Pesan Sederhana untuk Demokrasi

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
17 November 2020 18:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pesan di dalam botol. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pesan di dalam botol. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
Pimpinan dan tokoh agama menjadi kekuatan strategis dan signifikan untuk membuat gerakan yang luar biasa bagi perjalanan sejarah dan peradaban bangsa. Selama ini tokoh agama telah berkontribusi dalam membangun kerangka dan identitas Negara dan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di zaman penjajahan, ulama, kiai banyak yang menjadi pemimpin-pemimpin perjuangan bangsa. Zaman pembangunan, Ulama menjadi kekuatan penggerak roda pembangunan. Dan sampai saat ini, ulama, kiai senantiasa mengambil peran strategis dalam perwujudan penguatan politik dan demokrasi di Indonesia.
Peran ulama maupun kiai mutlak diperlukan karena merupakan figur sentral baik dalam pesantren maupun masyarakat. Lewat sentuhan seorang ulama, kiai, maka proses keberagamaan maupun transformasi nilai dalam pesantren dan masyarakat itu semakin efektif. Tidak hanya masalah keagamaan saja, pengaruh ulama, juga kiai berpengaruh pada masalah-masalah sosial secara luas, sehingga dapat semakin memperkuat pengaruhnya dalam dunia politik.
Ulama, kiai, dan tokoh agama senantiasa hadir dan menjadi kekuatan penting bagi negara dan bangsa untuk mengatasi problematika dan tantangannya. Di masa pandemi ini, ulama maupun kiai juga telah memainkan peran strategisnya, turun sebagai pemimpin-pemimpin gerakan, baik di tingkatan kebijakan, tausiyah dan dakwah, maupun peran aktifnya di lapangan, turut membatasi penyebaran dan mengatasi dampak pandemi COVID-19. Dalam persiapan menghadapi kehidupan era new normal, Ulama berperan penting dalam membangun kesadaran masyarakat agar mematuhi layanan kesehatan, turut serta mendukung keberhasilan pelaksanaan jaring pengaman sosial dan jaring pengaman ekonomi, dalam rangka bersama-sama mewujudkan pengelolaan manajemen krisis yang tepat dan efisien.
ADVERTISEMENT
Menghadapi Pandemi COVID-19, kita butuh kolaborasi, partisipasi dan solidaritas bersama antara pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dunia usaha, dunia kampus dan media. Dibutuhkan pola komunikasi terbuka yang memungkinkan kita menggandeng semua pihak, memanfaatkan semua media, melibatkan semua pihak, dan yang lebih penting harus memberikan pesan yang tepat agar dipercaya.
Selanjutnya terkait penguatan politik dan demokrasi di Indonesia, khususnya menghadapi pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, Peran para tokoh ulama, kiai sangat penting dan strategis. Kiai, ulama, para pendakwah, tokoh agama lainnya menjadi panutan bagi masyarakat. Fatwa, petuah, dan tausiyah selalu digugu lan ditiru.
Di tahun ini, kita akan melaksanakan Pilkada Serentak di 224 Kabupaten dan 37 kota di Indonesia. 270 Kota/Kabupaten ini tersebar di 9 Provinsi. Kita dituntut melaksanakan pilkada dengan demokratis, namun tetap menjamin kesehatan seluruh masyarakat dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan COVID-19. Pemilihan serentak sebagai mekanisme kedaulatan rakyat mesti dijamin secara konstitusional, tanpa dibebani kekhawatiran ancaman kesehatan.
ADVERTISEMENT
Dalam mengelola pilkada tersebut, kita mesti melibatkan peran para ulama, kiai menjaga demokrasi menaikkan partisipasi politik warga sehingga dengan penuh kesadaran memberikan suara pada coblosan hari itu dengan baik. Penting, kita membangun kesadaran bersama dengan seluruh lembaga keagamaan dan komponen umat agar pelaksanaan pilkada serentak 2020 terhindar dari ancaman kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat, tetap terjaga kualitas penyelenggaraannya, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih tetap tinggi.
Mari bareng-bareng kita jaga persatuan dan kesatuan komponen masyarakat. Gotong-royong menghadapi tantangan politik identitas dan segala bentuk isu yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Pilihan boleh berbeda, tetapi semua untuk Indonesia.
Mari kita edukasi masyarakat tentang bagaimana cara berpolitik yang santun, beretika dan baik, yang itu sumbernya dari ilmu pengetahuan para tokoh dan Ulama, Kiai panutan. Kemudian dilanjutkan dengan keterlibatan dalam kepanitiaan, tim sukses pasangan calon, dan pada puncaknya tentu saja dalam hari pemilihan di mana masyarakat bertindak selaku aktor pemilih.
Ilustrasi Pemilu Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Tidak Berlebihan

Tingkat partisipasi itu akan juga berlanjut pasca-pilkada dengan proses penghitungan, dan bahkan juga, sengketa pilkada. Dalam rangkaian ini, di semua level ada kita harapkan tingkat partisipasi akan mengalami tetap mengalami penaikan dan jika ada protes bahkan sengketa pasca-pilkada juga akan berkurang drastis bahkan zero. Level terakhir adalah maju ke meja MK sebagai pilihan bijak dan arif. Dengan demikian demokrasi di Indonesia akan semakin dewasa. Jika demikian, maka demokrasi berhati nurani semakin membukti.
ADVERTISEMENT
Pesan sederhana Gus Mus, “Bagaimana mau berdemokrasi kalau kita berbeda aja ndak bisa, akhirnya demokrasi jadi anarki." Kiai yang budayawan itu menjelaskan kunci agar tak terjadi perselisihan akibat perbedaan pilihan politik adalah tidak berlebih-lebihan. Sikap berlebih-lebihan ini kadang menyebabkan hilangnya akal sehat. Sehingga agama, ayat suci, dan bahkan nama Tuhan dibawa-bawa ke politik (detiknews.com, 7/3/2019)
Tentu kita semua berharap penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi COVID-19 akan memberikan ruang bagi kita untuk melaksanakan demokrasi yang lebih dewasa dengan diikuti kesadaran baru tentang pentingnya mengedepankan protokol kesehatan sebagai kebutuhan baru kita mewujudkan keberhasilan demokrasi tanpa mengorbankan kesehatan.