Dasar Pijak Pembangunan Peradaban Islam Masa Depan

Isma Maulana Ihsan
Founder Belajar Politik, Mahasiswa aktif S1 Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, aktifis pergerakan, mahasiswa gabut dan pengagum rahasiamu
Konten dari Pengguna
22 Mei 2023 13:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isma Maulana Ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Masjid. (Freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Masjid. (Freepik)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya tertarik untuk kembali meneruskan tulisan dari sahabat Yanuar Atha Prabowo tentang terbenamnya pintu ijtihad sehingga melahirkan semacam ketertinggalan atau dalam bahasa Yanuar disebut sebagai stagnasi pikiran.
ADVERTISEMENT
Tulisan yang manis dan melankolis, saya merasa dekat dengan tulisan tersebut; karena saya sendiri seorang melankolis. Sayangnya, muka saya tidak semanis yang dibayangkan, tapi cukuplah untuk membuat seorang Hawa terpikat.
Bahwa dalam satu sisi memang benar pintu ijtihad dalam satu sisi tertutup tetapi ada pula inovasi-inovasi hukum Islam yang disesuaikan dengan konteks jaman hari ini. Menyesuaikan jaman artinya hukum tersebut adaptif serta responsif terhadap dinamika perubahan sosial yang ada, sebabnya stagnasi ternyata ditemukan korelasinya di sini.
Seorang guru pernah berkata, bahwa apa yang sudah ada mustahil lagi untuk ada. Maksudnya, ia menerangkan bahwa yang ada ya sudah mewujud ada, sudah meng "ada", tidak mungkin toh kita menghadirkan sesuatu yang sudah "ada", dalam bahasa sederhana jika hendak membuat sesuatu itu menjadi ada, ia harus berangkat dari ketidakadaan terlebih dahulu, karenanya menjadi relevan ia dibilang ada.
ADVERTISEMENT
Dan dalam persoalan ijtihad Islam, ibarat dalam memasak segala bahannya sudah ada tinggal mengelolahnya saja yang kemudian dikontektualkan dengan keadaan jaman sekarang. Ketika kita hendak membuat sayur sop, bahan-bahannya seperti buah kol, wortel dan lain serupanya sudah ada. Kita tidak dapat menyebut sayur sop sebagai sesuatu yang baru, karena bahan-bahannya sudah ada terlebih dahulu.
Islam, secara historisnya pernah memimpin peradaban dunia, ini adalah prestasi besar sendiri, pengelolaan pemerintahan yang ditopang dengan semangat mencari pengetahuan karena banyaknya insan-insan ulul albab saat itu yang selalu haus akan ilmu dengan senantiasa berzikir kepada Allah SWT.
Ada dua hal menarik dari insan ulul albab yang kita temukan dalam peradaban Islam era kejayaan, bahwa mereka semua tidak hanya haus mencari ilmu, tidak hanya terlelap dalam pikiran tetapi lebih jauh dalam padanya juga senantiasa berzikir kepada Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Berzikir ini, dalam anggapan saya sendiri tidak hanya berarti suatu kegiatan ibadah yang diartikan sebuah perilaku berdiam diri di masjid kemudian melafalkan kalimat-kalimat memuji asma Tuhan, lebih dalam padanya ialah semacam jenis kesadaran atas realitas yang ada, pengejawantahan perilaku sebagai pemimpin dan wakil-Nya di dunia.
Barangkali hal tersebut pula yang melatarbelakangi kenapa Tuhan menyuruh saya dan manusia lainnya untuk bertanya kepada ahli zikr jika memang tidak tahu: Fas'alu ahlalzikri inkuntum laa ta'lamun.
Bahwa kesadaran atas realitas yang ada inilah yang menjadi momok persoalan, menjadi titik utama refleksi yang kemudian menjadi semacam arah gerak dan aksi untuk menentukan dasar pijak pembangunan peradaban Islam di masa depan.
Namun, apa dasar pijak itu? kembali kepada pembukaan pintu ijtihad yang lebar? rasa-rasanya pintu ijtihad sering dibuka, pertanyaannya siapa yang mau masuk ke dalamnya?.
ADVERTISEMENT
Saya rasa, kita harus menempatkan dulu persoalan dunia Islam hari ini. Dalam tulisan sahabat Yanuar, saya menilik pandangannya bahwa kemunduran peradaban Islam hari ini disebabkan karena adanya stagnasi pikiran di dalam tubuh umat. Stagnasi ini sebagaimana di awal tulisan karena adanya kemunduran untuk melakukan ijtihad, atau suuzonnya saya menyebut adanya ketakutan untuk melakukan ijtihad; takut disangka kafir dan sesat.
Tetapi dalam pandangan saya sendiri, dalam persoalan ijtihad, dalam satu sisi memang banyak benarnya apa yang diungkapkan sahabat ilmu politik dari UIN Jakarta tersebut, tetapi di sisi lain ada hal yang luput diperhatikan.
Hal yang luput itu ialah persoalan kesadaran akan sejarah, terjebak dalam slogan-slogan dan lebih sering mengutuki dirinya sendiri. Dalam bahasa yang lebih gamblang, orang-orang Islam telah banyak kehilangan identitas dirinya sebagai muslim.
ADVERTISEMENT
Tak heran, cendekiawan Muslim pernah berkata, "Di Barat (Eropa) aku menemukan Islam tetapi jarang menemukan Muslim, di Timur aku bertemu Muslim tetapi tidak menemukan Islam,".
Hal ini disebabkan, di perguruan-perguruan tinggi Islam misalnya, apa yang banyak kita temukan, mahasiswa UIN atau sejenisnya lebih banyak mengenal pikiran-pikiran hasil perkawinan Barat, tetapi jarang menggali khazanah keilmuan Islam sendiri.
Mereka yang kemudian gagap akan siapa diri mereka sebenarnya, akan bagaimana sejarah kaumnya, maka ia telah hancur dalam kepingan jaman; kebingungan dan hidup terombang-ambing tanpa arah.
Tak salah lagi, banyak ditemukan pemuda-pemudi Muslim yang barangkali lebih menyukai menyanyikan lagu KPOP atau Barat ketimbang melantunkan salawat atau pelantunan salawat hanya dijadikan gimmick agar viral di media sosial, ditambah dengan menjual tampang yang tentunya, good looking.
ADVERTISEMENT
Kita juga sering mendengar ungkapan-ungkapan dan pemaparan kehidupan Al Fatih sang penakluk, Salahudin sang bijak, Umar sebagai pedangnya Allah, keberanian Ali ibn Abi Thalib. Tetapi amat jarang sekali di antara kaum muslimin yang mau menapaki jejak hidupnya, terjebak dalam kemanjaan jaman, terjerambab dalam kenestapaan identitas.
Sebabnya, banyak yang kemudian mengutuki jaman, mengutuki kegelapan ketimbang menjadi cahaya, menjadi lilin yang mau berkorban. Meskipun, jangan naif pula ada banyak pihak yang sedang berusaha untuk menyadarkan kembali kesadaran Muslim kepada identitasnya, ada begitu banyak hari ini kita menemukan konten kreator, organisasi dan forum-forum yang berusaha mengembalikan "apa yang dibelakang menjadi di depan dengan mengambil dasar pijak dari apa yang telah membicarakan masa depan".
ADVERTISEMENT
Karenanya kemudian, dasar pijak utama untuk membangun kembali peradaban Islam di masa depan adalah dengan menyadarkan kembali identitas muslim, dapat dilakukan dengan penyadaran atas sejarah, ajaran dan serupanya. Dan menjadi tugas kaum intelektualah yang menjadi garda terdepan meneriakan persatuan dan kesadaran Islam ditengah gempuran semangat kebebasan individu yang kadang mengenyampingkan Tuhan dalam tingkah lakunya. (*)