Menggagas Duta Desa

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2020 13:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pixabay.com
ADVERTISEMENT
Bagi orang desa mungkin masih berasa asing dengan predikat duta wisata, duta olahraga, duta seni-budaya, duta baca, duta integritas, dll. Warga desa juga tak banyak tahu apa tugas para duta itu. Barangkali tak kurang baiknya pemerintah atau pemda mengusung sosok baru sebagai duta desa yang tugasnya bukan saja mempromosikan segala potensi desa ke pihak luar, tapi juga harus punya kompetensi tentang desa, regulasi desa, demokrasi desa, perencanaan desa, partisipasi desa, dana desa, dan strategi maupun pendekatan pendampingan desa. Rasanya tak berlebihan jika duta desa juga mesti punya jejaring luas, dan melek IT. Atau setidaknya multitalent.
ADVERTISEMENT
Itu semua menurut penulis diperlukan bagi seorang duta desa, karena desa kini masih dihadapkan berbagai soalan, seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, energi dan juga permasalahan yang tak kalah penting, yakni problema sikap mental warga desa, yang semula hanya taker harus menjadi maker. Duta desa bukan menggantikan peran pendamping desa yang selama ini banyak bergerak pada soalan dana desa, meski tugas pokoknya mendampingi masyarakat, mendampingi implementasi Undang-undang Desa. Jadi, bukan semata mencatat pun mencetak data ternak, panjang jalan, volume jembatan, jumlah gedung PAUD yang dibangun, dll.
Personel duta desa barangkali disesuaikan dengan level wilayah, misalnya untuk tingkat nasional dapat diambil dari para sosok yang populer, dekat dengan kaum muda pun masyarakat, begitu juga berjenjang ke tangga di bawahnya, seperti Provinsi maupun Kabupaten/Kota bisa bekerja sama dengan lembaga lain yang punya stok dengan standar dan selera duta desa yang tentunya harus disiapkan indikator maupun jobwork-nya dari kolaborasi Kemendesa, Provinsi maupun Pemda. Duta desa rasanya juga tak hanya di atas atau di tepi panggung, tapi harus betul-betul mereka yang mau bergumul dan bergulat dengan kehidupan masyarakat desa, bahkan miskin dan menderita. Duta desa mesti mampu menjadi magnet bagi desa dan masyarakatnya, baik dalam prestasi, integritas dan keteladanan dalam aspek luas.
ADVERTISEMENT
Penetapan duta desa pun tak bisa asal tunjuk, tapi harus melewati tahapan-tahapan audisi juga didukung via vote masyarakat setempat relevan dengan cakupan areanya. Kursi duta desa bisa berasal dari lintas gender, wilayah, lintas profesi, lintas geografi, lintas generasi bahkan lintas miskin. Jadi desa-kota, tua-muda, miskin-kaya, artis-bukan artis, akademisi-ordinary, miskin desa-miskin kota maupun laki-perempuan, cuma mungkin ada pembatasan usia. Artinya, sosok duta yang bakal terpilih dan dikukuhkan tak ada diskriminasi, semua punya kesempatan yang sama untuk merebut tahta duta desa. Siapa pun bisa mendaftar dan bersaing fairplay. Duta desa pun kerjanya fleksibel, bisa purna waktu, dapat pula 24 jam maupun part time, untuk menyisakan waktunya bisa berkoordinasi, konsultasi dan memberikan tips-tips membangun dan memberdayakan desa.
ADVERTISEMENT
Di luar itu, sosok duta desa tak ada salahnya kalau ia punya keterampilan yang tak cuma menginspirasi, tapi harus menjadi sosok solutif. Bukan saja pintar menginventarisir ragam permasalahan, kendala dalam proses-proses pembangunan desa, tapi tentu punya amunisi untuk bisa keluar dari jebakan kemiskinan desa dan warganya. Jangan sampai duta desa malah menjadi bagian dari masalah desa, tapi harus berkemampuan memberikan solusi.
Transfer pengetahuan, sikap dan keterampilan menjadi penting bagi duta desa kepada desa, karena duta desa pun harus dibatasi masa edarnya. Tak elok jika duta desa harus berkutat pada soal-soal kedesaan melulu. Mengajak berpikir out of the box akan menjadi inovasi menarik dalam bidang gagasan maupun pemikiran yang mengasah intelektual dan entrepreneurship di samping punya kebebasan berimajinasi, berekspresi, berkreasi hingga tak bosan berinovasi dalam setiap detak desanya. Ilmu itu harus diturunkan dari otak, mulut, tangan dan kaki. Inilah yang bakal di-follow oleh desa dan warga. Karena itu, duta desa bukanlah orang sembarang, tapi harus betul-betul mampu membuat desa tak tergesa-gesa jadi dewasa dan tak terburu menjadi tua. Ini peran yang tak gampang dilakukan dan setiap orang.
ADVERTISEMENT
Spirit Kepioniran
Prinsip besar pemberdayaan yang diusung Semaul Undong, nampaknya tak tabu dipraktikkan oleh duta desa, yakni mengedukasi desa dari malas ke rajin, dari individual ke komunal dan dari bergantung menuju mandiri. Terpenting, apa yang dijejakkan duta desa selalu berasa kedesaan namun modern, tetap menggembirakan meski dihimpit keterbatasan, bernuansa pemberdayaan bukan pemaksaan, bukan membatasi tapi memerdekakan.
Soal anggaran bagi duta desa, zaman now rasanya tak elegan kalau beban ini digantungkan pada pemerintah maupun pemda, tapi pihak stakeholders bisa mengambil peran dengan kolaborasi dari berbagai korporasi. Dana CSR rupanya masih relevan dan lebih dari cukup ketika didayagunakan untuk membantu biaya operasional duta desa. Atau barangkali dana sitaan dan pengembalian korupsi bisa dimanfaatkan untuk opsional ini. Untuk yang terakhir tentu butuh proses dan regulasi yang memadai.
ADVERTISEMENT
Semua cukup layak dicalonkan jadi duta desa, tapi barangkali kita tak cukup layak dipilih jadi duta desa. Mimpi kita, duta desa kita adalah sosok yang menebarkan spirit kepioniran, mentransformasi sosiokultur masyarakat, merekatkan modal sosial, menurunkan atau membalik kemiskinan, membuat seluruh step proses pembangunan desa menjadi asyik dan menggembirakan, membangkitkan dan menebalkan partisipasi warga, semua merasa terlibat, urun angan dan turun tangan dan merasa memiliki program. Soal duta desa tak usah repot, karena duta desa tak perlu berkantor, kantornya di mana-mana, yakni di otak dan aksi nyata.