Konten dari Pengguna

Legitimasi Kekuasaan Dalam Politik Islam Menurut Pemikiran Ibnu Khaldun

Maulana Hasyim
Mahasiswa perbandingan mazhab, fakultas syari'ah hukum, UIN syarif hidayatullah jakarta
3 Juli 2024 8:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulana Hasyim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.canva.com/design/DAGJfhIxYQY/MnITXbznhVibPg6BCLycQw/edit?utm_content=DAGJfhIxYQY&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton
zoom-in-whitePerbesar
https://www.canva.com/design/DAGJfhIxYQY/MnITXbznhVibPg6BCLycQw/edit?utm_content=DAGJfhIxYQY&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ibnu Khaldun memiliki nama asli yaitu Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Khaldun. Beliau dikenal dengan nama Ibnu Khaldun karena dihubungkan dengan garis keturunan kakeknya yang kesembilan, yaitu Khalid bin Usman. Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 1 ramadhan 723 H bertepatan dengan tanggal 27 mei 1333 M dan wafat pada umur yang ke-76 tahun.
ADVERTISEMENT
Walaupun Ibnu Khaldun hidup saat dimana kejayaan Islam mengalami kehancuran, Ibnu Khaldun masih dapat unjuk diri sebagai cendekiawan muslim yang hebat terutama dalam pemikiran politiknya.
Ibnu Khaldun merupakan salah satu intelektual yang mengembangkan konsep maupun teori yang tidak terlepas dari kondisi sosial maupun politik yang mengharuskan dirinya merespon, menganalisis, kemudian memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi. Karenanya, banyak kalangan intelektual maupun akademisi menempatkannya sebagai ulama ilmuan modern.
Adapun pemikiran Ibnu Khaldun di antaranya sebagai berikut:
1. Negara
Ibnu Khaldun memulai pembicaraan mengenai negara berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan bantuan.
Seperti yang dikemukakan diatas, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa perlu adanya organisasi kemasyarakatan yang menjadi suatu keharusan bagi hidup masyarakat, karena sesungguhnya manusia memiliki watak hidup bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Setelah organisasi masyarakat terbentuk maka masyarakat membutuhkan seseorang yang memiliki pengaruh dalam bertindak baik sebagai penengah atau pemisah diantara anggota masyarakat.
2. Kekuasaan
Kekuasaan menurut Ibnu Khaldun sebenarnya terbentuk melalui kemenangan suatu kelompok tertentu atas lainnya. Kekuasaan itu merupakan kedudukan yang menyenangkan, meliputi berbagai kesenangan materi maupun maknawi.
Maka dari itu, kompetisi kekuatan antar kelompok biasanya tidak dapat dipisahkan dari sikap-sikap arogan untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Yang dimana kelompok yang ingin berkuasa akan senantiasa mencari legitimasi dari masyarakat dengan berbagai macam siasat.
ilustrasi legitimasi sumber: https://www.canva.com/design/DAGJfhIxYQY/MnITXbznhVibPg6BCLycQw/edit?utm_content=DAGJfhIxYQY&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton
Jika berbicara tentang kekuasaan rasanya belum lengkap kalau tidak membahas legitimasi kekuasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), legitimasi adalah keterangan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang keterangan adalah betul-betul orang yang dimaksud atau kesahan. Sementara itu, legitimasi berasal dari bahasa Latin, yaitu lex yang artinya hukum.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, seiring dengan perkembangannya, legitimasi bukan hanya membicarakan tentang hukum yang ada di dalam sebuah peraturan saja, tetapi juga membahas hukum-hukum yang berlaku di masyarakat, seperti norma-norma dalam lingkungan masyarakat.
Pada dasarnya, pengertian legitimasi kekuasaan menurut para ahli berbeda-beda. Meskipun pengertian legitimasi kekuasaan berbeda-beda, tetapi secara garis besar legitimasi kekuasaan adalah suatu bentuk yang dibuat masyarakat dalam menerima dan percaya terhadap pemerintahan, pemimpin, pejabat negara, dan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa selama masyarakat merasa terlindungi dan merasa sejahtera, maka mereka bisa menerima dan percaya terhadap kepemimpinan suatu pemerintahan.
Namun, apabila ada anggota masyarakat yang merasa kalau dirinya atau kelompoknya tidak terlindungi, maka legitimasi kekuasaan pemerintahan bisa saja hancur atau tidak bisa dipertahankan. Tidak hanya itu, hal dapat terjadi karena para pemimpin dan pejabat negara tidak dapat menunjukkan kinerja dengan baik, sehingga anggota masyarakat banyak kecewa.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, bagi pemerintah yang ingin mempertahankan legitimasinya sudah seharusnya bisa memenuhi kebutuhan masyarakatnya agar kesejahteraan bagi anggota masyarakat dapat terjamin. Semakin banyak masyarakat yang sejahtera, maka legitimasi pemerintahan di mata masyarakat akan terus meningkat.
Dalam pemikiran Ibnu Khaldun ada yang namanya legitimasi 'ashabiyah, secara etimologi 'ashabiyah berasal dari kata 'ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional 'ashabiyah merujuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial.
Menurut Mahmud Rabie', 'ashabiyah merupakan suatu jalinan sosial yang dapat membangun kesatuan suatu bangsa, terlepas apakah itu dipengaruhi oleh ikatan kekeluargaan maupun persekutuan.
Seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam bukunya muqaddimah, bahwa 'ashabiyah sangat menentukan kemenangan dan keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun kerajaan.
ADVERTISEMENT
Ibnu Khaldun menempatkan istilah 'ashabiyah menjadi dua pengertian. Pengertian pertama bermakna positif dengan menunjuk kepada konsep persaudaraan (brother hood). Pengertian yang kedua bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran.
Jadi jelas, dalam proses terbentuknya suatu negara dan hukum diperlukan adanya suatu legitimasi solidaritas ('ashabiyah) untuk mendukung tercapainya cita-cita bersama serta mewujudkan keadilan dan mampu memelihara serta membangun agama dan negara.