PPKM yang Menyehatkan dan Menyejahterakan

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
19 Januari 2021 15:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) telah menjadi bagian solusi memutus matarantai penyebaran virus covid-19. Memang, dari aras kesehatan begitu genial dan cukup efektif untuk menyelamatkan warga dari agresi yang tak kasat mata, namun demikian dari domain ekonomi, rupanya masih perlu dipikirkan langkah lanjut sehingga semua pihak bisa menyadari dan menerima kebijakan itu secara lapang dada.
ADVERTISEMENT
Salah satu kebijakan PPKM adalah adanya pembatasan jam buka bagi warung, pertokoan, pedagang kaki lima yang harus mengakhiri pada jam 19.00 WIB. Barangkali itu tak pernah menjadi masalah bagi para pedagang yang jam buka usahanya pagi atau siang hingga sore hari.
Hal ini akan menjadi lain, kala aturan itu juga diterapkan bagi pedagang yang buka usahanya mulai sore hari hingga malam bahkan larut malam.
Ada warung sego kucing (Hik), penjual wedang ronde, pedagang nasi goreng ataupun para pedagang kaki lima yang sudah turun temurun mereka memulai dasarannya saat matahari menyelinap : mereka yang berjualan di kompleks alun-alun kota, di lapak bibir jalan strategis atau warga yang punya usaha persewaan mobil lampu, becak lampu yang mungkin biasa beroperasi di Simpang Lima Semarang, Alun-alun kidul Solo atau Jogja, dll.
ADVERTISEMENT
Mereka sudah mengakar mengais rejeki di dinginnya malam, menanti nasib baik dan rejeki mujur dari orang-orang yang pengin makan selepas kerja malam atau sekadar berjaga dari runtuhnya rejeki dari anak-anak muda yang habis mengerjakan tugas kelompok atau diskusi, dll.
Para penjual makanan atau penjaja permainan di waktu sore hingga mala mini juga tengah berjuang seperti halnya kawan-kawannya yang sedang berlaga memanen rejeki saat pagi maupun siang hari.
Mereka para hero yang tetep menomorsatukan nasib dan masa depan anak-anaknya atau keluarganya yang mesti didapatkannya dengan cara membanting tulang lewat transaksi kecil-kecilan, atau sekurangnya bisa menutup kebutuhan subsistennya.
Itulah kemudian, jika masih bisa ditolerir barangkali masih ada kempatan untuk revisi atas aturan di atas oleh pemda masing-masing. Sekurangnya juga tetap menimbang, memperhatikan keluh kesah dan problematik para pedagang sore-malam. Mungkin, bisa saja dengan membolehkan pedagang sore-malam ini hingga dagangannya habis atau ada toleransi perpanjangan waktu hingga closing warungnya. Namun tetap harus menegakkan protokol kesehatan dengan 3M, yakni mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak. Atau pada setiap kawasan tertentu, seperti area atau kawasan kuliner malam mesti ada pengetatan pengawasan aparatur dengan menerjunkannya di sana hingga warung tutup. Memang semua butuh pengorbanan dan pengabdian tinggi. Dan, Kota Solo sudah merespon atas masukan bahkan protes dari pedagang kuliner ini dengan surat edaran (solopos.com, 11/1/2021).
ADVERTISEMENT
Pengetatan jam buka usaha dan misalnya menerapkan aturan delivery order (DO) maupun membeli tapi harus dibawa pulang, nampaknya juga belum sepenuhnya diterima masyarakat. Acap tak sedikit warga yang justru ingin membeli suasana, karena suasana tak bisa dibawa pulang.
Maka kemudian, Pemda, Satgas covid-19 dan stakeholder bisa duduk bersama memetakan potensi, problema hingga memformulasikan jalan keluar dan semua pihak tak merasa dirugikan. Memang, terbitnya peraturan dipastikan ada yang merasa menjadi korban atau dirugikan. Tapi jalan pemanusian mesti bertumbuh, bagaimana meminimalisir pelemahan atau perugian itu sekecil mungkin dengan tetap memperhatikan aspek kesehatan.
Pemerintah memang serba susah, mana yang mesti didahulukan : kesehatan atau ekonomi. Ataukan keduanya mesti beririingan, tanpa menindih salah satu. Dan, pemerintah rupanya juga telah, sedang dan akan terus berupaya menyandingkan kedua segi tersebut, sehingga tak ada yang terabai atau tertinggalkan.
ADVERTISEMENT
Berbagai bantuan berlabel covid-19 yang mengalir, termasuk bagi UMKM atau pedagang kecil, warungan atau grobag bahkan keliling, memang cukup membantu menopang kebutuhan hidupnya. Hal lain sebagai manusia sosial terus berjalan, dan aktifitas demikian sudah menjadi tradisi dan bagian kearifan lokal dengan label seduluran, seperti sumbangan sosial bagi warga yang punya hajatan, atau sedang tertimpa musibah misalnya bencana alam.
Rasa timbal balik atau gotong royong selalu memangggil di sini di dada ini, karena kalau tak bisa memberikan sesuatu atau sumbangan kepada orang-orang yang telah membantu, menolongnya, maka orang-orang ini merasa menjadi manusia tak berguna, merasa bersalah dan menjadi semacam catatan sosial yang tak pernah terhapus hingga akhir hayat menjemput.
Benih Baik
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebutuhan mendadak lain pun perlu diperhitungkan, misalnya anggota keluarga sakit, saudaranya butuh talangan dana, atau sekadar membelikan pulsa atau kuota internet paling murah sekalipun. Hal-hal ini mungkin bagi sebagian orang terlampau remeh-temeh ini, tapi bagi warga miskin atau hampir miskin tetap terengah-engah saat dipaksa harus memenuhi kebutuhan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya itu.
Sebagai warga negara, kita apresiasi kepada pemerintah dengan segala upaya menyelamatkan, melindungi dan membebaskan warganya dari pandemi covid-19. Jika harus bicara kegiatan masyarakat lebih banyak dilakukan pada siang hari, maka penting bagi pemangku kepentingan tetap memperhatikan dan tak terhindarkan warganya yang menggantungkan hidupnya menjadi anak asuh rembulan (bekerja malam).Itu masih sebatas UMKM yang beroperasi pada malam hari, belum menyentuh sektor atau profesi lain yang kerap menjelmakan rejeki di malam kusut.
ADVERTISEMENT
Mungkin satu hal lain bisa ditempuh untuk membalik kemurungan “usaha malam,” ini melalui bantuan dana covid-19 dengan mengalkulasi atas modal dan prediksi keuntungan rata-rata setiap malam dalam limit terendah pada rentang waktu diterapkannya PPKM. Lewat model ini, sekurangnya bisa membuat warga bersenyum dan tetap optimis meneguhkan cita-citanya.
Katakanlah, semalam dibuat sama, nilai keuntungan sama dengan besaran bantuan. Itulah yang sekurangnya dikucurkan untuk tetap menjamin kebutuhan atau kesejahteraannya bagi rakyat.
Apapun bantuannya, berarapun besarannya dari pemerintah, itulah negara hadir untuk membuat warga bisa bertahan. Namun demikian, kita semua tentu juga harus berkaca, seberapa kemampuan pemerintah, sudah berapa banyak anggaran digelontorkan untuk mengatasi dan menangani pandemi ini.
Itulah kemudian, di sini Indonesia memanggil, negeri ini mengundang para samaritan, para pilantropis, para donator, relawan untuk turut membantu meringankan beban warga terdampak pandemi covid-19 lewat cara dan atau bidang masing-masing. Segenap aliran CSR pun sekurangnya bisa dibawa dalam arus bantuan ini dengan satu kata : bangkit. Peran dan aksi profetik layak terus digelorakan di setiap titik tanpa menoleh titik eskrem sekalipun dan di ujung lainnya kita tetap menetaskan benih kebaikan, rukun dan damai merawat negeri.
ADVERTISEMENT