news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Narasi Sederhana Kesaktian Pancasila

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
1 Oktober 2020 16:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Garuda Pancasila. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Garuda Pancasila. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Proses kelahiran Pancasila diawali proses perumusan dasar negara dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI. Persoalan yang mengemuka pada rapat tersebut adalah rumusan dasar Negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Maka selanjutnya, tampillah tiga orang pembicara yaitu Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar Negara Indonesia. Ir. Soekarno menamainya dengan “Pancasila” yang artinya 5 dasar, yakni :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai suatu ideologi, tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat terbuka. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar Pancasila, namun mengeksplisitkan wawasannya secara kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru dan aktual.
ADVERTISEMENT
Berbasis pada Pancasila, Indonesia pada masa lalu mampu menghadapi rongrongan baik dari dalam maupun luar. Maka hari ini, dengan Pancasila pulalah, kita menyelesaikan segala persoalan bangsa. Ketika kelompok sana berbicara tentang ideologi lain, ketika ada ancaman disintegrasi bangsa, ketika ada perbedaan pilihan dan pendapat yang memecah belah anak-anak bangsa, maka tidak ada cara lain kecuali kita kembali pada Pancasila.
Namun kembali pada Pancasila tentu tidak sekadar slogan semata. Tidak cuma dengan mengaku hafal lalu meneriakkan lima sila-nya untuk mendapatkan pengakuan. Bukan juga dengan mengibar-kibarkan bendera bergambar Garuda Pancasila sembari berteriak saya Pancasila dan kamu bukan.
Karena berpancasila berarti mengimplementasikan sila-silanya dengan penuh kesadaran. Berpancasila berarti Berketuhanan Yang Maha Esa, beribadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing tanpa mendiskreditkan atau bahkan menganggu pemeluk agama lain.
ADVERTISEMENT
Berpancasila berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menghormati hak asasi setiap manusia, berani membela kebenaran, mengatakan yang benar adalah benar, bukan membela yang salah menjadi benar. Jangan mengaku berpancasila jika masih korupsi, masih memanfaatkan kewenangan jabatan, atau menerima gratifikasi.
Berpancasila berarti menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan negara di atas kepentingan pribadi maupun golongan.
Berpancasila berarti mengakui bahwa setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Maka kita terbuka pada perbedaan pendapat. Karena kita mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Dan Berpancasila berarti mengembangkan sikap adil terhadap sesama. Bahwa setiap kita adalah bagian dari keluarga yang senantiasa bersama dalam suka maupun duka. Maka tolong menolong dan bergotong-royong adalah budaya kita dalam menghadapi segala persoalan yang ada.
ADVERTISEMENT

Pancasila di Tengah Corona

Pandemi corona ternyata selalu menumbuhkan tunas baru kearifan lokal, gotong royong, sharing makanan maupun saling menjaga dan peduli pada warga yang tertimpa corona, terdampak maupun yang dikarantina tersebab corona. Semua itu tergenggam erat dalam nilai mulia Pancasila.
Dasar negara Pancasila juga bukan milik golongan dan agama tertentu. Seorang muslim yang taat, sekaligus menjadi pancasilais sejati, seorang budha yang taat, juga secara tidak langsung menjadi seorang yang pancasilais, penganut katolik juga seorang pancasilais. Seperti kata Bung Karno, Pancasila adalah milik semua dan untuk semua.
Kebanggaan dan kesadaran atas ideologi Pancasila yang terbuka diingatkan kembali oleh pandemi corona hari-hari ini. Tak dapat ditampik dan dipungkiri, Pancasila menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia dalam melewati masa yang sebegitu sulit ini. Kita saksikan dengan kasat mata, di berbagai belahan kampung, desa, banjar, gampong, juga yang kaya dan miskin, tua-muda, laki-perempuan semua berhimpun bergandengtangan semua berjuang bersama-sama membebaskan warga dari amukan corona yang tak pernah kita tahu masa the end-nya.
ADVERTISEMENT
Gotong-royong menjadi sari pati yang menghidupi Pancasila, persis dengan apa yang diteriakkan Bung Karno dengan lantang. Bersama gotong-royong, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, saling menguatkan, dan saling mengisi dan bersinergi dalam melewati kemurungan dan masa sulit pagebluk ini.
Musim pandemi corona yang telah menjadi ujian bersama menjadi lahan berjuang, beramal dan mempraktikkan nilai Pancasila sesungguhnya bagi semua warga di tengah kerasnya corona.
Praktik-praktik kesalehan seluruh rakyat inilah letak kesaktian Pancasila. Ketika sudah menjadi perilaku harian, maka kemudian Pancasila itu sungguh akan bertambah dan semakin sakti.
Ia bukan asesoris kampus, perkantoran atau bagian hafalan anak sekolah belaka, tapi mesti menjelma dalam setiap suka dan sedih perjuangan bangsa.
Jika pun ada yang bertanya kepada kita, di manakah saktinya Pancasila. Kita secara tegas menjawab, Pancasila sakti karena kita selalu menghidupi dan dihidupi nilai Pancasila dalam keutuhan otak, mulut, dan tangan-kaki kita (pikiran-lisan dan perbuatan).
ADVERTISEMENT