Menangkal Alienasi Budaya

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
4 September 2020 13:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menangkal Alienasi Budaya
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Hadirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan membawa semangat baru dalam upaya perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan nasional. regulasi itu merupakan panduan menjalankan amanat Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 untuk memajukan kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Spirit tersebut adalah menghidupkan, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional dengan melibatkan seluruh unsur mulai pemerintahan daerah, pegiat kebudayaan, dan masyarakat.
Sesuai regulasi di atas, terdapat 10 objek pemajuan kebudayaan, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
Tarian atau tradisi saja yang namanya kebudayaan, tetapi juga nilai karakter luhur yang diwariskan turun-temurun hingga membentuk karakter bangsa kita. Salah satunya bisa kita saksikan, alami dan terlibat dalam agenda sedekah laut, seperti baru-baru ini di Kendal dan Bantul, meskipun ada sedikit yang menggores tradisi luhur bangsa kita tersebut.
Jika ditelisik, propaganda dan pengrusakan atas kedua tradisi budaya masyarakat itu menunjukkan bahwa pelaku kurang memahami akan budaya sendiri atau berbeda cara penafsiran bahkan mereka tak segan memaksakan kehendaknya, sehingga ingin menunjukkan hanya kaukus atau kelompoknyalah yang paling benar. Mungkin mereka lupa atas semboyan sakti, "Bhinneka Tunggal Ika."
ADVERTISEMENT
Pihak yang silau dan nihil akan kebanggaan terhadap budayanya sendiri, mereka mengalami keterasingan, kepanglingan (alienasi) dalam pusaran budaya luhur kita. Mereka boleh dikatakan tidak menghargai ruh dan nilai demokrasi yang mengedepankan jalan musyawarah. Yen ana rembug ya dirembug.
Bahkan nampaknya menipis kalau tak mau disebut kehilangan rasa memiliki (sense of belonging) atas tradisi yang hidup dalam napas warga. Seolah segala bentuk kearifan lokal itu buruk, hanya melemahkan dan tidak marketable.
Padahal, dengan merawat dan memajukan kebudayaan atau melestarikannya adalah masa depan. Karena kebudayaan adalah investasi, pemberdayaan masyarakat, dan akhirnya menghasilkan banyak nilai tambah baik secara ekonomi maupun sikap mental berbudaya berkelanjutan kaum muda.
Dihidupi Tradisi
Hal ini sejalan pula dengan amanat Presiden beberapa waktu lalu, agar memberikan peran strategis bagi kebudayaan nasional dalam pembangunan. Presiden Jokowi menginginkan adanya keseimbangan antara infrastruktur keras yang saat ini gencar dibangun di berbagai wilayah di tanah air, dengan infrastruktur lunak dalam wujud karakter dan jatidiri bangsa yang dikembangkan lewat jalan kebudayaan. Untuk itulah diperlukan kebijakan makro kebudayaan dalam rangka proses pembudayaan manusia.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, sudah selayaknya pemerintah supra desa hingga desa untuk mulai menguatkan alas kebudayaan melalui kedaulatan budaya yang saat ini disinyalir semakin lemah tergerus budaya global.
Manakala kedaulatan budaya kita kuat, kaum muda kita akan dengan sendirinya secara sukarela memperlihatkan sikap keindonesiaan mereka. Bukan dengan jalan provokasi atau merusaknya. Sudah saatnya kita melunasi utang-utang kita kepada ibu kandung kita, yakni masyarakat Indonesia.
Hadirkan kembali ragam seni budaya, adat istiadat, tradisi, dll buah kreasi dan inovasi anak negeri ke keluarga, sekolah, taman bermain, pusat kesenian, taman kota, dll. Kita ingin agar kebudayaan menjadi napas dari kelangsungan hidup bangsa, menjadi darah kepribadian, menjadi mentalitas dan nilai-nilai kebangsaan anak-anak kita.
Dengan begitu, anak-anak milenial kita tidak menjadi bangsa amnesia. Sehingga tidak melupakan akar budaya dan jati diri Indonesia. Melalui tradisi dan atau budaya inilah kita bisa mewarnai konten kebangsaan maupun religuisitas dalam bingkai NKRI yang menghormati keragaman maupun keberagamaan.
ADVERTISEMENT
Tugas kita bersama, khususnya Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) harus mampu membangun creating value dengan cara creating uniqueness. Pada level akar rumput, dana desa juga dapat berkontribusi menghidupi tradisi. Akhirnya, desa hidup karena dihidupi tradisi, meski jika kini harus dengan protokol kesehatan di era new normal pandemi covid-19.