Negasi Pekerja Anak

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
9 Juni 2020 7:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak-anak yang bekerja. Foto: AFP/Arif Ali
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak yang bekerja. Foto: AFP/Arif Ali
ADVERTISEMENT
Hingga hari ini para pekerja anak masih menyisakan kisah pilu. Data KPAI tahun 2019 mencatat ada 244 kasus anak korban trafficking dan eksploitasi, termasuk anak korban pekerja. Secara spesifik data anak korban eksploitasi pekerja berjumlah 53 kasus.
ADVERTISEMENT
Akar munculnya pekerja anak adalah kemiskinan dan minimnya pendidikan. Anak terpaksa harus rela beroleh label pekerja anak demi mendongkrak ekonomi keluarga. Selain masih kuatnya idiom masyarakat yang menganggap tidak usah sekolah yang penting bekerja atau karena orang tua banyak melihat lulusan sarjana yang menganggur di lingkungannya.
Juga, masih ditanamkannya nilai seorang anak yang berbakti kepada orang tua adalah mereka yang membantu orang tua tatkala kesulitan menghimpit. Fenomena lain di desa, anak yang sudah besar itu diminta membantu bekerja, bahkan di sektor formal. Di sini, rendahnya latar belakang pendidikan orang tua turut memengaruhi jalan pikiran anak yang berdampak pada anggapan sekolah menjadi tak penting jika sudah bisa menghasilkan uang.
ADVERTISEMENT
Persoalan lainnya, gaya hidup glamour yang acap dibawa oleh kawan-kawan yang merantau ke kota pun bisa turut menghasratkan anak bekerja dengan alasan lebih pada "keinginan," punya barang-barang mewah, misalnya sepeda motor, HP android, audio dan barang elektronik lainnya. Hal lain yang tak kalah pengaruhnya terhadap naiknya animo pekerja anak, yakni kemajuan IT.
Underground
Meskipun negara telah menerbitkan berbagai regulasi sebagai upaya memupus, meniadakan (negasi) pekerja anak, tapi lagi-lagi tak sedikit dunia korporasi justru melabrak aturan itu demi keuntungan manajemennya. Pekerja anak upahnya murah dan tidak berani berulah, demo atau menuntut kenaikan upah, misalnya. Anak-anak inilah yang paling rentan tergiur dan terenggut sebagai pekerja anak.
Bahkan mereka bekerja di wilayah berbahaya maupun ekonomi underground, seperti peredaran narkoba, perdagangan anak, pelacuran anak, dll. Masalah eksploitasi terhadap pekerja anak bukan hanya soal upah, melainkan soal jam kerja yang panjang, risiko kecelakaan, gangguan kesehatan, dan menjadi objek pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur maksimal tiga jam setiap hari atau 15 jam per minggu dan dilakukan siang hari di luar jam sekolah.
ADVERTISEMENT
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah pekerja anak pada 2018 sebesar 981,9 ribu (2,65%). Sementara pada 2017 mencapai 1,2 juta pekerja anak (3,06%). Rentang dua tahun tersebut, dominasi pekerja anak masih terdapat di wilayah perdesaan. Pada 2018 tingkat pekerja anak sebesar 3,2 persen. Artinya, terdapat 550 ribu pekerja anak dari 17,2 ribu total anak. Sementara tingkat pekerja anak di kota sebesar 2,18 persen. Hal tersebut menandakan, dari 19,8 ribu anak, terdapat 431,8 ribu pekerja anak di wilayah perkotaan (databoks, 17/10/2019).
Pekerja anak, tak cuma beredar di pabrik, kini agresi covid-19 membuka mata kita akan masifnya anak-anak yang bekerja sebagai pemulung, pengemis, tukang semir, penjaja koran, tukang cuci, pekerja serabutan, yang semua itu ada yang belum bermasker di musim pandemi covid-19, dll. Pekerja anak, apa pun adalah anak kandung ibu pertiwi, karena keterdesakan ekonomi dan skill yang terbatas mereka dipaksa dan terpaksa harus mengarungi dunia kerja yang semestinya belum menjadi panggung hidupnya.
ADVERTISEMENT
Jalan keluar atas kemelut ini selain jalur pendidikan adalah dengan menerapkan sanksi tegas bagi korporat yang melanggar, kemudian optimalisasi peran dan fungsi pengawas ketenagakerjaan, sehingga dapat mendata sedini mungkin kemungkinan terjadinya data palsu dan atau data pekerja di bawah umur.
Juga, penegakan implementasi pendekatan Multiple Overlapping Deprivation Analysis (MODA) yang di dalamnya terdapat 6 (enam) dimensi pengukuran hak-hak anak yang tidak terpenuhi (deprivasi). Seperti perumahan, fasilitas makanan dan nutrisi, pendidikan, perlindungan anak, dan kesehatan.
Kini di tengah pandemi covid-19 sekarang ini, kita harus memastikan anak-anak mendapatkan dan terpenuhi hak-haknya. Hak kesehatan, hak pendidikan dan hak informasi yang memadai untuk membuat mereka bisa melindungi dirinya dari Covid-19. Misalnya, dari segi pengetahuan tentang pencegahan, gejala, cuci tangan, jaga jarak fisik, dll.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai anak menjadi fobia atau takut ketika mendengar, melihat atau membaca berita-berita soal covid-19. Tapi bagaimana mengedukasi anak-anak ini bisa berdamai dengan virus mematikan ini. Keluarga menjadi barometer anak-anak pada situasi covid-19.
Forum Anak
Dalam keadaan normal, anak-anak sudah rentan, apalagi mereka sebagai pekerja anak. Maka kemudian, tindakan awal seperti pemberian BLT dan bansos pada warga terdampak covid-19 dapat membantu, karena kerugian ekonomi akibat pandemi juga akan menjadi faktor risiko yang memaksa anak-anak untuk bekerja. Di sini meski WFH, pihak keluarga dan sekolah penting untuk tetap melakukan pengawasan dan terhubung secara terus menerus dengan anak-anak maupun masyarakat.
Penting di sini terus mengedukasi orang tua bahwa mempekerjakan anak-anak adalah tindakan yang melanggar hukum. Musim panen dan liburan sekolah atau rentang belajar di rumah/belajar daring tidak boleh menjadi alasan untuk melanggar hak anak-anak. Kita bisa pahami, ketika anak-anak lain menghabiskan waktu untuk sekolah dan bermain, sebagian anak-anak ini harus bekerja mencari nafkah. Menghabiskan waktu untuk bekerja, membuat hak pendidikan, jam bermain dan interaksi anak dengan teman bisa terabaikan.
ADVERTISEMENT
Maka pendampingan intens dari segitiga ABG (akademisi, bisnis dan government), sehingga tak lagi merelakan anaknya bekerja mencari nafkah hanya untuk menopang tegaknya dapur keluarga. Jika sudah demikian, maka anak-anak pun tak ada yang drop out hanya gara-gara tak mampu bayar sumbangan pendidikan, dll.
Desa pun tak boleh tinggal diam, desa bisa berkontribusi lewat mapping maupun identifikasi pekerja anak melalui resharping forum-forum warga. Hal ini bisa diawali dari proses musrenbangdes yang mengundang dan melibatkan warga, termasuk kaum miskin, perempuan, disabilitas juga anak-anak.
Mereka dapat digerakkan melakukan inventarisasi jumlah pekerja anak, problem, kendala, solusi jangka pendek-menengah dan panjang untuk memupus pekerja anak di desa. Dana desa pun secara moral berkewajiban mengentaskan anak-anak dari label pekerja anak. Di sini pendidikan luar sekolah bisa digdaya dalam konteks ini.
ADVERTISEMENT
Tak kalah penting, pelibatan Forum Anak yang sudah ada di setiap provinsi dan kabupaten/kota dan kalau perlu hingga level desa/kelurahan. Forum ini bisa mengintensifkan sosialisasi maupun gerakan budaya bertema stop pekerja anak kepada teman sebaya maupun isu-isu pekerja anak. Semua itu akan menggenapkan upaya menghapus pekerja anak dengan menggandeng pihak media. Media dan institusi sekolah juga turut berperan penting mem-blow-up upaya-upaya edukatif menghapus pekerja anak.