Badut Cara Lain Bertahan Hidup

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2021 16:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Anak dan Badut Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anak dan Badut Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pada umumnya anak-anak suka dengan dandanan badut, warna-warni rambut badut, tingkah badut yang acap lucu, menggemaskan kadang agak genit dan perangai menggembirakan lainnya. Barangkali aktor badut memang digelar untuk mengisi dunia yang lucu dan menghibur atau bikin orang lain senang.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya kemudian, akankah kita merasa nyaman dengan itu semua? Pertanyaan ini jawabannya relatif, bergantung sudut pandang masing-masing. Jika kemudian, bisa saja pemeran badut-badut itu berangkat dari profesi sesungguhnya, tapi ada juga yang bermula karena iseng jika beroleh respons bagus dari pengguna jalan malan lanjut atau setop, dan seterusnya, kemudian juga ada pembadut ini yang hanya sebagai interlude (selingan), parahnya para badut ini jika pekerjaannya hanya karena terpaksa apalagi dipaksa dikaryakan (dieksploitasi).
Kalau kita amati, badut itu rerata berkostum menarik perhatian, berwarna-warni dan acap mengenakan pakaian badut tokoh-tokoh kartun tertentu, misalnya Donald Bebek, Dora, Doramenon, Ipin-Upin, atau seperti sosok Cinderella, Princess, dan sebagainya. Pembadut ini jarang bahkan nihil yang memakai fashion badut ala tokoh-tokoh yang dibenci karena peran jahat, umpama saja tokoh Raksasa atau Buto dalam pewayangan.
ADVERTISEMENT
Sekarang, badut hadir di mana-mana. Di agenda ulang tahun anak balita, acara karnaval Agustusan, di pasar-pasar, pada ruang-ruang pembacaan puisi, restoran, pesta pernikahan, supporter sepak bola di stadion, panggung komedi bahkan dalam kekinian badut pun hadir di mal, taman kota, aktor kriminal bahkan ke dalam barisan para demonstran yang mengkritisi kebijakan, dll.
Serbuan badut dalam aneka aktivitas masyarakat, sejatinya juga mendatangkan berkah lain bagi industri kecil kustom badut. Di sini mengalirkan segenap ide bahkan inovasi sehingga menjadi atraktif bagi penikmat.
Berkah bagi pengusaha kostum badut yang punya tenaga kerja dengan job desk masing-masing dengan upah sesuai keahliannya. Sedangkan bagi aktor badut pun semakin kaya koleksi pakaian badut dengan rerupa tokohnya, mau tidak mau mesti adaptif dengan segala tingkah polah sang tokoh agar masyarakat merasa terhibur bahkan bisa menjadi katarsis (kanal kesedihan).
ADVERTISEMENT
Pada aras pandemi ini, sejauh kita jalan-jalan keliling Kota Semarang, kita akan mendapatkan pemandangan luar biasa. Bukan kemacetan, tidak tawuran, juga bukan soal tilang polisi, tapi kita tak sedikit disuguhi atraksi badut. Mungkin, sesuai route perjalanan, seperti Bangjo Dewi Sartika, Perempatan Sampangan, Traffict light Kaligarang, kemudian berlanjut ke Bangjo Kariadi, hingga Tugumuda dan Perempatan KFC Tamrin kadang di Bagjo A Yani dan Bangkong, acap kita dipertemukan dengan badut-badut itu. Panorama badut, tak cuma di Semarang tapi menjadi fenomena di kota besar lainnya.
Membadut tidak pernah dibatasi bahkan tak ada matinya. Badut tidak masalah, yang menjadi masalah adalah tatkala badut-badut itu mengais rezeki dan menggangu pengguna jalan. Hampir seluruh pemda sudah menerbitkan perda yang mengatur setiap orang dilarang memberikan uang dan/atau barang dalam bentuk apapun kepada anak jalanan, gelandangan, dan pengemis (AJGP) di jalan-jalan umum dan/atau traffic light. Musim pandemi secara tak langsung menjadi warning bagi kita untuk tidak memberikan apa pun di jalanan, apalagi bersentuhan (kontak fisik) dan tak ada jaminan dari segi kebersihan dan kesehatannya. Terlampau rentan.
ADVERTISEMENT
Apakah badut ini termasuk AJGP? Sebetulnya tak penting untuk mendapatkan jawaban itu, karena dengan fenomena maraknya badut ke jalan belakangan ini, sudah seharusnya menjadi momentum pemda dan masyarakat untuk bersinergi memberdayakan mereka (badut), bisa saja mereka kita lakukan maping (pemetaan), akomodir dan kita berikan pendikikan dan pelatihan maupun pendampingan sesuai bakat, minat dan hobinya.
Kementerian dan lembaga maupun pemda bisa melakukan diklat diversifikasi usaha dan atau profesi dengan mentor dan best practice yang profesional. Apakah mereka sejatinya suka entertainment, jurnalistik atau wirausaha atau bidang lainnya? BPR/BKK, Koperasi maupun Bank Daerah pun mesti welcome dengan mereka untuk mengurus kesulitan keuangan maupun permodalannya. Dinsos, Dispermas, Disnaker, Baznas bisa ikut andil mengentaskan per-badut-an ini dengan cara-cara pemanusiaan yang produktif. Kita berdayakan mereka jangan sampai hanya menjadi parasit kota. Silakan badut dengan imajinasi, ekspresi, kreasi dan inovasinya tetap berkarya bahkan melampau harapan.
ADVERTISEMENT
Badut Politik
Pemerintah dan masyarakat harus selektif memberdayakan mereka, jangan sampai tetiba mereka dipasok tetumpukan bantuan dana dengan dalih terdampak pandemi COVID-19. Memang, bisa saja misalnya mereka ada yang tertimpa PHK karena perampingan atau perusahaan tempat bekerjanya bangkrut ataukah mereka ini memang pemalas: mencari uang dengan cara instant, menjulurkan telapak tangan ke orang-orang lewat, menanti sedekah dengan menistakan diri sendiri dengan memiskinan diri, menjual kenestapaan, dan sebagainya.
Praktik Badut, selain memberi impresi lucu, menghibur, juga ada yang berkesan memasok horor dan menakutkan. Mungkin, ada baiknya saking banyaknya badut-badut di negeri ini bisa dibikin asosiasi badut yang mampu mengorganisir anggotanya dengan cara atau job-job terhormat tanpa menjatuhkan kualitas badut.
Pembadut di jalan itu hal biasa, badut pasar biasa pula, badut ulang tahun juga hanya biasa, karena penghasilannya juga cuma biasa-biasa saja. Cukuplah badut-badut ini, mengisi dunia kita, melengkapi manis getir hidup ini. Badut harus naik kelas. Janganlah menjadi badut seumur-umur, apalagi badut politik. Badut politik menurut Seno Gumira Ajidarma (Tempo, 13/11/2018) adalah kekonyolan karena yang membuat orang tertawa adalah kebodohannya. Badut dan Baduter, sah-sah saja, asal empan papan.
ADVERTISEMENT