Nestapa Demokrasi

B Mario Yosryandi Sara
Aktivis HAM dan Pegiat Demokrasi, tinggal di Jakarta
Konten dari Pengguna
5 Januari 2024 15:59 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari B Mario Yosryandi Sara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Demokrasi. Foto: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demokrasi. Foto: Pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah 25 tahun Reformasi 1998, Indonesia tampak masih belum berjarak jauh dari Orde Baru (Orba). Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjelmah menjadi musuh bersama di masa Orba kelihatan malah semakin tumbuh subur pascareformasi. Konstitusi dengan mudah dikoyak untuk kepentingan sesat dan sesaat. Pilpres 2024 bukan tentang siapa presidennya. Ia bisa saja seorang prajurit militer, ia bisa juga seorang pengusaha, bisa dari habitus akademis, juga mungkin seorang yang memang memiliki pengalaman menjadi pemimpin pada skala yang lebih kecil dari sebuah Negara.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai Negara-bangsa (baca; nation state), kita hanya bisa menerima untuk memilih Capres dari yang sudah dipilih oleh koalisi antar Parpol. Ambang batas 20% kursi di parlemen akhirnya menjebak kita, untuk sekadar memilih calon yang dipilihkan. Faktanya, tidak terdapat satupun partai politik yang bertanya terlebih dahulu kepada rakyat.
Tidak ada kesempatan rembug dengan rakyat, sehingga tak dapat dipastikan apakah rakyat setuju tentang calon presiden yang mereka usung. Namun itulah takdir kita sebagai rakyat, semata hanya menjadi pelengkap penderita. Tidak ada waktu tersisa yang cukup banyak bagi kita, untuk menentukan siapakah presiden yang akan dipilih.
Sebagaimana paradigma Budi Hardiman (2013) dalam bukunya yang berjudul “Dalam Moncong Oligarki". Ia menjabarkan bahwa harapan akan datangnya kepemimpinan yang kuat menjadi populer di Indonesia, khususnya di saat krisis, dan dalam demokrasi harapan itu akan tersalur sebagai pemberian suara kepada partai atau kandidat presiden yang dikira memenuhi harapan tersebut. Bila demikian hal itu terjadi, Indonesia akan tetap berada dalam demokrasi, meski rezim yang bangkit dari demokrasi belum tentu melanjutkan demokratisasi.
ADVERTISEMENT

Erosi Demokrasi

Ilustrasi Foto : Pexels.com
Isu regresi demokrasi sebetulnya telah menjadi perhatian para scholars dalam 10 tahun terakhir, lantas mengalami situasi yang mengkhawatirkan jelang Pemilu 2024. Terutama dalam aspek kemunduran dalam prosedur dan substansi kompetisi elektoral. Hal ini dapat diidentifikasi dari beberapa hal, yaitu proses Pemilu yang sejak awal melekat dengan narasi kecurangan.
Contohnya, tahapan verifikasi partai politik serta fenomena penundukan lembaga penyelenggara Pemilu secara sukarela terhadap kekuatan politik di DPR, salah satunya berkaitan dengan keterwakilan perempuan. Selain itu fenomena juristocracy, yaitu pengalihan persoalan kebijakan legislasi ke pengadilan dan menantang masyarakat sipil untuk melakukan aktivisme hukum.
Selanjutnya, ancaman erosi demokrasi oleh elite-elite politik yang mampu melakukan akumulasi kekuasaan sekaligus membajak demokrasi. Elite politik berjalan dalam gelombang populisme instrumental dan berhasil melakukan rekayasa persetujuan (baca; manufacturing consent) dengan narasi “dia orang baik”, “dia adalah kita”, dan lain sebagainya. Jika berkaca dari teori psikologi politik, elite politik hari ini memenuhi karakteristik elite yang disebut ilmuwan politik Pareto (1968) sebagai elite dengan karakter rubah dan lion, yaitu elite inovatif, spekulatif, dan skeptis.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan rezim sebelumnya, yang cenderung menekankan pada stabilitas dan keseimbangan. Namun tidak dengan elite politik hari ini, yang kian mengabaikan suara civil society. Fenomena tersebut lantas berkamuflase sebagai benalu demokrasi.
Kemudian terdapat pula autocratic legalism, yakni adanya upaya pembajakan mekanisme konstitusi untuk mendapatkan keuntungan dari dangakalnya demokrasi dan hukum yang berlaku. Sebagaimana hukum dijadikan alat penyelewengan instrumen kekuasaan.
Cara tersebut irasional dan kontradiktif dibandingkan penggunaan senjata, karena dapat memberikan dampak buruk bagi masyarakat luas. Dalam koridor autocratic legalism tersebut, terdapat pelemahan empat institusi demokrasi di Indonesia, di antaranya KPK, DPR (fungsi pengawasan), masyarakat sipil (melalui aksi teror, intimidasi, dan doxxing), serta Mahkamah Konstitusi.
Di sisi lain, erosi demokrasi tidak selalu bersumber dari elite politik. Ancaman demokrasi juga muncul dari masyarakat sipil. Dalam konteks politik akhir-akhir ini, suara kritis civic space, terkhusus di media sosial yang seringkali dibungkam oleh komunitas masyarakat sipil lainnya terutama buzzer.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini sangat ironi, dikarenakan masyarakat sipil selama ini diyakini sebagai agen utama demokratisasi, dan kritik terhadap kekuasaan tentu merupakan hal urgent demi terwujudnya demokrasi yang sehat. Akan tetapi, di saat masyarakat sipil terkooptasi dan menjadi pendukung kekuasaan, hal tersebut secara perlahan akan mematikan kontrol publik. Fenomena-fenomena ini menunjukkan kepada kita jika demokrasi tidak pernah runtuh secara tiba-tiba, melainkan terjadi secara perlahan tanpa disadari.

Indeks Demokrasi

Berdasarkan laporan Global Freedom Score 2023 yang dirilis Freedom House, Indonesia menempati peringkat ke-58 secara global dan ke-9 di Asia Tenggara dalam daftar negara dengan indeks kebebasan dalam hak politik dan kebebasan sipil. Kebebasan yang dimaksud didasarkan pada premis bahwa standar tersebut berlaku untuk semua negara dan wilayah, terlepas dari lokasi geografis, komposisi etnis atau agama, atau tingkat perkembangan ekonominya.
ADVERTISEMENT
Jika kita berkaca pada data yang dirilis oleh Economist Intellegence Unit (EIU), Indonesia mendapat skor 6,71 pada Indeks Demokrasi 2022, dengan range indeks 0-10. Standar yang ditetapkan oleh EIU mencakup lima kategori yakni, proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik.
Meski demikian, skor dari EIU masih stagnan atau tidak mengalami perubahan yang signifikan dengan indeks demokrasi 2021. Sebab demokrasi Indonesia telah terkontaminasi demokrasi cacat (flawed democracy), hal ini dimaksudkan karena peringkat Indonesia pada level global mengalami penurunan. Semula 52 menjadi 54 dari total 167 negara di bawah Kolombia dan Filipina. Kita terpaut jauh dengan peringkat pertama Norwegia yang mendapatkan skor 9,81, diikuti dengan peringkat kedua Selandia Baru dengan skor 9,61, dan ketiga Islandia dengan skor 9,52.
ADVERTISEMENT
Sedangkan laporan V-Dem Institute dalam Democracy Report 2023 dijelaskan, bahwa sebanyak 43% jumlah populasi dunia saat ini hidup di negara-negara yang sedang mengalami kemunduran demokrasi. Bahkan tingkat demokrasi secara global pada 2022 terdegradasi ke level yang sama dengan demokrasi pada 1986.
Situasi itu ditandai antara lain, represivitas pemerintah terhadap civil society, kebebasan berekspresi menurun, masifnya sensor pemerintah terhadap media, dan memburuknya kualitas Pemilu. Indonesia dalam 10 tahun terakhir, dari laporan yang sama, mengalami penurunan demokrasi bersama negara-negara Asia Pasifik di antaranya India, Kamboja, Hongkong, Myanmar, Afghanistan, Bangladesh, Hongkong, Filipina, dan Thailand.
Mengutip Catatan Akhir Tahun 2023 LBH Jakarta bertemakan “Jalan Asa Demokrasi di Negara Oligarki” dapat disimpulkan ketiga rangkaian indeks demokrasi tersebut, apabila selama dua periode Presiden Jokowi nyata membawa demokrasi mundur dalam era yang lebih culas ketimbang keterang-terangan rezim Orba. Kemerdekaan berekspresi, berpikir, berpendapat, dan bernegosiasi terancam, dan ruang sipil menyempit.
ADVERTISEMENT

Menjaga Bara Demokrasi

Demokrasi tak pernah terisolasi dari konteks di mana ia tumbuh. Demokrasi hanya dapat berfungsi jika terdapat keyakinan. Tidak perlu dijelaskan bahwa faktor tersebut bukan semata-mata kepercayaan atas dinamika bernegara, melainkan terhadap kekuasaan yang menjalankan fungsi demokrasi. Dikarenakan demokrasi adalah pekerjan bersama yang berlandaskan empati, rasa hormat, dan pengakuan, maka dibutuhkan juga tekad untuk bersatu.
Melalui “Iman Dalam Tantangan” Franz Magnis Suseno (2023) berpesan, bahwasannya dengan mendasarkan Indonesia pada Pancasila para founding fathers menyatakan tekad mereka bahwa Indonesia di satu pihak hanya bisa bersatu apabila setia pada nilai-nilai kemanusiaan yang sejak ratusan tahun mereka hayati. Di lain pihak bahwa mereka menghendaki suatu Indonesia yang menjadi negara bermartabat.
Oleh karena Indonesia adalah tempat di mana seluruh jiwa bangsa berada, maka siapa pun kita tentu memiliki obsesi untuk memberikan sumbangan terbaik bagi kelangsungan hidup bangsanya. Obsesi yang didasari keyakinan bahwa demokrasi dijalankan dalam rangka bernegara, dan bernegara harus dijalankan dalam kerangka konstitusi. Kita harus tegaskan, negara ini akan tegak untuk waktu yang panjang, sehari sebelum kiamat. Pelbagai rentetan peristiwa politik selama setahun belakangan, seyogyanya menjadi catatan sebagai bahan refleksi dan proyeksi demi Indonesia yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Penting dikatakan bahwa potret suram di atas tidak mencerminkan seluruh realitas politis Indonesia, melainkan paling banyak hanya separuhnya, karena semenjak tumbangnya orde baru, masyarakat Indonesia tumbuh sebagai kekuatan yang memberi harapan akan Indonesia yang lebih baik. Dan api itulah yang harus dikuatkan, diperbesar dan dikobarkan.