beech-wood-779902_1920.jpg

Dinas Bidan: Aku Harus Pergi dari Kampung Ini (Part 9)

17 September 2020 16:32 WIB
comment
16
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cerita horor Dinas Bidan bagian 9, Aku Harus Pergi dari Kampung Ini. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita horor Dinas Bidan bagian 9, Aku Harus Pergi dari Kampung Ini. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pagi ini aku tidak masuk kerja karena tiba-tiba badanku demam tinggi. Aku juga sudah minum obat, tapi demamku tidak kunjung reda. Sekarang tubuhku malah menggigil. Wajahku tampak pucat saat kulihat di cermin. Kantung mataku juga mendadak hitam. Segera kubenamkan diri di atas kasur. Semakin lama tubuhku malah menggigil.
ADVERTISEMENT
"Dinda...," dengan suara serak kupanggil Dinda.
"Iya, Mbak," sahutnya dari luar. Kudengar langkah kakinya mendekat ke kamarku.
"Mbak sakit?" tanya Dinda sambil melongokkan kepala dari balik pintu.
"Iya, Dinda. Kalau kamu nggak keberatan, tolong ambilkan mbak air hangat ya," pintaku sambil menggigil.
"Iya, Mbak. Tunggu ya."
Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan membawa segelas air hangat. Aku meraih gelas itu dan menyeruput airnya.
"Mbak sakit apa? Sudah minum obat?" Dinda duduk di sampingku.
"Aku demam, Din. Sudah tadi," kuserahkan kembali gelas itu pada Dinda.
"Semoga lekas sembuh, Mbak," kata Dinda.
Dia lalu keluar dari kamarku. Selang beberapa saat ada seseorang yang mengetuk pintu kamar. Kudengar itu suara Pak rahmat. Dia pun masuk bersama istrinya, juga Dinda.
ADVERTISEMENT
"Mbak Maya sakit?"
"Iya, Pak," aku tidak bisa berbicara panjang-lebar. Keadaanku semakin memburuk.
"Kamu demam, Mbak," kata istri Pak Rahmat setelah menyentuh keningku.
"Aku mau ngomong empat mata sama Pak Rahmat," pintaku.
"Ya sudah," jawab Pak Rahmat sembari melirik ke istrinya dan Dinda. Mereka berdua pun keluar dari kamar.
"Tolong aku, Pak. Sepertinya aku terkena pelet," kataku.
Pak Sukra terkejut mendengar pernyataanku.
"Siapa yang melet kamu, Mbak?"
"Pak Sukra."
"Bajingan!" Pak Rahmat geram.
"Tolong aku, Pak, kumohon!"
"Mah...," Pak Rahmat memanggil istrinya.
"Iya, Pak?" wanita itu pun masuk ke kamarku.
"Tolong ambilkan kerisku di rumah. Ada di kolong ranjang kita," pinta Pak Rahmat.
ADVERTISEMENT
"Iya, Pak."
"Kamu jangan khawatir, aku akan melepaskanmu dari ilmu pelet itu," ujar Pak Rahmat.
"Iya, Pak, tolong aku..," semakin lama tubuhku malah semakin dingin.
Beberapa saat setelah kami menunggu, istri Pak Rahmat muncul kembali dengan membawa keris. Ia menyerahkannya kepada Pak Rahmat.
Keris itu kemudian dikeluarkan dari sarungnya. Pak Rahmat lalu menempelkannya di keningku. Aku memejamkan mata. Kudengar Pak Rahmat berkomat-kamit yang suaranya terdengar tak terlalu jelas. Entah apa yang sedang dia ucapkan.
Tak lama setelah itu, ada susuatu dari dalam perutku yang memaksa memaksa naik untuk keluar dari mulut. Kubuka mulutku lebar-lebar. Kedua mataku sampai berair karena menahan sakit.
Aku merasa seperti ada benda tajam yang menyayat-nyayat isi perutku. Saat itu juga, dari dalam tenggorokanku keluar untaian rambut sebesar telunjuk orang dewasa. Rambut itu berlumur darah. Pelan-pelan Pak Rahmat menarik benda itu.
ADVERTISEMENT
Panjang rambut itu sekitar satu meter lebih. Aku muntah-muntah setelah benda itu berhasil keluar dari dalam mulutku. Pak Rahmat kembali berkomat-kamit. Aku kembali memuntahkan sesuatu, kali ini cairan. Itu jelas minuman yang diberikan Pak Sukra kemarin.
"Kamu benar-benar terkena pelet si Sukra," Pak Rahmat memasukkan kembali kerisnya.
"Aku mau pulang saja, Pak," kataku sambil menyeka bercak darah di bibir.
"Kapan?" tanyanya lagi.
"Besok saja. Semoga keadaanku sudah membaik besok."
"Yah... kalau Mbak Maya pulang, aku sendirian dong," gerutu Dinda.
"Kamu nggak sendiri kok. Kan ada keluarga Pak Rahmat yang baik hati," ujarku.
Tak lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu.
"Mbak Maya...," itu suara Pak Sukra. Mau apa dia?
ADVERTISEMENT
Pak Sukra muncul. Dia membawa buah-buahan untukku.
"Mbak Maya sakit ya?" sapa Pak Sukra sambil tersenyum.
"Jangan mendekat kau bajingan!" teriakku sambil melemparkan gelas ke wajahnya.
"Ada apa ini?" Pak Sukra kaget karena tiba-tiba aku marah kepadanya.
"Jangan pura-pura bodoh kau, Sukra! Aku tahu perbuatanmu," kini Pak Rahmat membelaku.
"Maksud kalian apa?" tanya Pak Sukra.
"Kau pelet Mbak Maya kan?" lanjut Pak Rahmat.
"Hei, kau Rahmat, ustaz gadungan jangan fitnah orang sembarangan ya!"
Mereka berdua terlibat adu mulut hingga menimbulkan kegaduhan. Saat itu juga Dinda berteriak sangat keras. Ia mengibaskan tangan kanannya dan seketika Pak Rahmat dan Pak Sukra terpental.
Ada yang merasuki Dinda lagi. Sejak kematian mboknya, aku tahu kalau ada yang selalu mengawasi Dinda.
ADVERTISEMENT
____
Nantikan cerita horor Dinas Bidan selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten