Trend PayLater dan Perilaku Konsumtif Masyarakat

Masrurotus Saadah
Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Aktif dalam organisasi Intra Kampus BEM Universitas Muhammadiyah Surabaya 2019. dan Organisasi Ekstra Kampus IMM. Sapa saya di IG: Masrurotus Saadah
Konten dari Pengguna
30 April 2021 16:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Masrurotus Saadah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
PayLater saat ini merupakan hal yang cukup akrab di telinga, seperti menjadi budaya baru bagi masyarakat terutama kalangan millennial dalam bertransaksi. Berbagai aplikasi besar penyedia jasa seperti e-commerce, ride hailing, sampai platform pemesanan tiket dan hotel memberikan akses PayLater untuk menarik minat konsumen dalam berbelanja. Aplikasi ini berlomba-lomba menawarkan kemudahan dan obral cashback pembelian dengan menggunakan payLater.
ADVERTISEMENT
Jika ditelusuri PayLater hampir sama dengan kartu kredit. Namun PayLater menawarkan segudang kemudahan untuk bisa mengaksesnya. Hanya cukup dengan KTP dan swafoto, konsumen sudah bisa menikmati layanan PayLater. Tidak heran jika PayLater begitu digandrungi oleh banyak orang.
Berdasarkan studi dari Coherent Market Insights, sebuah organisasi intelijen dan konsultasi pasar global, menunjukkan kemungkinan adanya laju pertumbuhan pasar PayLater global. Setidaknya sebelum tahun 2027, diperkirakan nilainya akan naik secara signifikan menjadi $33,638 juta dolar dari sebelumnya sebesar $5 juta dolar di tahun 2017 dengan persentase pertumbuhan rata-rata pertahun (CAGR) lebih dari 21,2% per tahun.
Potensi PayLater di Indonesia seperti ladang hijau yang bagus untuk dikembangkan, melihat saat ini transaksi digital meningkat tajam. Industri e-commerce dan transaksi digital tumbuh secara eksponensial . Dari data analisis Ernst & Young, dapat dilihat pertumbuhan nilai penjualan bisnis online di tanah air setiap tahun meningkat 40 persen. Ada sekitar 93,4 juta pengguna internet dan 71 juta pengguna perangkat telepon pintar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia Sehingga hal ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap pertumbuhan PayLater di indonesia. Selain itu, pandemi yang melanda dunia termasuk Indonesia mulai tahun 2020 lalu menjadi salah satu game changer yang menggeser kebiasaan masyarakat untuk melakukan aktivitas serba digital termasuk dalam berbelanja.
Contactless dan cashless adalah tuntutan baru bagi masyarakat dalam beraktivitas. Tidak heran, PayLater kian menjadi primadona belakangan ini karena memberikan kemudahan, dan menjadi solusi ekonomi bagi masyarakat di tengah himpitan ekonomi di tengah pandemi. Lembaga riset Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) mengungkapkan hasil riset bahwa masyarakat memandang PayLater sebagai solusi alternatif pengelolaan keuangan dan bukan sekadar instrumen pembayaran.
Picture by pixabay
Bunga pinjaman yang ditawarkan oleh Fintech penyedia jasa PayLater rata-rata menggunakan persentase sesuai dengan tenor dan jumlah pinjaman. Hanya sedikit yang menggunakan bunga tetap. Kisaran bunganya sebesar 0-4,5%. Ini belum termasuk dengan biaya penalti apabila terjadi keterlambatan pelunasan.
ADVERTISEMENT
Di tengah segudang kemudahan yang ditawarkan oleh sistem pembayaran menggunakan PayLater. Sistem pembayaran ini seperti pedang bermata dua, jika digunakan secara bijak dapat menjadi solusi ekonomi bagi masyarakat yang urgent untuk membeli suatu produk atau jasa dalam kondisi keuangan yang buruk. Namun sistem pembayaran menggunakan PayLater ini juga dapat memberikan dampak negatif untuk mendorong budaya mengutang dan mengesampingkan financial planner.
Sistem pembayaran menggunakan PayLater mendorong masyarakat terjerumus dalam perilaku konsumtif. Hanya dengan sentuhan layar mereka dapat membeli barang yang tidak terlalu dibutuhkan, dapat memesan makanan, memesan tiket pesawat, hotel dan berlibur meskipun sedang tidak punya uang.
Hal itu menjadi buruk karena dapat membuat pengguna melupakan kondisi kemampuan keuangan. Jika terus dibiarkan, PayLater dapat melahirkan mindset buruk soal kemampuan mengelola keuangan untuk membentuk kebiasaan finansial yang sehat. Kondisi seperti ini sangat merugikan. Pasalnya, apabila ada kejadian mendesak yang membutuhkan dana cukup besar, kita bisa saja tidak lagi mendapatkan akses pendanaan karena sudah mencapai limit atau pernah melakukan penunggakan PayLater.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Literasi Keuangan
Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019. Tingkat literasi finansial masyarakat Indonesia hanya mencapai 38,03%, dari hasil riset tersebut bukan tidak mungkin jika generasi muda seperti milenial dan gen Z yang notabenenya sangat dekat dengan teknologi, jadi kurang bijak dalam menggunakan PayLater.
Tingkat literasi keuangan yang rendah dapat menyebabkan masyarakat jatuh dalam jebakan keuangan. Banyak orang yang terjebak dalam jeratan utang secara berkelanjutan, sehingga "gali lubang tutup lubang" untuk bisa mencukupi kebutuhannya.
Hal ini bisa jadi disebabkan oleh manajemen keuangan yang buruk sehingga menghasilkan keputusan pengeluaran yang buruk karena kurangnya persiapan finansial dalam jangka panjang. Jika hal ini terus berlanjut akan berisiko mengalami gagal bayar kewajiban utang dan mengalami keterpurukan keuangan
ADVERTISEMENT
Maka untuk menghindari hal tersebut, penting untuk memahami literasi keuangan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mempersiapkan dan mencapai kemandirian finansial di masa yang akan datang. Tingkat literasi keuangan yang tinggi dapat memberikan pemahaman bahwa menabung untuk persiapan finansial di masa depan lebih penting dan aman dibandingkan dengan memperbanyak utang untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya konsumtif. Oleh sebab itu, orang dengan tingkat literasi tinggi cenderung akan menghindari utang berlebihan karena dapat mengakibatkan kebangkrutan dan penyitaan aset.