MENYOAL KEADILAN BAGI KORBAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

Mario Agritama S
Legal Consultant at ILO, Content Creator Writer @advokatkonstitusi
Konten dari Pengguna
5 Agustus 2020 20:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mario Agritama S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh:
Mario Agritama
(Mahasiswa FH UAD Yogyakarta, Deputi Kajian & Penelitian BAKAD UAD, Kepala Divisi Pidana Materiil CCLS FH UAD)
ADVERTISEMENT
Sebagai negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Indonesia menganut sistem hukum eropa continental rechtstaat yang pada awal kemunculannya dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut Stahl konsep negara rechstaat ditandai salah satunya dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (Tutik, 2010: 61). Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi sebagai the highest law of the land yang tertuang dalam Pasal 28 A – J UUD 1945 yang mengatur perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak kebebasan warga negara.
Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang dimiliki setiap manusia karena kodrat dan martabatnya sebagai manusia, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau negara. Dalam buku The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, John Locke mengajukan suatu postulat bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara. (Smith, dkk., 2015: 12). Dalam konteks Pancasila, pada sila kedua Pancasila yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab” secara tegas menjunjung tinggi konsepsi hak asasi manusia. Menurut Yudi Latif (2017: 243), sila kedua Pancasila menunjuk kepada nilai-nilai dasar manusia yang diterjemahkan dalam hak-hak asasi manusia, taraf kehidupan yang layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, berbicara mengenai hukum dan hak asasi manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, hukum dapat berperan sebagai alat untuk melindungi hak asasi manusia dan hukum juga dapat berperan sebaliknya.
Problematika Hukum Pidana Indonesia
Berangkat dari Hukum Pidana Indonesia, menurut penulis menimbulkan masalah terhadap nilai-nilai hak asasi keadilan bagi korban. Dalam KUHP maupun KUHAP, perlindungan hukum dan hak asasi korban belum diatur secara optimal jika dibandingkan dengan pelaku atau tersangka. Beberapa contohnya menurut Sunarso (2012: 49-50), Pertama, dalam penjatuhan pidana KUHP tidak merumuskan jenis pidana restitusi. Kedua, dalam KUHP menganut aliran neoklasik seperti menerima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan pelaku tindak pidana. Dalam hal ini, Perlindungan hukum serta keadilan bagi korban seharusnya lebih diatur secara eksplisit dalam KUHP dan begitu juga di dalam KUHAP dikarenakan korban merupakan pihak yang benar-benar mengalami penderitaan serta kerugian akibat perbuatan pelaku.
ADVERTISEMENT
Permasalahan diatas tentu tidak dapat dilepaskan oleh fokus kajian hukum pidana selama ini yang hanya terletak pada perbuatan pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan ancaman pidana. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa paham teori. Pertama, Teori Absolut (vergeldingstheorien) yang muncul pada akhir abad ke- 18 ini menganggap pembalasan merupakan legitimasi pemidanaan. Dalam teori ini secara tegas menyatakan pidana dijatuhkan kepada pelaku karena just deserts, bahwa mereka dihukum karena layak untuk dihukum atas perilaku tercela mereka. Konsep just desert di dalam retribusi mengacu pada ill-desert pelaku dan dapat terpenuhi melalui sesuatu bayaran yang negatif atau balas dendam pemidanaan. Kedua, Teori Relatif (doeltheorien) yang berkembang selangkah lebih depan dari vergeldingstheorien, bahwa dasar pemidanaan merupakan penegakan ketertiban masyarakat dan mencegah kejahatan. Teori ini memiliki fokus pada edukasi pelaku kejahatan agar tidak mengulangi perbuatan pidana lagi. Ketiga, Teori Gabungan, yaitu kombinasi antara vergeldingstheorien dan doeltheorien. Menurut Vos, teori ini menitikberatkan pada pembalasan dan juga untuk melindungi ketertiban hukum serta masyarakat (Hiariej, 2016: 40). Dari ketiga teori tersebut menegaskan fokus dari pemidanaan hanya terletak pada pelaku kejahatan. Sedangkan, keadaan dan kondisi korban kurang mendapatkan perhatian.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh kasus First Travel. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 Tahun 2019, barang bukti yang disita dalam perkara First Travel dirampas untuk negara dan uang milik korban First Travel tidak dikembalikan kepada para korban (Kompas.com, diakses pada 23 Januari 2020). Hal tersebut secara langsung menegaskan bahwa pemidanaan tidak dapat memberikan keadilan berupa pemulihan kembali hak korban yang telah dirampas oleh pelaku.
Pembaharuan sistem Hukum Pidana berdasarkan Cita Hukum Pancasila
Berangkat dari suatu postulat le salut du people est la supreme (Hiariej, 2016: 31), yaitu hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan tersebut meliputi nilai-nilai keadilan dan hak asasi yang dimiliki bagi setiap warga negara. Dengan demikian, penulis menawarkan beberapa rekomendasi untuk menjawab problematika diatas.
ADVERTISEMENT
Pertama, menerapkan sistem pemidanaan Restorative Justice. Sistem ini merupakan bentuk pendekatan penyelesaian perkara pidana yang melibatkan pelaku kejahatan, korban, dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan (Hiariej, 2016: 44). Dengan Restorative Justice dapat menegakkan dasar filosofi dari penegakan hukum dan HAM berdasarkan cita-cita Pancasila, yaitu pada sila ke- 4 Pancasila. Sila tersebut memiliki kandungan falsafah musyawarah yang memiliki makna mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat meliputi semangat kekeluargaan, sehingga jika dibreakdown falsafah musyawarah mengandung lima prinsip sebagai berikut. Pertama, conferencing (bertemu untuk mendengar dan mengungkapkan keinginan); Kedua, search solution (mencari solusi atau titik temu atas masalah yang sedang dihadapi); Ketiga, reconciliation (berdamai dengan tanggungjawab masing-masing); Keempat, repair (memperbaiki atas semua akibat yang timbul); Kelima, circles (saling menunjang) (Prayitno, 2012: 414, http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/download/116/65).
ADVERTISEMENT
Kedua, merumuskan Rechterlijk Pardon atau Permaafan Hakim dalam salah satu bentuk putusan oleh hakim (Yosuki & Tawang, 2018: 8, https://journal.untar.ac.id/index.php/adigama/article/download/2136/1212). Dalam hal ini, Rechterlijk Pardon dilaksanakan dengan syarat telah adanya pemaafan oleh korban. Pemaafan tersebut meliputi pengembalian hak-hak asasi korban yang telah dilanggar oleh pelaku. Dengan ini dapat merangsang pelaku kejahatan untuk mengupayakan pengembalian hak-hak korban ke keadaan semula demi mendapatkan pemaafan dan terlepas dari hukuman hakim. Konsep ini juga sejalan dengan sila ke- 4 Pancasila karena sangat dimungkinkannya pelaku dan korban serta pihak terkait dapat bermusyawarah untuk menghasilkan kesepakatan mengenai hak-hak yang perlu untuk dikembalikan ke keadaan semula.
Ketiga, merumuskan pemidanaan ganti rugi restitutif dalam KUHP. P. Cornil pada tahun 1959 berkesimpulan bahwa korban patut mendapat perhatian lebih besar dan harus diperhatikan dalam membuat kebijakan criminal (Sunarso, 2012: 32). Bagi korban, penerimaan ganti rugi akan lebih berarti dibanding pidana pemenjaraan kepada pelaku. Dengan ini, dapat memberikan opsi bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan berupa ganti rugi restitutif dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan bagi korban.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, ketiga rekomendasi diatas sekiranya dapat menjawab berbagai problematika terabaikannya hak asasi keadilan bagi korban selama ini. Diharapkan juga dapat merubah paradigma yang digunakan dalam tujuan pemidanaan ialah untuk memperbaiki kerusakan yang bersifat individual dan sosial (individual and social damage) yang diakibatkan oleh pelaku tindak pidana (daderstrafrecht) demi mewujudkan suatu tatanan sistem hukum berdasarkan cita hukum Pancasila sebagai philosophy grondslag.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hiariej, Eddy. 2016. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka
Latif, Yudi. 2017. Negara Paripurna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Malian, Sobirin & Isdiyanto, Ilham Yuli. 2019. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Total Media
Smith, Rhona K.M. Dkk. 2015. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sunarso, Siswanto. 2012. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
Jurnal
Prayitno, Kuat Puji. 2012 “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia” dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3. Hlm.
Yosuki, Aska & Tawang, Dian Adriawan Daeng . 2018 “Kebijakan Formulasi Terkait Konsepsi Rechterlijke Pardon (Permaafan Hakim) Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia” dalam Jurnal Adigama, Vol. 1, No. 1. Hlm. 8
Zulfa, Eva Achjani. 2006. “Pergeseran Paradigma Pemidanaan Indonesia” dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-36 No.3. Hlm 393.
Media Online
Detik News, https://news.detik.com/berita/d-4785385/pilu-korban-first-travel-uangnya-tak-pernah-kembali-dan-malah-dirampas-negara (diakses pada 2 Januari 2020)