Orientasi Baru Desa

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
27 November 2020 12:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto udara areal persawahan Desa Kawengen, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Foto: Antara/Aji Styawan
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara areal persawahan Desa Kawengen, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Foto: Antara/Aji Styawan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak zaman revolusi, kemerdekaan, reformasi hingga era digitalisasi, desa selalu memesona siapa pun. Kita bisa melihat Indonesia dari desa, bahkan Pak Jokowi dalam nawacitanya menaruh perhatian besar untuk urusan ini, yakni membangun dari pinggiran (desa).
ADVERTISEMENT
Maka kemudian, pemerintah secara bertubi-tubi menggelontorkan dana desa untuk membalik kemurungan desa. Desa selama ini acap tersandera dengan varian stigma yang melekat, seperti penyumbang penduduk miskin terbesar, SDM terbatas, etos kerja rendah, pemasok tenaga kerja kasar, dan sederet stempel muram lainnya.
Padahal, desa Indonesia ini kaya-raya, sarat dengan sumberdaya alam. Hanya belum optimal dalam pengelolaannya. Sekarang banyak bertebaran desa-desa wisata yang dibangun, kini pun terjadi semacam gerakan mendesakan kota.
Fenomena ini secara terang ditunjukkan dengan berdirinya masifnya resto, coffe dengan branding maupun menu ala pedesaan. Gayung bersambut, warga kota pun tatkala liburan lebih berburu pada destinasi alam pedesaan. Orang kota ini seolah merapat ke desa untuk sekadar melepas penat, dan bosan atas kepadatan dan polusi kota.
ADVERTISEMENT
Desa terus bersolek menjadi primadona.
Kita bisa saksikan desa-desa di kaki gunung, di bibir danau, di pinggir pantai, di lembah-lembah pedesaan tak sulit menemukan orang kota di sana, apalagi saat libur panjang. Inilah pundi-pundi lain dari desa.
Namun demikian, ada satu hal yang kadang membuat kita miss dari upaya kita membangun desa, menjaga desa, melestarikan desa. Pada sebagian desa, kita mendapati desa wisata yang disulap dengan frasa kota, modern.
Hal ini rupanya justru menjadi devian atau justru blunder bagi desa. Semestinya desa berjuang bagaimana mempertahankan “ke-desa-an”-nya di tengah gerusan modernitas. Desa tak perlu alergi kemajuan teknologi, justru melaluinya desa bisa mendunia. Tapi yang perlu dipikirkan adalah menahan desa dengan segenap ornamen, lingkungan maupun sosial budaya yang khas desa.
ADVERTISEMENT
Destinasi wisata, seperti pasar papringan di Temanggung dengan menukar rupiah kita ke kurs kreweng (pecahan genteng) sebagai alat transaksi, di satu sisi bagian cara menjual desa yang unik, tapi di aras lainnya terlihat ribet, kotor dan tak praktis. Memutar jarum jam nostalgik-romantik zaman dulu ke zaman sekarang memang bagi sebagian merupakan ziarah masa lalu, tapi sebagiannya lagi menganggap sebagai pengingkaran realitas, karena negeri ini menetapkan transaksi dengan menggunakan mata uang rupiah, atau mesti melewati money changer lebih dulu.
Swarga Bhumi menjadi wisata menarik bernafas desa di impitan destinasi Borobudur yang mengglobal. View sawah yang terhampar, spot-spot swafoto, prewedding dijual bersama derai AC alam yang sempurna. Ini menjadi bagian inovasi desa, sehingga tak terjadi involusi, sekurangnya secara ekonomi finansial di desa.
ADVERTISEMENT
Karena warga pemilik sawah tetap menggarap dan menikmati hasil panen dari lahannya. Simbiosa mutual menjulang di permukaan maupun kedalaman warga desa setempat.
Sementara, di beberapa desa juga berkembang tren-tren lain, misalnya masifnya kalangan mahasiswa dan pelajar yang terjun ke desa. Tak cuma regular program KKN dari kampus atau semacam live in desa sebagai kegiatan khusus dari sekolah.
Sekarang tak sedikit para periset dari kalangan akademisi, lembaga penelitian maupun NGO’s yang menghabiskan waktu dan dananya di desa. Kaum muda lainnya pun berjejal antre masuk ke desa, seperti membanjirnya barisan anak muda yang mendaftar menjadi pendamping desa.

Budaya Literasi

Bahkan program tentara manunggal masuk desa (TMMD) pun hingga kini tetap dirawat dan kontinyu dipraktikkan, sekurangnya untuk menghadapi dan mengatasi kemiskinan desa, apalagi di tengah pandemi. KKN maupun TMMD virtual menjadi begitu layak ditebar di ranah pedesaan. Begitu pula tak sedikit korporat yang mengucurkan dana CSR-nya dan memilih titik-titik desa zona merah kemiskinan bahkan pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Dalam relasi ini, dana pertanggungjawaban sosial perusahaan ini acap menjelma ke dalam bantuan masker, handsanitizer, bantuan sembako, mobil ambulans, penyediaan obat-obatan tertentu, konsultasi klinis semacam telemedis yang digelorakan selama ini, dll. Ini semua menjadi bagian cara memutus mata rantai penyebaran virus pandemi.
Menjejaki orientasi baru desa sekarang ini, maka penting bagi desa, khususnya kepala desa dan segenap pamong desanya meng-upgrade diri dengan meningkatkan kapasitas untuk membalik desa. Dari malas menjadi giat, dari egois menjadi gotong-royong, dari konsumtif ke produktif dan dari bergantung berubah mandiri.
Lantas, kades dan pamong desa itu akankah sebagai sosok priyayi, ambtenaar atau pengabdi ataukah pembaru?
Diperlukan pula adanya penguatan budaya literasi di tiap-tiap desa, bisa berupa pembangunan perpustakaan desa yang berbasis digital. Selain meng-update pengetahuan dan skill pamong desa juga berfungsi untuk mengatasi problema belajar daring bagi anak miskin selama ini. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah desa tidak perlu pusing memikirkan dari mana sumber dananya karena dapat menggunakan dana desa yang ada.
ADVERTISEMENT
Pun, penguatan BUMDes layak dilakukan lewat pendampingan, pelatihan, komodifikasi usaha produktif dan sentuhan teknologi tepat guna. Magang maupun belajar pada best practice BUMDes tak ada salahnya. Transformasi sikap mental pun tak kalah pentingnya, karena seluruh pelayanan di desa akan merepresentasi keramahan birokrasi desa.