Bansos Bukan ATM Berjalan PNS

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
1 Desember 2021 19:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga melintas di dekat mural bertema korupsi bansos di Jalan Raya Transyogi, Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (19/4/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Warga melintas di dekat mural bertema korupsi bansos di Jalan Raya Transyogi, Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (19/4/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Media lokal maupun nasional acap melansir, sekira 31 ribu ASN menerima bantuan sosial dari pemerintah. Ada yang lewat PKH dan BPNT. Profesi ASN yang menerima bansos ini beraneka latar belakang, seperti tenaga pendidik, medis, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Praktik kusam di atas tentu harus menjadi PR kita bagaimana membenahi data secara baik. Sesungguhnya, kesalahan data tersebut sudah bisa dipetakan sejak sangat awal, karena panduannya jelas, jika tak boleh disebut praktik pembiaran. Barangkali jika argumen salah sasaran pun bisa dimaklumi kala hanya menyangkut satu dua orang, tapi kalau sudah puluhan ribu itu ada indikasi kesengajaan dan mengarah praktik kecurangan.
PNS dalam nalar publik, jelas mereka sudah mendapat gaji dan tunjangan. Ketika ada usulan anggota DPR yang menyebut PNS golongan I dan II layak memperoleh bansos, rasanya masih perlu dikaji secara intens. Karena gaji PNS itu secara nasional punya standar yang sama, yang membedakan hanya pada point tunjangan saja. Jadi gaji PNS golongan I dan II dengan pangkat terendah pun sudah jauh lebih baik ketimbang penghasilan kawan-kawan kita yang harus bekerja di pabrik.
ADVERTISEMENT
Artinya, tatkala ada PNS yang menerima dan atau mengambil bansos rupanya mereka ini secara sadar atau tidak sadar telah melukai dan menyakiti warga miskin. Apalagi musim pandemi sekarang ini, tak sedikit yang tertindih PHK dan terpaksa menyandang gelar sebagai pengangguran. Para PNS ini nampaknya sudah kehilangan sense of crisis. Hati, jiwa, dan otaknya kian kurus, kusut dan kerdil karena mereka telah sampai hati mengambil jatah bansos kaum miskin. Apa pun alasannya, mereka ini telah membutakan diri, memiskinkan dirinya. Dalam Bahasa lainnya, yakni Sumaker (sugih macak kere). Kelompok PNS ini bermental kere. Mental-mental kelam seperti ini penting kita balikkan menjadi mental driver, mental bos, bukan mental penumpang melulu.
Selain sanksi dan penghentian aliran bansos ke PNS tersebut, tentu perlu kiranya kita melakukan pembenahan SDM sebagai petugas pendataan sejak di level RT RW, dusun, desa dan seterusnya. Termasuk jajaran pemerintah desa/kelurahan. Karena sejatinya, filter data itu ada di bawah, maka Kepala Desa/Lurah semestinya paling bertanggung jawab atas kasus PNS penerima bansos yang sedang seru di media sosial ini. Di sini integritas dan pendataan sesuai SOP penting ditegakkan. Jangan sampai petugas data bisa digoyang oleh para calon penerima bansos, termasuk PNS.
ADVERTISEMENT
Itulah kemudian, betapa pentingnya kita merevolusi mental bagi PNS penerima bansos, petugas data, Kepala desa/Lurah, dan lainnya yang terlibat dalam rangkaian pemetaan, inventarisasi hingga distribusi bansos di lapangan. Bung Karno pernah berujar, “Revolusi mental merupakan satu gerakan untuk mengembangkan manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemampuan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala”.
Bahkan Presiden Joko Widodo menegaskan, untuk lebih memperkokoh kedaulatan, meningkatkan daya saing dan mempererat persatuan bangsa kita perlu melakukan revolusi mental. Revolusi Mental mengubah cara pandang, pikir, sikap, perilaku dan cara kerja yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan sehingga Indonesia menjadi bangsa besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Maka kemudian, penguatan SDM PNS dengan menjunjung integritas dengan antikorupsi, gratifikasi dan pungli maupun dalam konteks problema ini, yaitu PNS yang menolak menerima bansos atau tidak merebut jatah bansos warga miskin. Kini, dalam angka matematika kita revolusi mental sudah berumur lebih dari 60 tahun sejak Soekarno dan 7 tahun sejak Nawacita serta telah berusia 5 tahun pasca Inpres 12/2016.
ADVERTISEMENT
Selama itu pula revolusi mental menggelora di jagat nusantara, sudahkah kita mempraktikkannya secara sungguh-sungguh. Kadang kita ngelus dada, karena revolusi mental belum juga merekat dan menginternalisasi pada sikap mental, karakter PNS dalam keseharian. Mengapa kita tak malu kepada anak-anak kita yang selalu kita beri wejangan atau nasihat jangan sekali-kali merebut hak orang lain yang itu bukan hak kita. Padahal edukasi sejak dini ini yang digadang-gadang mampu berpraktik secara konsisten di lapangan.
Etos dan Etik
Tapi, rupa-rupi alasan kita selalu membawa-bawa nama anak-anak kita pada praktik rendahan itu. Acap terbit pembenar, PNS menerima bansos itu untuk menutup biaya pendidikan anak-anak dan kehidupannya. Nilai-nilai materialistrik berbalut kesalehan dan sosial kemanusiaan sering disodorkan ke depan para penegak hukum dan pengadil. Apalah yang bisa diharapkan dari seorang yang PNS yang dengan sengaja dan sukacita menikmati bansos yang menjadi kue orang miskin. Mereka (PNS) ini keblinger, mengejar glamouritas, membeli gaya hidup bahkan prestise maupun popularitas semu.
Ilustrasi PNS. Foto: Dok. Istimewa
Ketika para PNS bicara kurang dan berkisah miskin lantas beramai-ramai turut menerima bansos, sejatinya lebih pada terjadi kesalahan dalam mengelola penghasilannya. Besar pasak daripada tiang. Kini, sudah saatnya PNS penerima bansos melakukan taubat nasional menghentikan praktik merebut segala bantuan kaum miskin, termasuk bansos. Orientasi maupun paradigma PNS lama harus bergeser, dari konsumtif ke produktif, dari menerima bergeser peran menjadi memberi, dan berbagi.
ADVERTISEMENT
Mari semua PNS berjanji atau bermunajat diri untuk tak melakukan praktik-praktik berebut dan merebut bansos. Sekarang, selain kita gotong royong mengibarkan bendera kemanusiaan untuk menghalau covid-19, relevan rupanya kita tabuh genderang berperang eling dan ngelingke para penerima bansos yang “salah sasaran.” Janganlah kita bermuka dua, sudah merebut hak orang lain tak tahu malu lagi bahkan bercerita keberhasilannya bisa mendapatkan bansos ke orang lain, bahkan ke warga miskin yang lain. Dalam relasi ini memang ada beberapa hal yang kita sayangi namun dalam banyak hal patut kita sayangkan.
Jika mau berubah, masih ada waktu untuk kembali ke jalan lurus dan bisa tidur nyenyak. Jika tidak, mau dibawa kemana nasib dan masa depan negeri ini. PNS menerima bansos sama halnya makan hak rakyat miskin. Inilah ruang kontemplasi kita, otokritik kita hari ini. Terpenting dari semua itu, mari kita merepair diri, mengedukasi diri dan keluarga jangan sampai kita diperbudak materi dan sudah saatnya naik kelas secara benar. Jika PNS penerima bansos harus mengembalikan bantuannya, itu berpulang kepada kebijakan pemerintah, meski by name by address PNS tersebut sah.
ADVERTISEMENT
Mestinya para PNS penerima bansos itu malu kepada sejumlah warga Kelapa Gading Jakarta, empat keluarga desa Damarkasiyan Wonosobo, tiga warga desa Sendangsari Bantul Jogya, Noverlina desa Malangan Klaten, Irma desa Baturamba Gowa Sulses, Thukul Prambanan Klaten, dan Doby S Prabowo perangkat desa Banyudono Boyolali, yang kesemuanya secara sukarela mengembalikan bansos dan bantuan lain ke pemerintah karena merasa yang lain lebih membutuhkan.
Jangan sampai PNS menjadikan bansos ATM berjalan. Cukuplah kasus bansos ini memberi pelajaran bagi PNS yang seolah beroleh “durian runtuh,” di simpang jalan. Di sinilah etos dan etik PNS dipertaruhkan. Barangkali ada baiknya PNS kita membaca cerpennya Agus Noor, “Perihal Orang Miskin yang Bahagia.”