Bukan PKL, tapi soal Razia PKL

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
9 Juni 2020 7:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah petugas Satpol PP menyegel akses masuk ke lokasi warung pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (1/6). Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah petugas Satpol PP menyegel akses masuk ke lokasi warung pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (1/6). Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 hingga kini masih saja menyimpan kemurungan bagi para pedagang kaki lima (PKL), hingga acap kucing-kucingan dengan para petugas tramtib atau satpol, dkk. Para PKL nekat menjajakan makanannya, karena terdesak ekonomi pinggiran, sementara petugas lebih pada menjaga protokol kesehatan yang cenderung dilanggar masyarakat.
ADVERTISEMENT
Karena sering kita saksikan jam main warung hingga jam 20.00-21.00 tapi mereka seperti sengaja mengulur jam tutupnya dan kurang disiplin, misalnya pengelola warung dan penjajan tak bermasker, absen menjaga jarak konsumen atau pembelinya, atau tempat cuci tangan kedodoran bahkan nihilnya hansanitizer di mejanya, dll. Tapi PKL yang tertib pun juga tak sedikit.
Mereka PKL lebih suka menghabiskan dagangan di lapaknya yang terhormat itu hanya demi menyambung hidup, apalagi anak-anaknya yang merengek minta seragam sekolah, mengganti sepatu yang sudah sempit atau tas sekolahnya yang sudah butut, membayar iuran BPJS maupun harus berkhidmat memenuhi kewajiban angsurannya kepada samaritan, “Bank Thithil.” Lembaga yang acap dicap liar itu justru eksis meskipun ada lawannya yang cukup mapan ala kredit usaha rakyat (KUR) atau skim kredit lain yang digelontorkan Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pelajaran berharga atas operasi atau razia satuan polisi pamong praja (Satpol PP) di beberapa Kota terhadap warung para PKL saat wabah corona sesungguh bukan berita baru, karena di hampir seluruh kota di negeri 2-4 bulan terakhir melakukan kegiatan yang sama. Hal itu sebagai upaya menegakkan peraturan daerah (Perda) sebagai tugas tim gabungan satpol, polisi, tentara, dishub sebagai bagian tugas penanganan covid-19. Hemat penulis, bukan dalam kapasitas membela PKL. Kejadian itu tak perlu terulang, karena PKL bukan saja penanda kota, misalnya kawasan strategis, ruas protokol kota tak lepas dengan wewarung makan yang mengelilingi area itu maupun kawasan taman kota. Bahkan PKL tak bisa dipisahkan dengan ikon sebuah kota, misalnya PKL gudeg Malioboro Jogja, PKL warung thengkleng Sriwedari atau PKL Kawasan Peterongan dan sebagainya. PKL juga merepresentasi gairah ekonomi kota. Bayangkan, jika sebuah kota tanpa warung makan PKL. Ia akan menjadi kota mati tanpa passion. Bagi kalangan menengah ke atas bisa tidak menjadi masalah, dan barangkali itu menjadi rintih bagi warga kita yang masih sekeng (miskin).
ADVERTISEMENT
Beberapa pihak menganggap PKL biang kemacetan dengan parkir yang amburadul, sumber kekumuhan dengan tenda-tenda seadanya maupun pembuangan limbah yang tidak jelas. Ia juga dipandang sebagai penjajah dengan invasi trotoar, misalnya. Ekstremnya lagi, PKL yang merupakan salah satu sumbu ekonomi kota tidak dianggap berkontribusi atas PAD Kota, padahal mereka setiap malam juga ditarik uang retribusi. Belakangan di pusaran covid-19 ini, mereka acap diburu, dikejar dan ditangkap dan didenda atas ketidaktertibannya akselerasi pembebasan corona.
Inilah hegemoni dan ambiguitas yang melata. Inferioritas atau potret buram di atas selalu menjadi alasan Pemda untuk membubarkan PKL. Para PKL dengan lapak atau warungnya yang mungkin saja belum lunas kreditnya tidak perlu diusir atau dibubarkan tetapi justru harus ditata, diberdayakan keberadaannya, karena mereka memang pada posisi rentan dan sering menjadi komoditas legitimasi tertentu. Kita tahu, razia semacam itu prosedural dan sekarang waktunya, semua pihak mawasdri yang bakal mendewasakan kota dan kita. Petugas harus lebih sabar dan humanis, dan bagi PKL ya mesti belajar disiplin dan tidak semau sendiri, memaksakan kehendak. Win-win solution.
ADVERTISEMENT
PKL : Event atau Perilaku
Langkah berikut adalah memasok pengetahuan soal aturan main bagi para PKL, sehingga mereka memperoleh wawasan dan pemahaman komprehensif berkait dengan hak dan kewajiban PKL maupun pencegahan pandemi covid-19 dengan bersandar pada pembudayaan protokol kesehatan. Hampir tak pernah tersiar Pemda yang memberikan reward khusus bagi PKL yang mampu menaikkan kelas kotanya. Yang terjadi warung para PKL dibubarkan paksa beralas corona menindih dan pemilik warung temperamen, ngeyel dan waton suloyo.
Tak kurang bijak, sekarang Pemda perlu menyiapkan dan mendorong PKL menjadi destinasi wisata melengkapi pertunjukan hiburan sederhana yang dikemas memukau pengunjung (domestik dan mancanegara) dengan tetap menjunjung keunikan, keramahan, kejujuran, kesahajaan dan kebersihan maupun kenyamanan (misalnya bebas dari pengamen liar) menyambut era new normal.
ADVERTISEMENT
Ingat lagu “Yogyakarta,”nya KLA Project yang mendapat apresiasi Pemda DIY atas sukacita musisi itu “menjual” kotanya dengan konsentrasi PKL nya hingga menarik pengunjung dan betah singgah di Jogja. Seluruh kota rasanya bisa melakukan hal yang sama bahkan melampauinya.
Lebih dari itu, Pemda harus mengubah paradigma selama ini, PKL bukan parasit atau pengganggu ketenteraman dan ketertiban (Tramtib) seperti halnya tindak kriminal atau teroris, tetapi kontributor penaikan ekonomi kota juga penyerap lapangan kerja. Terakhir, model penataan dengan kekerasan harus bergeser ke pemanusiaan dan ngemong. Bukan menyalahkan tetapi lebih pada “ndandani”.
Menata PKL rasanya tidak harus berteriak dan merusak apalagi dengan kekerasan, tetapi harus persuasi, humanity dan spirit memberdayakan. Misalnya, soal relokasi yang sering berubah tempat dan peruntukannya. Mungkin ke depan soal menata atau memberdayakan PKL ini bisa menjadi salah satu indikator keberhasilan Kepala Daerah dalam membangun warganya.
ADVERTISEMENT
Penting ditekankan, PKL harus menjadi perilaku bukan event belaka. Ketika hanya sebatas event, PKL lebih berburu pada soal uang dan keuntungan tanpa memperhatikan service pelanggan dan lingkungan, tetapi jika PKL sudah menginternalisasi dengan perilaku, maka ia akan selalu merawat apa pun yang memberikan nilai tambah bagi pengunjung (konsumen), sehingga mereka impresif dan pada berkali masa mereka merindu, datang lagi dan “menikahi” jiwa PKL.