Pundi-pundi Lain New Normal

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
9 Juli 2020 14:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover story new normal.  Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Cover story new normal. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Rodinda (romantika, dinamika, dan dialektika) nya Sukarno hingga kini masih relevan dibincangkan. Begitu juga Romantismenya Sang Presiden RI ke-1 itu bersama Fatmawati dengan sepedanya, misalnya. Atau cerita tentang Pak Pos zaman dulu yang tak bisa kita pisahkan dengan budi baik jasa sepedanya. Kring, kring, kring Pos. Koran Tribun secara regular tahunan juga menghelat event gowes bareng.
ADVERTISEMENT
Kita juga menyimpan kisah manis dengan Yanti Fuchianty atlet andalan sepeda level dunia punya kita atau atlet sepeda Tonton Susanto era 90-an. Kita juga menyimpan kenangan lewat karnaval sepeda hias setiap selebrasi HUT-RI.
Berkisah sepeda, membawa ingatan kita pada Pak Joko Widodo mengenang momen kemerdekaan dengan menggunakan pakaian ala pahlawan saat mengikuti sepeda santai bertajuk 'Bandung Lautan Sepeda' yang dimulai dari Jalan Diponegoro, Bandung (10/11/2018).
Lantas kemudian, di tengah pandemi covid-19 tak membuat semua orang selalu mengerutkan dahi atau bersungut-sungut mencari jarum jam di tumpukan jerami. Dengan kata lain, siapa bilang menggemukkan pundi-pundi rupiah sulit di musim pandemi ini.
Singgah saja di toko sepeda maupun bengkel sepeda. Dulu sebelum pandemi, bisa dibilang sepi dari para pembeli. Kini toko itu, luar biasa sibuk melayani pelanggan yang mau membeli sepeda yang bak pisang goreng.
ADVERTISEMENT
Nasib mujur juga menimpa reparasi sepeda, setiap hari orang yang mau memperbaiki sepedanya datang dan pergi silih berganti, bahkan sampai dibuat daftar tunggu, bahkan tak sedikit yang menolak jasa repair ini.
Ada aliran rupiah baru menggembungkan pundi-pundi rejeki bahkan dengan berbagi, Karena di sini menambah lapangan kerja, tenaga kerja dan tentu kesejahteraan yang menyertai, baik di toko maupun bengkel sepeda. Bahkan para perakit sepeda lainnya.
Bagi yang punya uang, membeli sepeda bukan permasalahan, menjadi masalah hanya bagi mereka yang miskin. Maka banyak sepeda yang dulu kuyu-kuyu, dengan keasyikan bercampur keterpaksaan, kini diangkat dari gudang-gudang rumah untuk di cat ulang, di-service kembali agar tetap kinclong dan nyaman di jalan.
Dalam kelam pikiran mereka barangkali prinsipnya hanya satu, ketimbang beli sepeda baru harganya selangit, mendingan memanfaatkan yang ada dan punya. Tak ada rotan akar pun jadi.
ADVERTISEMENT
Sepeda kini beragam, tinggal selera, mau pilih jenis sepeda gundul, sepeda gunung, sepeda lipat, sepeda minion, dll. Kini minat bersepeda kembali mengguncang dunia, sekurangnya musim pandemi yang masih melingkar menuju new normal ini.
Kegaduhan hati dan otak untuk bebas menghirup udara segar dengan menggowes seperti menemukan oase baru di padang terjal kala pemerintah memberikan maklumat tentang new normal.
Beberapa ruas protokol dengan CFD-nya di beberapa kota dibuka kembali, beberapa lainnya masih melipat sekujur kotanya. Dampak pandemi ini membawa angka-angka murung secara ekonomi. Sehingga dengan sigap pemerintah mengucurkan bantuan sembako, bansos, BLT, dll agar warga bisa menyambung hidup.
Di tengah rintih periuk nasi yang gemetar yang terpental karena pandemi, membuat kita menjadi ternganga. Lihat saja, katanya pandemi pendapatan sulit, penghasilan ambruk, musim PHK maupun kejayaan rentenir, dll. Ironi. Di tengah kucuran bansos, sembako maupun BLT dengan data-data DTKS, secara eksplisit mengindikasikan rupa-rupi kemiskinan warga terdampak covid-19.
ADVERTISEMENT
Tapi nyatanya di kota-desa, tua-muda, besar-kecil, melarat-konglomerat, semua merangsek di jalan bersepeda, bejubel antre di toko sepeda, beramai-ramai memilih-milih asesoris sepeda kesayangannya yang acap menindih protokol kesehatan. Katanya tidak punya uang untuk makan, tapi mereka malah membeli sepeda (meski bekas).
Etika Bersepeda
Entahlah apa yang tepat untuk menukas permukaan yang cukup ironi ini. New normal pandemi menjadi booming sepeda di tanah air, karena sepeda dianggap moda transportasi tanpa polusi, murah dan bergensi. Padahal harganya sekarang setara dengan motor bahkan mobil.
Selain upaya biar tubuh sehat, bersepeda sekarang sudah menjadi gaya hidup. Dampak film-film bertema sepeda, tumpahnya para artis bersepeda di jalan dengan sepeda berharga molek, juga lebih pada awareness warga memberi tafsir men sana in corpore sano.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini bahkan ada sekawanan pegowes sepeda branded di Semarang yang tersesat memaknai gaya hidup dengan lebay. Menenteng bahkan mengendarai sepedanya memasuki rumah makan. Ini nggak boleh ditiru.
Sesungguhnya, etika bersepeda pun digelar, meski tak tertuang dalam regulasi perundangan. Misalnya, pesepeda tetap tertib di jalan, mematuhi rambu lalulintas, tidak arogan, tak membuat gaduh, tidak membuang sampah sembarangan, dll. Bagi toko dan bengkel sepeda, ada baiknya fokus pelayanan pelanggan, jangan manfaatkan pendemi mengeruk keuntungan yang tak wajar.
Di luar itu semua, menyikapi banjir sepeda ini, pemda bisa memberikan space khusus jalur sepeda, terutama di jalan-jalan utama kota, dan bagi aparat selalu melindungi pesepeda dari ancaman begal, rampok, kekerasan dan kriminalitas lainnya.
ADVERTISEMENT
Kini, sepeda pun selalu bersetia menemani pedagang siomay atau cilok yang disukai anak-anak itu berkeliling kampung menggemukkan pundi-pundi rejeki. Demikian juga, ojek sepeda di beberapa daerah masih bertahan meski dicecar pandemi yang menelikung. Bersepeda telah, sedang dan akan berdamai dengan pandemi ini.
Akhirnya, melalui sepeda dan atau bersepeda harapannya tubuh semakin sehat dan kian kuat menghalau pandemi. Semoga new normal dengan bersepeda semakin menyatukan Indonesia.