Dana Desa Solusi Belajar Daring

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
11 September 2020 14:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Siswa di Peru mencari Sinyal untuk belajar daring. Foto: Carlos Mamani/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Siswa di Peru mencari Sinyal untuk belajar daring. Foto: Carlos Mamani/AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penggalan kelu anak-anak pedesaan dari orang utan atau keluarga miskin hingga hari ini belum juga reda atas kepedihannya yang begitu susahnya mengimbangi putra-putrinya yang mesti belajar dalam jaringan (daring).
ADVERTISEMENT
Persoalannya kompleks untuk menggelar di sini. Barangkali kita bisa menitipkan beberapa permohonan satu-satu kepada yang berkompeten, kelompok peduli, dll, sehingga sekurangnya anak-anak tak mengigau lagi soal gadget, internet, dll.
Pertama, pemerintah melalui siapa pun bahkan bisa lewat program CSR memulai sedikit berempati dengan memberikan kucuran bantuan bukan berupa dana atau uang. Artinya, mari anak-anak dari kalangan bawah ini kita bagikan hadiah yang terindah, paling berimpresi dan selalu diingat sepanjang musim. Apa itu? Kado itu bukan makanan, tidak buku, juga bukan susu tapi juga tidak tas atau sepatu.
Selain sembako, BLT, tentu bingkisan terhangat bagi anak-anak yang bergiat menjaga nyala mimpinya itu adalah gadget (HP), bisa pula laptop. Keduanya tentu harus dilengkapi dengan aliran kuota internet dan sambungan jaringan listrik baru yang memadai bagi anak-anak kita di pelosok pedesaan, perbukitan, perbatasan, di bibir hutan, di pinggir pantai maupun anak-anak kita yang terpaksa sedang berjuang menjadi tulang punggung keluarga (terpaksa berperan menjadi ibu sekaligus Bapak dan juga sebagai kakak bagi adik-adiknya).
ADVERTISEMENT
Kita bisa secara patungan atau keroyokan membantu keluarga-keluarga yang belum beruntung tadi ikut sedikit menikmati merdeka belajar yang diusung Pak Nadiem Makarim. Kita harus memastikan jaringan WIFI dan listrik itu selama berapa tahun atau dana desa yang ada di setiap desa bisa dialihkan penggunaannya untuk pembangunan jaringan atau WIFI, sehingga anak-anak ini tak lesu menghadapi jadwal daring dari para guru atau sekolahnya.
Belum lagi jika keluarga itu kembar dan sekolah semua. Atau bahkan anak-anak yang bersekolah dalam keluarga itu jumlahnya banyak. Bisa saja dalam satu keluarga anak yang menempuh bangku sekolah ada 2-3 orang. Bagaimana keluarga itu memenuhi kebutuhan daring anak-anaknya kalau penghasilannya saja hanya sebagai buruh tani, buruh serabutan atau sekadar kuli panggul maupun tukang parkir.
ADVERTISEMENT
Kita bisa bayangkan, tak kurang 6 bulan, soalan ini juga belum tuntas. Kadang beberapa warga ada juga yang abai dan merasa tak takut lagi atas bahaya pandemi COVID-19. Tapi para orang tua dan keluarga yang hidupnya sudah susah itu justru lebih takut jika anak-anaknya drop out alias mutung di tengah jalan gegara merasa tak kuat menahan beban daring yang sejatinya sangat kompleks. Tak cuma urusan HP dan kuota.
Pada saat lain, kita cukup bahagia mendengar dan menyaksikan arus bantuan HP dan kuota internet ke beberapa warga yang kekurangan ini. Pada saat itu juga akan muncul problem baru, seperti keterbatasan paket data/kuota internet.
Barangkali 1 minggu s/d 1 bulan tak ada persoalan, tapi menginjak bulan selanjutnya kemurungan itu lantas muncul, belum lagi ditingkah dengan sulitnya menemukan sinyal internet di ceruk pedesaan yang cukup jauh, absen bahkan nihilnya BTS operator selular tertentu. Kabar terbaru dari beberapa sekolah di Kota Semarang akan ada bantuan kuota internet 10 GB bagi setiap anak. Ini berita yang cukup menyejukkan dan layak diapresiasi tentunya.
ADVERTISEMENT
Problematik lain pun nampaknya masih menghinggapi kita semua, saat para orang tua diminta izin atau persetujuannya jika akan dilakukan sekolah tatap muka. Yang menjadi naif di sini adalah, ketika surat tersebut diluncurkan atau dikirim atau diantar ke rumah oleh para guru tanpa disertai penjelasan menyangkut beberapa hal.
Pertama, metode belajarnya seperti apa pada saat tatap muka di kelas. Apakah kelompok besar, kelompok kecil atau individual atau lagi mungkin model shifting? Kedua, tanpa diberikannya pemahaman orang tua mengenai berapa lama jam belajar di sekolah di saat pandemi ini. Ketiga, bagaiman sarana prasarana sekolah maupun kelas yang akan menghela kelas tatap muka.
Sejumlah pelajar sekolah dasar (SD) mengikuti pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan jaringan internet gratis yang disediakan sebuah warung kopi di Jombang, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (29/7). Foto: Muhammad Iqbal/ANTARA FOTO

SOP Tatap Muka

Di sini tentu menjangkau kesiapan protokol kesehatan, seperti jika perlu ada rapid test, handsanitizer, pengukuran suku tubuh, masker, tak melakukan kontak fisik, dilarang bertukar masker, tak boleh berganti-ganti tempat duduknya, tak disarankan sharing peralatan sekolah atau bagaimana jaminan pengawasan sekolah saat anak-anak belajar di lembaganya. Juga apakah di sekolah tersedia tenaga medis yang siap selama tatap muka.
ADVERTISEMENT
Ketika hanya sekadar ACC atau persetujuan keluarga atau orang tua siswa, justru memberikan kesan seolah yang paling bertanggung jawab jika ada sesuatu yang tak diharapkan akan dikembalikan pada pundak orang tua. Harapannya, memang semua baik-baik saja.
Pada aras lain, kita harus bangga pada sekolah atau guru yang melakukan home visit karena siswanya berlatar belakang keluarga berpendapatan rendah dengan melakukan pembelajaran di rumah siswa untuk menggelar kegiatan belajar-mengajar. Atau terima kasih juga pada guru yang menghelat pembelajaran langsung di rumahnya dengan cara mengundang siswanya secara bergantian 1-2 kali seminggu untuk menuntaskan soalan belajar siswanya.
Sebagian warga lagi, rela sharing WIFI-nya bagi anak-anak terdekat untuk menunaikan belajar daring. Jika semua kepala desa atau desa bersepakat memberdayakan masyarakat, termasuk membantu anak-anak dalam belajar daring, praktis sudah tak ada masalah. Artinya, membantu meringankan beban pemerintah yang sedang berjuang bersama seluruh masyarakat membebaskan dari agresi COVID-19. Barangkali untuk satu ini, perlu diterbitkan regulasi khusus atau cukup aturan sebelumnya yang bisa dialihkan untuk penanganan terdampak COVID-19 (termasuk belajar daring anak miskin?)
ADVERTISEMENT
Kita sepakat dengan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo yang saat ini sedang melakukan pilot projek kegiatan belajar-mengajar tatap muka sesuai tatanan baru pada 6 SMA/SMK Negeri di Jawa Tengah. Ini dilakukan dengan sangat hati-hati, SOP tatap muka kita terapkan dengan penuh kedisiplinan. Kita tentu tidak ingin belajar mengajar tatap muka ini malah menjadi cluster baru yang menambah kepedihan.