Meraba Masa Depan Kampus Pendidikan

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
12 Januari 2021 14:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Diakui atau tidak, lulusan sarjana setiap tahun semakin membengkak dan seiring itu pula saat pendaftaran CASN selalu melonjak secara kuota. Hal ini barangkali bisa dikatakan sebagai fenomena lulusan perguruan tinggi yang masih saja ingin menjadi birokrat ketimbang profesi lainnya.
ADVERTISEMENT
Demikian juga, dari kalangan sarjana rekrutmen jalur guru menjadi perburuan seru dengan jumlah formasi yang lumayan bagus. Pengalaman itu mungkin terjadi pada 5 tahun silam. Bergulirnya waktu rekrutmen tenaga pendidikan atau guru tetap terbuka dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Sejak diberlakukannya model guru PPPK tahun 2019 yang hingga kini mereka yang lolos test khusus lajur ini terpaksa mesti bersabar menanti terbitnya SK, artinya lagi mereka pun belum bisa menikmati gaji pertamanya sebagai CASN jalur PPPK yang terdiri atas para guru, penyuluh dan tenaga kesehatan.
Bahkan tahun 2021 ini pemerintah masih berkeinginan melakukan rekrutmen guru melalui kanal PPPK yang dijanjikan mencapai 1 juta guru. Melihat kuota tersebut, sebetulnya bisa membuat bersenyum para lulusan kampus keguruan atau pendidikan di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, pembukaan jalur PPPK ini bisa jadi turut memengaruhi peminatan masyarakat atau tepatnya kaum muda atau lulusan SLTA menuju bangku kuliah pendidikan dan keguruan. Mungkin dalam pikiran masyarakat, menjadi guru ASN jauh lebih terjamin ketimbang guru model PPPK. Sekurangnya, untuk jaminan masa tua paska pensiun, meskipun pada ASN PPPK pun ada jaminan hari tua, tapi ketika disodorkan pilihan, tentu saja masyarakat cenderung berpaling ke status ASN seutuhnya.
Membaca fenomena demikian, suka tak suka, besar kemungkinan lembaga atau industri pendidikan dan keguruan mesti bersiap, mangantisipasi ketika terjadi keminiman atau berkuruangnya jumlah mahasiswa yang mendaftar di kampusnya. Harus diakui, kampus pendidikan tiap tahun punya mahasiswa paling banyak dibanding kampus atau program studi lainnya.
ADVERTISEMENT
Memang, kala kita harus jujur, belajar di kampus tak semuanya harus hidup bersatus ASN, jalur lain pun sudah dibuka sejak lama, tinggal bagaimana kita menjejaki dan memaknai peluang tersebut menjadi sebuah amunisi baru sebagai bagian masa depan itu sendiri.
Mereka yang tak mau pindah ke lain hati dengan tetap setia berburu profesi ASN pun tak ada yang salah dan sah-sah saja. Cuma saat kita bicara riil, termasuk kemampuan negara mengangkat ASN di masa mendatang rupanya jauh lebih sulit dan menyedot anggaran yang tak sedikit hingga purna tugas bahkan turun temurun hingga isteri atau suami.
Beban berat inilah nampaknya yang menjadi salah satu penimbang pemerintah mempraktikkan rekrutmen PPPK. Munculnya jalur guru, penyuluh dan tenaga kesehatan PPPK dalam jangka panjang apakah nanti turut memengaruhi kursi kampus pendidikan ataupun apakah ke depan ASN di luar guru, akan diberlakukan metode perekrutan yang sama. Ini menjadi bagian PR pemerintah.
ADVERTISEMENT
Jika demikian, tak menutup kemungkinan ke depan profesi ASN mulai sedikit bakal ditinggalkan dan bergeser pada lapangan kerja lain yang tak lagi melihat selembar ijazah atau sertifikat, tapi lebih pada ukuran skill mereka di lapangan. Bagaimana seseorang mampu mengatasi suatu problematik dengan cakap, bagaimana mengoptimalkan anggaran mini tapi hasilnya maksi, sejauh mana terbut berbagai inovasi yang menopang profesinya, dll.
Pada aras lain, model rekrutmen PPPK menerbitkan pertanyaan, apakah sistem itu akan berpengaruh pada subur atau bahkan keringnya mahasiswa di kampus di luar keguruan pula : entah perguruan tinggi negeri maupun partikelir. Besar kecilnya masyarakat menyerbu kampus dengan pilihan juruan atau fakultas tertentu, sesungguhnya gampang. Salah satu indikasinya adalah masyarakat akan melihat track record alumniya seperti apa. Apakah banyak yang jadi orang atau apakah mereka menjadi pendaftar abadi ASN setiap tahun.
ADVERTISEMENT
Urip itu Urup
Rekam jejak alumni tak sebatas dilihat mereka pada jalur ASN, tapi juga melihat pada jalur-jalur lainnya, wira usaha misalnya. Apakah kampus dan alumninya secara konsisten membangun iklim ke dalam wadah tersebut. Atau bisa saja para lulusan sarjana melihat para seniornya terjun di mana saja.
Semakin banyak lulusan salah satu kampus atau salah satu jurusan tertentu yang duduk di pemerintahan atau perusahaan bahkan kerja mandiri, sekurangnya akan turut diperhitungkan kelangkaan atau sebaliknya membludaknya animo masyarakat memasuki program studi tertentu.
Pasar kerja pun juga disokong oleh ikatan emosional jaringan alumni, sehingga tak mengherankan ikatan alumni dari kampus besar punya jejaring luar biasa sehingga mampu memasok kebutuhan kerja yang diinginkan pasar.
ADVERTISEMENT
Hal ini bukan berarti lulusan sarjana hanya akan menjadi budak pembangunan, tapi justru akan menjadi manager pembangunan itu sendiri, ketika mereka mampu mengelola potensi atau sumberdaya yang ada.
Pernah ada komentar kalau ijazah itu tak penting, terpenting itu skill dan kerja. Pendapatan akan mengikuti pekerjaan, bukan dibuat berkebalikan. Itulah kemudian, sejak dini kaum muda kita, mahasiswa kita layak menimbang kemana tujuan hidupnya, mau di bawa kemana idealismenya atau apakah kita bakal menjadi apa yang kita pikirkan, tuliskan. Itu semua berpulang pada diri kita masing-masing.
Tak elok hanya cakap menyalahkan pemerintah dengan menuding tak membuka lapangan kerja dan usaha atau pikiran sempit yang hanya bersasumsi pekerjaan itu ya hanya jalur ASN. Sekali lagi, mulai sekarang saatnya kita buang jauh penilaian dan pemikiran kontra produktif demikian.
ADVERTISEMENT
Ada baiknya, sejak awal, mulai anak-anak, bersekolah hingga kuliah, bahwa bekerja itu tak melulu menjadi ASN. Karena jauh lebih banyak profesi di luar ASN yang lebih memberikan pengharapan.
Lagi-lagi, menyoal hidup dan masa depan itu tak bisa sekadar urip-uripan, tapi menyandar urip itu urup. Jika sudah demikian, mungkin tak ada lagi sarjana kita berkerut, bersungut apalagi berteriak minta-minta pekerjaan, karena mereka sudah mampu memberikan atau membuka lapangan kerja baru sekaligus darah baru bagi denyut nadi masa depannya. Semoga.