edilson-borges-GSrgTVqS0dk-unsplash.jpg

Dinas Bidan: Apakah Dinda Kerasukan? (Part 6)

13 September 2020 13:59 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Dinas Bidan Part 6. Apakah Dinda Kerasukan? Foto: unsplash.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Dinas Bidan Part 6. Apakah Dinda Kerasukan? Foto: unsplash.
ADVERTISEMENT
“Kamu apa-apaan Din! Mbokmu sudah meninggal! Hargai mbokmu!” aku meneriakinya.
ADVERTISEMENT
“Mbokku hidup lagi kok hahaha…,” Dinda lari-lari kecil mengelilingi jenazah mboknya.
“Dinda! Mbak bilang hargai Mbok kamu!” aku menerobos hujan yang kian lebat, menghampiri Dinda.
Kain kafan Mbok Ibah basah kuyup dan kotor, “Astagfirullah! Dinda apa-apaan kamu! Sadar Dinda sadar!” kupegang erat kedua tangannya agar dia mau diam.
“Lepasin Mbak ih…!” dia berontak.
“Ada apa ini?!” Pak Rahmat muncul dengan membawa payung.
“Kenapa jenazah Mbok Ibah ada di sini?!” Pak Rahmat terkejut melihat jenazah itu.
Dia langsung membopong jenazah Mbok Ibah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dinda susah sekali dikendalikan, dia malah menangis sambil memanggil-manggil mboknya. Pak Rahmat kembali tanpa menggunakan payung, dia langsung memangku paksa si Dinda yang masih mengamuk.
ADVERTISEMENT
“Istigfar Dinda!” bentak Pak Rahmat.
Aku basah kuyup. Pak Rahmat membawa Dinda masuk ke dalam rumah, dia membisikkan ayat-ayat suci di telinga Dinda. Sementara aku masih syok melihat tingkah Dinda yang tiba-tiba aneh seperti itu. Aku menoleh ke jenazah Mbok Ibah, kain kafannya harus diganti.
Setelah dibacakan ayat suci akhirnya Dinda melunak, tatap matanya kosong, ia tampak kelelahan. Setelah itu, aku mendengar suara ledakan kecil dari dapur, buru-buru kuhampiri sumber suara itu. Makanan pemberian Pak Sukra acak-acakan di lantai, entah apa yang terjadi. Kenapa bisa begitu?
“Ada apa Mbak?” tanya Pak Rahmat.
“Nggak tahu Pak. Tadi ada ledakan, terus makanan pemberian Pak Sukra tumpah gitu aja.”
ADVERTISEMENT
“Kayaknya tumpah sama kucing,” ucap Pak Rahmat.
“Iya kali Pak,” aku langsung membersihkan makanan yang berserak di lantai.
“Nanti pagi kita ganti kain kafan Mbok Ibah karena sudah kotor,” kata Pak Rahmat.
“Iya Pak. Udah kotor banget kain kafannya.”
***
Keesokan paginya, jenazah Mbok Ibah dikuburkan. Tidak banyak warga yang membantu pemakaman itu. Dinda masih menangis meratapi mboknya, kedua matanya sembap, aku berkali-kali menasehatinya agar tetap tabah. Setelah pemakaman selesai, aku langsung berangkat ke puskesmas. Jujur saja, sebenarnya aku masih syok dengan kejadian semalam, tapi aku harus tetap bertugas dan kali ini aku akan pulang tepat waktu.
Seperti biasa, puskesmas sepi. Para pegawai di sana kerjaannya hanya main handphone dan ngobrol, sedangkan aku mengerjakan kembali rancangan untuk penyuluhan.
ADVERTISEMENT
“Selamat pagi Mbak Maya…,” sapa Pak Sukra.
“Pagi Pak?”
“Saya dengar mboknya Dinda meninggal ya?” dia duduk di sampingku.
“Iya Pak semalam dan sudah dimakamkan,” kataku sambil menoleh padanya.
“Turut berdukacita ya Mbak,” ucap Pak Sukra.
“Iya kasihan Dinda, Pak,” aku kembali ke layar laptopku.
“Makanan istri saya enak nggak Mbak?” dia kembali membuka obrolan.
“Duh maap Pak. Aku nggak sempat makan pemberian bapak soalnya semalam sibuk banget sampai nggak ingat makan.”
“Oh begitu ya Mbak. Nggak apa-apa deh,” katanya. Kulihat wajah Pak Sukra murung.
“Maap ya Pak. Lain kali pasti saya makan.”
“Iya Mbak nggak apa-apa.”
“Nanti pulang saya antar ya,” dia menawarkan diri.
ADVERTISEMENT
“Boleh Pak. Kebetulan saya mau pulang tepat waktu,” aku tersenyum padanya lalu kembali fokus ke layar laptop.
***
Jam lima sore aku pulang dibonceng Pak Sukra. Seperti biasa, sepanjang perjalanan dia bercerita segala hal. Sesekali aku menimpali walau sebenarnya aku sedang malas basa-basi. Akhinya aku tiba di depan rumah Dinda, Pak Sukra langsung pamit. Aku sempat menawarinya untuk mampir, tapi dia menolak.
Setelah kematian Mbok Ibah, rumah Dinda semakin hening saja. Aku sempat merinding saat masuk ke rumah itu. Dinda sedang tidak ada di rumah. Mungkin dia pergi ke kebun jagung.
Aku duduk di kursi kayu sambil menghela napas lega. Walau tidak ada pasien, tapi hari ini cukup melelahkan karena seharian aku mengerjakan materi penyuluhan. Saat sedang istirahat di kursi, aku mendengar suara kayu yang dicakar.
ADVERTISEMENT
Errghhhh...!
Ada suara erangan dari dapur. Pelan-pelan kuhampiri sumber suara itu.
"Dinda...," gumamku.
Dinda merayap di lantai, kedua matanya hitam semua. Ada darah keluar dari mulutnya. Dia kemudian merayapi dinding sambil memperhatikanku. Aku langsung berteriak minta tolong.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten