news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Serat Wedhatama dalam Perspektif Pilkades Serentak

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
8 Januari 2021 13:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pilkada serentak sudah berlalu, kini di beberapa daerah sedang menghelat agenda pilkades serentak sebagai pesta demokrasi di ujung desa. Bangsa kita punya serat atau naskah-naskah lama dan besar yang bisa menjadi pustaka hidup. Salah satunya, Serat Wedhatama karya besar Mangkunegara IV. Serat tersebut masih relevan membekali kita menghadapi berbagai tantangan jaman. Serat ini mengajarkan kepada siapapun (birokrat, politisi, pejabat, para calon pemimpin bahkan rakyat).
ADVERTISEMENT
Dalam konstelasi ini, bagaimana aktor-aktor tersebut bersikap yang tepat dalam mengarungi perubahan zaman, di mana kita diharapkan untuk selalu waspadeng semu (mampu menangkap gelagat), sesadon ingadu manis (menanggapi segalanya dengan manis).
Naskah adiluhung ini juga memasok perilaku dan sikap tidak sombong, tak menjerumuskan. Bahkan apabila orang telah mengetahui ilmu sejati akan bunga ingaran cubluk, sukeng tyas yen denina (suka dianggap bodoh, gembira jika dihina) namun sinambi ing saben mangsa, lelana teka-teki (setiap ada kesempatan mengembara bertapa atau belajar dengan giat).
Mengahadapi setiap tantangan para calon pemimpin, diajak untuk selalu sumanggem anyanggemi, nora ketang teken janggut suku jaja (selalu siap sedia, bergeming meski dengan susah payah). Wedhatama menekankan tiga hal dalam kehidupan, yakni wirya arta tri winasis (keluhuran, materi dan kepandaian).
ADVERTISEMENT
Dalam konteks mengawal visi misi para calon pemimpin untuk menyejahterakan rakyat, sudah waktunya mereka berikhtiar memberdayakan masyarakat dengan menjunjung tinggi harkat martabat, nguwongake rakyat dan tak tertinggal di bidang terhadap kemajuan informasi dan teknologi.
Serat ini lagi-lagi menawarkan kepada para calon pemimpin pada level nasional maupun lokal untuk bersikap inklusif, artinya mau menerima setiap ajaran kebaikan, tidak bersikap yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni (jika mendapat petunjuk ilmu yang nyata tidak pernah dijalankan).
Para calon pemimpin jangan hanya mengandalkan japa mantra, tapi harus dilakukan. Sikap reaktif, emosional dan mencaci zaman dan keadaan, maupun melakukan kesia-sian seperti Don Kisot, Sisipus harus dihindari.
Wedhatama membentangkan perspektif yang layak dimaknai sebagai upaya penguatan spirit explory, dreams dan discovery. Di aras lain juga menjadi simbol keberanian setiap calon pemimpin untuk melihat diri (otokritik) atas kekurangan dirinya.
ADVERTISEMENT
Demikian juga ketika kontestasi pilkades serentak di beberapa daerah yang (juga) memburu suara milenial. Hal ini bisa saja terjadi pada kompetisi pilkada tahun lalu bahkan pikades tahun-tahun ini. Di sini sesungguhnya, bukan sekedar berapa jumlah yang harus diperebutkan, tapi adalah bagaimana agar suara milenial nantinya dapat benar-benar mengarah pada pilihan yang cerdas dan tidak golput.
Seperti halnya bagaimana kita dapat mendorong para pemilih muda agar sebelum menentukan pilihannya, terlebih dahulu dapat menelusuri rekam jejak mereka yang maju pada kontestasi pemilu. Atau bagaimana anak-anak muda harus tahu persis apa visi misi dan program yang ditawarkan dan akan diperjuangkan bila menang pada pemilu nanti.
Harapannya, tentu suara milenial yang jumlahnya sangat besar, benar-benar jatuh pada orang-orang yang tepat untuk memimpin negara kita baik di legislatif dan eksekutif. Karena itu, kita berharap kepada pers dapat selalu mengabarkan politik sehat dan cerdas kepada generasi milenial melalui pemberitaan yang disampaikan. Dari kolom-kolom media tentang anak muda, dapat disisipkan edukasi politik yang mencerahkan.
ADVERTISEMENT
Kita harus selalu bergerak pada upaya untuk memberdayakan generasi milenial agar makin smart. Bukan hanya hebat dalam penguasaan teknologi tetapi juga politik. Kita juga berharap, seluruh pemangku kepentingan agar dapat selalu memberitakan informasi-informasi pemilu yang mampu menjaga marwah demokrasi itu sendiri, yaitu suasana kehidupan masyarakat yang tansah adem, ayem lan tentrem.
Bersama kita lawan hoaks, dan kita perang atas ujaran kebencian yang bertebaran di media sosial, dengan pemberitaan-pemberitaan yang meluruskan dan mencerahkan. Bagaimanapun persatuan kesatuan, persaudaraan dan kebersamaan itu lebih berharga dari apapun.
Kopi Pahit
Kini, kaum milenial itu anti korupsi banget. Maka, untuk mengkampanyekan semangat anti korupsi dan perang melawan korupsi tak cukup sosialisasi, bagi buku/brosur/modul tapi para calon pemimpin bisa melakukan inovasi dan cara-cara ngepop. Misalnya lewat festival musik, film, bikin kaus unik bertema tertentu dan atraktif sebagai salah satu media dalam menyampaikan pencegahan korupsi kepada generasi muda. Barangkali ini sesuatu yang menarik bagi kaum milenial. Terpenting tidak jarkoni dan bukan gedhang uwoh pakel.
ADVERTISEMENT
Ganjar Pranowo pernah mengingatkan, generasi milenial harus melek teknologi. Jadilah seperti filosofi Jawa ‘ngeli ning ojo keli’ mengikuti arus tapi jangan sampai hanyut. Jadi mahasiswa harus mempunyai benteng yang kuat, seperti keimanan, ideologi dan rasa kemanusiaan.
Kemudian, atas semakin menghangatnya dinamika politik belakangan ini, ayo kita jaga terus kerukunan dan kebersamaan. Jangan gampang musuhan hanya karena sedikit perbedaan. Pilkades serentak jangan sampai membuat kita terpecah belah. Tetap bersatu untuk keutuhan warga dan NKRI.
Spanduk doa Douglas McArthur, di tengah perang pasifik pun terekam kuat hingga sekarang, ”…Tuhanku, jadikanlah anakku seorang yang cukup kuat mengetahui kelemahan dirinya. Berani menghadapi kala ia takut. Yang bangga dan tidak runduk dalam kekalahan yang tulus. Serta rendah hati dan penyantun dalam kemenangan...”
ADVERTISEMENT
Inilah kopi pahit dan permenungan buat para calon pemimpin dan kita semua dari desa hingga Jakarta.