Kompleksitas Demokrasi Indonesia Pascareformasi

Isma Maulana Ihsan
Founder Belajar Politik, Mahasiswa aktif S1 Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, aktifis pergerakan, mahasiswa gabut dan pengagum rahasiamu
Konten dari Pengguna
23 Agustus 2022 13:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isma Maulana Ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto milik pribadi
zoom-in-whitePerbesar
foto milik pribadi
ADVERTISEMENT
Erosi yang terjadi di berbagai belahan dunia menjadikan wacana tentang demokrasi semakin hangat untuk diperbincangkan dewasa ini. Terjadinya otokrasi Xin Jinping di Asia Timur (China), populisme Erdogan di Turkiye, Vladimir Putin di Eropa menjadikan dialektika demokrasi semakin menguat, seiring dengan itu semakin banyak ia dibahas semakin sulit pula mencari contoh negara yang memenuhi tatanan demokrasi secara sempurna (Purwaneni, 2004). Di Indonesia sendiri, demokrasi pascareformasi yang menurut euforia awalnya akan tegak seiring dengan kehancuran diktatorisme Orde Baru ternyata demokrasi yang terjadi masih bersifat prosedural-kelembagaan, secara etis-subtantif belum sepenuhnya diterapkan (Arianti et al, 2022). Tulisan ini akan mencoba untuk melihat kompleksitas demokrasi yang terjadi terutama demokrasi pascareformasi 1998 di Indonesia di tengah erosi yang terjadi di berbagai belahan dunia.
ADVERTISEMENT
Konfigurasi politik-demokrasi pasca Orde Baru memang membuka ruang bagi masyarakat untuk terlibat secara maksimal dalam menentukan kebijakan negara. Ketika reformasi menyeruak dalam sosial-teks kehidupan masyarakat Indonesia. Muncul harapan akan lahirnya tatanan dan sistem politik Indonesia yang benar-benar demokratis. Namun, setelah dua puluh tahun berjalan. Demokrasi yang diharapkan belum sepenuhnya terjadi, demokrasi pun kemudian dipertanyakan dan digugat ketika sejumlah praktik politik mengatasnamakan demokrasi seringkali memperlihatkan paradoks dan kompleksitasnya sendiri (Purwaneni, 2004).
Ditambah dengan erosi demokrasi lainnya seperti adanya politik dinasti yang dilakukan oleh rezim, menampakkan kompleksitas tersendiri dalam wajah demokrasi kita, pencalonan kandidat Presiden dan wakilnya yang dibatasi oleh Presidential Treshold, menurut beberapa ahli politik semakin memperlihatkan kompleksitas demokrasi Indonesia yang hanya berjalan dalam tataran retorika, dalam kehidupan riil politik Indonesia masih terkungkung dalam praktik yang mengarah pada otoritarianisme dan kehancuran demokrasi yang semakin membuat sulitnya bangsa Indonesia untuk menciptakan iklim demokratis yang subtansial. Menurut Suharso, salah satu paradoks demokrasi Indonesia pascareformasi adalah tidak berjalannya demokrasi sebagai agenda politik melainkan hanya sebatas bahan pencitraan elite belaka. Sehingga, ketika dulu era Orde Baru banyak yang menentang keseragaman, kini sebagian elite berpandangan bahwa demokrasi bukan hanya persoalan perbedaan melainkan kesamaan-samaan, dulu era Soekarno pilihan tunggal mendapat banyak pertentangan, setelah reformasi tidak sedikit kita melihat dalam pemilihan umum seorang pasangan calon melawan kotak kosong yang katanya, demokratis. Pada akhirnya, kompleksitas yang terbentuk ialah demokrasi yang tidak merupa idealisme dalam usaha kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan hanya alat dan isu untuk meraih perhatian belaka (pencitraan). Lebih lanjut, dalam Arianti et, al (2022) ada kompleksitas tersendiri dalam usaha membangun demokrasi Indonesia dewasa ini, adanya polarisasi yang merupakan implikasi logis dari keberagaman bangsa Indonesia (Jurdi, 2016) pun akibat adanya paradoks demokrasi yang diakibatkan oleh kultus individu. Jika kultus terhadap Soeharto dengan berbagai simbolnya mendapat pertentangan, pada hari ini justru hal tersebut diperagakkan dengan begitu sadar dan insyaf.
ADVERTISEMENT
Dengan kemajuan teknologi, jenis komunikasi politik aktor pun berbeda. Dengan tumbuhnya demokrasi di ruang digital ternyata menumbuhkan juga kompleksitas didalamnya, yaitu bermunculannya buzzerRp dan influencer politik yang memang menjadi 'hama' dalam proses pen-demokratisasian masyarakat.
Menurut Suharso, kebangkitan kultus terhadap individu tersebut mendapat penilaian yang wajar dari masyarakat dan merupakan praktik politik yang benar. Kemudian, implikasi dari pemikiran tersebut adalah munculnya usaha untuk mensentralisasi otoritas dengan mobilisasi simbol-simbol kharisma politik, yang menurut Purwaneni tidak menjadi soal apakah kharisma tersebut semu atau nyata yang penting ada pesona yang dapat ditawarkan sebagai komoditas politik. Terjadinya kompleksitas demokrasi yang termaksud di atas merupakan jalan terjal dalam usaha mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi sebagai sebuah sistem yang dianut dalam perpolitikan Indonesia. Demokrasi kemudian menjadi penting untuk diterapkan secara etis-substantif untuk menemukan makna sesungguhnya dari demokrasi, tidak berjalannya demokrasi sebagaimana mestinya mengakibatkan terancamnya Hak Asasi Manusia (HAM) dan segala bentuk penegakannya. Maka, harus ada kesadaran membangun demokrasi yang dimulai dengan pendidikan terhadap masyarakat tentang hak, fungsi dan kewajiban mereka kepada negara dan sebaliknya. Usaha sadar secara kolektif ini harus didasarkan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Rabani, 2020) untuk membumikan dan mengimplementasikan idealisme demokrasi.
ADVERTISEMENT