Meninjau Kembali Kemenangan Taliban: Sudut Pandang Budaya Militer Afghanistan

Maula Hudaya
Mahasiswa S2 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
28 Agustus 2021 19:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maula Hudaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Helikopter angkut militer CH-46 Sea Knight terbang di atas Kabul, Afghanistan, Minggu (15/8). Foto: Stringer/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Helikopter angkut militer CH-46 Sea Knight terbang di atas Kabul, Afghanistan, Minggu (15/8). Foto: Stringer/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jatuhnya pemerintahan Afghanistan ke tangan Taliban pada 16/08/2021 sering kali diberitakan secara menghebohkan oleh berbagai media baik media mancanegara maupun lokal. Bahkan tak sedikit dari pemberitaan tersebut yang menggambarkan fenomena kemenangan Taliban secara berlebihan, bahkan tak segan menyebut apa yang terjadi di Afghanistan sebagai Vietnam kedua.
ADVERTISEMENT
Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi mengingat adanya beberapa persamaan pada kedua peristiwa tersebut. Keduanya sama-sama merupakan fenomena kemenangan kelompok pemberontak melawan pemerintah yang sebelumnya didukung oleh kekuatan adidaya yaitu Amerika Serikat. Fakta ini membuat berbagai media kemudian menyorot kedua peristiwa tersebut sebagai kemenangan kelompok pemberontak melawan kekuatan besar Amerika Serikat, dan kegagalan Amerika Serikat untuk menangani gerakan pemberontak untuk kedua kalinya. Terlebih lagi, baik jatuhnya Saigon maupun Kabul sama-sama menimbulkan kepanikan dan gelombang evakuasi dalam skala besar. Sehingga kedua peristiwa tersebut sering kali disamakan.
Meski demikian, menyebut Afghanistan sebagai Vietnam kedua merupakan penggambaran yang kurang tepat. Hal itu terjadi karena adanya faktor pembeda yang signifikan antara keduanya sehingga apa yang terjadi di Afghanistan tidak dapat disejajarkan dengan Vietnam. Pakar Studi Strategi sekaligus dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair), Joko Susanto, dalam kanal Youtubenya menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Afghanistan sama sekali berbeda dengan apa yang pernah terjadi di Vietnam.
ADVERTISEMENT
Faktor utama yang menjadi pembeda di antara keduanya ialah kondisi "kemenangan" Taliban tidaklah sama dengan apa yang pernah diraih oleh Viet Cong. Viet Cong di satu sisi adalah penggambaran yang sempurna dari apa yang disebut sebagai revolutionary victory, sedangkan Taliban di sisi lain lebih dekat dengan hegemonic withdrawal. Sebagai revolutionary victory, kemenangan Viet Cong lebih teruji karena dalam prosesnya, kelompok tersebut bukan hanya tidak berhasil dibasmi oleh Amerika Serikat sebagai kekuatan hegemon, akan tetapi juga berhasil mengalahkan kekuatan hegemon tersebut dalam pertempuran menentukan dan memaksanya untuk keluar dari Vietnam.
Di sisi lain, Taliban sebagai kelompok insurjensi memang tidak berhasil dibasmi oleh Amerika Serikat selama dua dekade kehadirannya di Afghanistan. Namun, "kemenangan" Taliban sendiri bukan hasil dari pertempuran menentukan yang membuat Amerika Serikat harus meninggalkan Afghanistan. Sebaliknya, "kemenangan" Taliban justru terjadi setelah mundurnya Amerika Serikat sebagai kekuatan hegemon dari Afghanistan yang bukan disebabkan oleh pergolakan di Afghanistan itu sendiri. Sehingga "kemenangan" yang diperoleh Taliban hanyalah pemanfaatan dari situasi mundurnya kekuatan hegemon dari negara tersebut. Sehingga peristiwa jatuhnya Kabul tidak dapat disejajarkan dengan jatuhnya Saigon.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini lantas menimbulkan pertanyaan baru, yaitu mengapa setelah mundurnya pasukan Amerika Serikat, militer Afghanistan begitu mudah dikalahkan oleh Taliban?
Tak sedikit analis dan media mancanegara yang menyebut begitu mudahnya militer Afghanistan dikalahkan adalah karena masifnya korupsi dan kesalahan manajemen dalam tubuh militer Afghanistan itu sendiri. Ya, hal itu tentu saja merupakan faktor yang penting. Namun, terdapat faktor lain yang lebih mampu menjelaskan mengapa faktor yang telah disebutkan oleh berbagai analis maupun media tersebut bisa mungkin terjadi, atau lebih tepatnya mengapa pemerintah Afghanistan begitu sembrono dalam memelihara benteng pertahanan terakhirnya.
Faktor tersebut adalah budaya militer, yang termasuk sebagai salah satu elemen budaya strategis suatu negara. Sederhananya, budaya militer sendiri berkaitan dengan bagaimana militer suatu negara dikelola, apa persepsi ancaman yang harus ditangani, dan bagaimana bertindak menghadapi ancaman tersebut. Sebagai bagian dari budaya strategis, budaya militer dapat terbentuk oleh keunikan geografis dan pengalaman sejarah suatu negara.
ADVERTISEMENT
Secara geografis, Afghanistan memiliki keunikan tersendiri yang turut membentuk keunikan dalam pengalaman sejarahnya. Letak yang berada di tengah-tengah atau buffer zone antara Asia Tengah dan Asia Selatan, membuat Afghanistan tak pernah lepas dari pengaruh kekuatan asing yang berusaha menguasai wilayah negara tersebut untuk keuntungan geopolitisnya. Jauh sebelum penerjunan militer AS dengan dalih War on Terror, maupun invasi Uni Soviet pada era Perang Dingin, Afghanistan telah menjadi arena perebutan kekuasaan antara Kerajaan Britania Raya dengan Kekaisaran Rusia pada The Great Game yang terjadi sejak abad ke-19 hingga abad ke-20.
Dalam catatan sejarah, setidaknya terdapat empat kekuatan besar yang memperebutkan pengaruhnya atas Afghanistan, bahkan dua di antaranya tercatat pernah "menduduki" negara tersebut secara militer, yakni Britania Raya dan Amerika Serikat. Banyaknya pengaruh kekuatan asing yang masuk turut mempengaruhi persepsi ancaman dan bagaimana militer Afghanistan dikembangkan serta bersikap terhadap ancaman tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal itu terjadi karena berbagai kekuatan besar sering kali memanfaatkan suku-suku lokal yang ada di Afghanistan sebagai proxy untuk melawan pengaruh kekuatan asing lain yang terdapat di wilayah tersebut. Demografis kesukuan di Afghanistan yang begitu beragam membuat hal ini begitu mudah menciptakan perpecahan antar suku di dalam negara tersebut. Sehingga perang antar suku menjadi salah satu ancaman yang serius, namun sekali lagi, suku mana yang dianggap sebagai ancaman oleh militer Afghanistan sangat ditentukan oleh pengaruh kekuatan asing yang dominan dan dekat dengan pemerintah Afghanistan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan yang besar bahwa miliar Afghanistan tidak mendapat dukungan yang begitu besar dari masyarakat Afghanistan secara keseluruhan karena adanya sentimen kesukuan tersebut. Hal ini membuat militer Afghanistan secara individu menjadi relatif lemah untuk menangani permasalahan insurjensi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengalaman "pendudukan" Britania Raya dan Amerika Serikat turut membangun budaya militer yang sangat mengandalkan pasukan asing dari dua negara tersebut untuk mengatasi ancaman khususnya inurjensi. Hal ini didukung oleh pernyataan peneliti asal Afghanistan, Ali Yawar Adili yang dikutip dari laman Financial Times. Ia menyatakan bahwa militer Afghanistan secara tidak sadar telah terlalu bergantung pada dukungan operasi udara dari militer Amerika Serikat serta bantuan logistik dari kontraktor Amerika Serikat dalam perjuangannya melawan Taliban.
Hadirnya militer Amerika Serikat selama dua dekade di negara tersebut telah menciptakan budaya militer yang tidak mandiri dan cenderung tidak melihat pembangunan militer sebagai prioritas utama karena menganggap hadirnya militer Amerika Serikat telah cukup untuk menghadapi persepsi ancaman yang ada.
ADVERTISEMENT
Budaya militer ini lah yang kemudian memungkinkan terjadinya korupsi dan kesalahan manajemen di dalam tubuh angkatan bersenjata Afghanistan. Terlebih lagi budaya militer yang terlalu bergantung pada kekuatan asing dalam menyikapi ancaman membuat angkatan bersenjata Afghanistan tidak memiliki moral yang tinggi ketika diharukan menangani ancaman tersebut sendiri. Selain itu, sentimen kesukuan yang tinggi membuat militer Afghanistan tidak mendapat dukungan yang begitu kuat dari seluruh elemen masyarakat. Oleh karena itu, ketika Amerika Serikat memutuskan untuk meninggalkan Afghanistan, maka tidak banyak yang dapat dilakukan oleh militer negara tersebut.
Dalam hal ini, faktor budaya militer yang lemah lah yang kemudian membuat Hegemonic Withdrawal yang ditandai dengan keluarnya pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan benar-benar menjadi penentu terkalahkannya militer negara tersebut yang berujung pada jatuhnya pemerintahan.
Sumber: https://images.unsplash.com/photo-1620056389861-6caeeb699ed2?ixid=MnwxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8&ixlib=rb-1.2.1&auto=format&fit=crop&w=750&q=80