoh, yang ditopang oleh rule of law, maka moralitas dan etika politik akan mengalami penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dua dekade berlalu kita menjadi saksi sejarah, bahwa reformasi yang dicetuskan tidak saja telah mendewasakan bangsa kita dalam pengelolaan kehidupan berdemokrasi namun juga memfasilitasi pemajuan pada ranah pembangunan, konstitusi, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kita bahkan dapat menunjukkan kepada dunia, bahwa reformasi di ranah politik dapat berjalan sinergis dengan percepatan pembangunan ekonomi, pemajuan kesejahteraan rakyat, pembangunan di sektor hukum hingga pemeliharaan kedaulatan serta peningkatan kepeloporan Indonesia di forum internasional.
Tentu ke depan, tantangan pembangunan yang kita hadapi tidaklah ringan. Dalam menyikapi dinamika zaman yang makin kompleks dan saling bertautan satu sama lain, kita harus optimis, bersemangat dan bersinergi. Sebagai salah satu negara besar yang cerdas dan berwawasan berkemajuan, kita tak boleh apatis, takut, tunduk apalagi gentar dengan beratnya tantangan peradaban.
Kita harus memiliki keyakinan bahwa Indonesia terlalu besar untuk tunduk apalagi tenggelam dalam sinisme, keluh kesah, dan pesimisme. Persaingan yang makin berat dan kompleks tersebut, justru harus dijadikan sebagai “bahan bakar” yang menggelorakan mesin-mesin pemajuan dan pembangunan multisektor.
ADVERTISEMENT