news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kiprah Dewan Pengawas KPK dalam Fungsi Pengawasan Kode Etik

Mario Agritama S
Legal Consultant at ILO, Content Creator Writer @advokatkonstitusi
Konten dari Pengguna
23 Desember 2020 16:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mario Agritama S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dewan Pengawas KPK (Sumber: DetikNews)
zoom-in-whitePerbesar
Dewan Pengawas KPK (Sumber: DetikNews)
ADVERTISEMENT
Oleh:
Mario Agritama S.W.M.
(Mahasiswa S-1 FH UAD dan Kepala Deputi Kajian & Penelitian BAKAD UAD)
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang lahir dari buah reformasi. Politik hukum pembentukan KPK dimulai dalam satu tarikan nafas dengan upaya memberantas KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), yang merupakan salah satu amanat gerakan reformasi, setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Dimulai dengan lahirnya Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Indrayana 2016, 34). Komisi Pemberantasan Korupsi hadir di tengah-tengah lembaga penegak hukum yang ada sebagai lembaga harapan bangsa Indonesia untuk menjawab krisis persoalan pemberantasan korupsi yang marak terjadi di Indonesia.
Pasca perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ke dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, terjadi reformasi dalam struktur kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah satunya, dengan dibentuknya Dewan Pengawas KPK.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a. Patut disadari bahwa pasca revisi Undang-Undang KPK yang baru yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, otoritas yang dimiliki oleh Dewan Pengawas KPK terkesan lebih kuat dibandingkan Pimpinan KPK.
Beberapa tugas dan kewenangan Dewan Pengawas KPK sebagaimana yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2019, diantaranya:
a) Mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b) Memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;
ADVERTISEMENT
c) Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;
d) Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini;
e) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
f) Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala satu kali dalam satu tahun.
Dapat dilihat bahwa otoritas pro justitia di KPK yang pada awalnya dimiliki tunggal oleh komisioner telah bergeser kepada dewan pengawas. Apabila melihat dalam Naskah Akademik UU No. 19 Tahun 2019, alasan pembentukan Dewan Pengawas ini pada dasarnya untuk mencegah kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh KPK. Dewan Pengawas juga dianggap sebagai penjaga the rule of the game, pengawas kode etik, dan independensi KPK.
ADVERTISEMENT
Menguatnya kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Pengawas KPK, sekiranya diharapkan dapat menjadi momentum untuk memperbaiki berbagai kelemahan-kelemahan yang ada sebelumnya pada internal kelembagaan KPK, terutama dalam hal penegakan kode etik Pimpinan dan Pegawai KPK.
Dalam tulisan ini, penulis akan fokus membahas kiprah dari Dewan Pengawas KPK dalam menjalankan fungsi pengawasan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi selama setahun dibentuknya dewan tersebut.
Pentingnya Kode Etik Penegak Hukum
Berikan penegak hukum yang baik, meskipun dengan produk hukum yang jelek. Keadilan akan lebih mudah ditegakkan di tangan penegak hukum yang baik. Demikianlah, suatu adagium yang merepresentasikan realitas bahwa penegakan hukum tak sekedar ditentukan oleh produk hukumnya (peraturan perundang-undangan), melainkan juga faktor di luar hukum, khususnya sepak terjang manusia dan sistem politik yang membingkainya (Marwiyah n.d., 104–5).
ADVERTISEMENT
Menurut Hook (1986), etika berkaitan dengan soal pilihan (moral) bagi manusia. Hidup manusia berada dalam regulasi etika. Manusia yang berada dalam regulasi etika dapat menjalani peran sesuai dengan norma, akan memperoleh kebahagiaan, kedamaian, dan keinginan lainnya. Dalam rumusan tersebut, apabila seseorang itu punya kecenderungan berwatak serakah, maka keserakahan dalam dirinya bisa dikendalikan, bilamana dalam dirinya mengenal ilmu pengetahuan tentang etika (Marwiyah n.d., 2).
Hal ini lah yang melandasi pentingnya sebuah kode etik dalam berbagai profesi, termasuk profesi penegakan hukum di KPK. Dalam menjalankan tugasnya, KPK harus lah senantiasa berpedoman pada Kode Etik Pimpinan dan Pegawai KPK sehingga diharapkan KPK dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya secara efektif serta dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada seluruh rakyat Indonesia. Beberapa ketentuan mengenai kode etik di KPK telah diatur dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi; Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 02 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi; dan Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 03 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Persidangan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
ADVERTISEMENT
Penanganan Pelanggaran Kode Etik Dewas KPK
Salah satu pelanggaran kode etik yang cukup kontroversial terjadi di KPK dalam setahun terakhir adalah pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri. Dalam kasusnya, Firli menggunakan transportasi mewah berupa helikopter dengan jenis Helimousine saat melakukan perjalanan dari Palembang menuju Baturaja pada 20 Juni 2020.
Tindakan yang dilakukan oleh Ketua KPK tersebut pun telah melanggar ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf m Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia No. 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam ketentuan a quo menyatakan bahwa dalam mengimplementasikan nilai integritas, setiap insan komisi dilarang menunjukkan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat terutama kepada sesama Insan Komisi. Setelah dilakukan pemeriksaan dan sidang etik, pada putusannya Dewan Pengawas KPK menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis II kepada Ketua KPK, Firli Bahuri.
ADVERTISEMENT
Apabila melihat putusan yang dijatuhkan oleh Dewan Pengawas KPK terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri, nampak terjadi kesenjangan yang begitu kontras antara pelanggaran yang dilakukan dengan peraturan kode etik KPK.
Menurut penulis, pelanggaran yang dilakukan oleh Ketua KPK tersebut dapat dikategorikan sebagai jenis pelanggaran sedang. Mengapa demikian? Berdasarkan klasifikasi jenis pelanggaran kode etik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Peraturan Dewan Pengawas KPK No. 2 Tahun 2020, bahwa apabila pelanggaran tersebut berdampak atau menyebabkan kerugian terhadap Komisi, maka pelanggaran tersebut termasuk dalam kategori Pelanggaran Sedang.
Secara sosiologis politis, keberadaan KPK inherent Pimpinan KPK telah menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang korup. Menghadapi simbolisasi KPK dan pimpinannya sebagai lambang keadilan dalam pemberantasan korupsi, maka pimpinan KPK dianggap sebagai cerminan dari kelembagaan KPK. Pelanggaran yang dilakukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri tentu sangat mencederai dan merugikan institusi KPK sendiri, sehingga unsur berdampak atau menyebabkan kerugian terhadap Komisi dirasa telah terpenuhi. Terlebih keresahan yang hadir di masyarakat pasca terungkapnya pelanggaran kode etik Ketua KPK tersebut, cukup membuat masyarakat kecewa terhadap perilaku pimpinan tertinggi komisi anti rasuah tersebut.
ADVERTISEMENT
Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa Dewan Pengawas tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan. Pada September tahun 2019 yang lalu, KPK mengumumkan bahwa Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik, bahkan saat itu dijatuhkan sanksi pelanggaran berat.
Apabila melihat ketentuan Pasal 11 ayat (2) Peraturan Dewan Pengawas KPK No. 2 Tahun 2020, bahwa dalam hal terjadi pengulangan Pelanggaran oleh Insan Komisi pada jenis pelanggaran yang sama maka Sanksi dapat dijatuhkan satu tingkat di atasnya. Maka, sudah seharusnya sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Pengawas kepada pimpinan tertinggi KPK tersebut tidak lah berupa sanksi ringan. Melainkan dapat diberikan sanksi sedang, bahkan dapat dijatuhkan sanksi berat.
Seyogyanya, kehadiran Dewan Pengawas KPK diharapkan dapat menjawab persoalan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Pimpinan dan Pegawai KPK. Namun, pada kenyataannya sanksi yang dijatuhkan pun tidak lah sesuai dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Hal ini pun dapat menjadi suatu preseden buruk kedepannya, bagi pegawai atau Pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kiprah Dewan Pengawas KPK dalam menjalankan fungsi pengawasan kode etik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, terutama Pimpinan KPK masih belum cukup baik. Dewan Pengawas KPK masih abai terhadap harapan dan kepercayaan masyarakat Indonesia yang begitu tinggi kepada KPK.
Seharusnya Dewan Pengawas KPK dapat lebih tegas lagi dalam menindak setiap pegawai maupun pimpinan KPK yang terbukti melanggar kode etik karena memiliki kaitan yang erat dengan citra komisi anti rasuah tersebut di mata publik. Padahal, hal tersebut sebenarnya dapat dijadikan sebagai momentum bagi Dewan Pengawas KPK untuk menjawab keraguan publik dan kembali meningkatkan kepercayaan publik terhadap kelembagaan KPK pasca revisi UU No. 19 Tahun 2019.
Perbaikan Sistem Kontrol KPK
ADVERTISEMENT
Mengutip pendapat dari Prof. Denny Indrayana dalam Bukunya yang berjudul “Jangan Bunuh KPK” beliau merekomendasikan gagasan perbaikan sistem kontrol dalam kelembagaan KPK. Pertama, adanya sistem kontrol internal personal pimpinan dan pegawai KPK sendiri. Artinya, proses seleksi pimpinan dan rekruitmen pegawai mesti dibuat sangat selektif sehingga memastikan yang terpilih hanyalah orang-orang terbaik integritas dan kompetensinya. Sehingga, kasus pelanggaran kode etik yang terjadi dilakukan oleh Ketua KPK seperti saat ini dapat dicegah pada pimpinan KPK masa mendatang. Kedua, diperlukan penguatan sistem kontrol internal-institusional di KPK sendiri, yaitu dengan penguatan materi code of conduct serta penegakan kode etik di internal KPK. Saat ini kode etik di KPK dianggap salah satu yang terbaik, namun tetap perlu dilakukan reevaluasi agar dapat berjalan lebih tegas dan efektif lagi kedepannya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, menurut penulis hal yang perlu menjadi catatan adalah diperlukan suatu kontrol yang bersifat terbuka oleh seluruh Pegawai maupun Pimpinan KPK terhadap kinerja Dewan Pengawas KPK. Hal ini bertujuan agar dalam menjalankan fungsinya Dewan Pengawas KPK tidak menyimpang dari jalurnya, seperti yang terjadi dalam kasus pelanggaran kode etik Firli Bahuri.
Apabila alasan pembentuk undang-undang membentuk Dewan Pengawas KPK untuk mengawasi kinerja Pimpinan dan Pegawai KPK agar tidak menyimpang atau menyalahgunakan kewenangannya, maka begitupun juga dengan Dewan Pengawas yang perlu untuk mendapat pengawasan secara terbuka oleh seluruh insan komisi agar tidak melakukan penyimpangan yang serupa.
Dengan demikian, persoalan kode etik dalam internal KPK diharapkan dapat berjalan lebih efektif lagi kedepannya melalui mekanisme pengawasan check and balances antara Pegawai, Pimpinan, dan Dewan Pengawas di dalam internal KPK.
ADVERTISEMENT