piqsels.com-id-jiiko (1).jpg

Hotel Bekas Pembunuhan: Temani Aku (Part 7)

24 Juni 2020 16:15 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cerita horor Hotel Bekas Pembunuhan. Foto: Peqsels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita horor Hotel Bekas Pembunuhan. Foto: Peqsels
ADVERTISEMENT
Heri duduk termangu di meja resepsionis. Semenjak kematian para mahasiswa itu, pengunjung hotel jadi sepi, sekali pun ada paling hanya 2 pengunjung sehari, itu pun jarang. Heri jadi banyak menganggur, setiap hari kerjaannya hanya duduk di meja itu sambil sesekali memainkan hp-nya. Sekitar jam 2 dini hari, telepon berbunyi. Segera Heri mengangkat telepon itu.
ADVERTISEMENT
“Dengan resepsionis, ada yang dapat saya bantu?”
“Pintu kamar saya susah dibuka, kayaknya pintunya rusak. Saya tidak bisa keluar,” kata lelaki diseberang telepon.
“Baik, di kamar nomor berapa ya?” tanya Heri dengan ramah.
“99, Pak.”
“Baik, mohon ditunggu ya.”
Itu suara bule dengan logat bahasa Indonesia yang khas orang asing. Sudah dua hari dia menginap di hotel itu, pasti bule itu tidak tentang kasus kematian para mahasiswa. Heri bergegas mencari kunci cadangan untuk kamar nomor 99. Dia terlihat bersemangat karena akhirnya ada hal yang bisa ia kerjakan.
“Tiara, gua ke atas dulu ya. Ada tamu yang minta bantuan.”
Tiara tidak menjawab, ia ternyata sudah tidur pulas di meja itu. Heri menggelengkan kepalanya.
ADVERTISEMENT
“Kerja kok tidur mulu,” gumam Heri.
Ia pun langsung naik ke lantai dua. Namun, saat berjalan di lorong koridor tiba-tiba saja seluruh lampu di sana padam. Heri pun terkejut, buru-buru ia merogoh hp-nya lalu menyalakan senter. Satu persatu ia lewati kamar di koridor itu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara aneh dari kejauhan. Heri lalu meruncingkan telinganya, itu jelas suara wanita yang sedang menangis.
Bulu kuduknya mulai merinding. Ia takut, tapi juga penasaran. Heri pun melangkah kembali, sekarang ia mengikuti sumber suara itu. Tepat di sudut koridor, ada seorang perempuan yang duduk sambil memeluk dengkulnya sendiri. Kepalanya menunduk, ia menangis sesenggukan. Perempuan itu berambut sebahu, ia mengenakan jaket warna kuning dan juga celana levis.
ADVERTISEMENT
“Mbak?” Heri perlahan mendekat, ia mengarahkan cahaya senternya pada wanita itu.
“Mbak kenapa?”
Tidak ada jawaban, perempuan itu masih saja menangis. Heri coba menyentuh pundak perempuan itu.
“Mbak?”
“Temani aku...,” akhirnya perempuan itu berbicara. Suaranya lirih, tapi kepalanya masih menunduk.
“Temani?”
Wanita itu lalu mendongakkan kepala. Heri kenal betul siapa dia, fotonya sudah tersebar di mana-mana. Dia adalah Hilda, mahasiswa yang beberapa hari lalu dikabarkan hilang.
“Kamu Hilda?” Heri mengerutkan dahi, sambil menyorotkan senter ke wajah wanita itu.
Ia mengangguk.
“Dari mana aja? Semua orang panik nyari kamu.”
“Temani aku. Aku takut...,” wajah Hilda pucat.
“Ayo kita ke bawah. Kita lapor polisi, biar kamu dijemput.”
ADVERTISEMENT
Heri meraih tangan Hilda dan terasa dingin.
“Kok dingin banget, kamu sakit ya?”
Hilda mengangguk sambil menyeka air matanya. Heri lalu menuntunnya perlahan, ia harus segera menolong tamu yang terkunci di kamar nomor 99. Setibanya di kamar itu, Heri berhasil membuka pintunya. Muncullah seorang lelaki bule dengan kepala botak dan perut buncit.
“Ah, finally,” kata lelaki itu.
Heri meneteskan pelumas pada kunci itu agar tidak macet lagi.
“Oke, sudah lancar kembali kuncinya, Pak,” kata Heri sambil tersenyum.
“Lampunya mati ya?” tanya bule yang sudah mahir bahasa Indonesia itu.
“Oh, ini sedang diperbaiki sama tim teknik kami, Pak. Maap atas kendala ini ya.”
“Jangan terlalu lama. Saya harus charging laptop.”
ADVERTISEMENT
“Ya sebentar lagi pasti menyala. Kami punya mesin diesel, jangan khawatir,” Heri berusaha agar si bule itu tidak kecewa.
“Oke, thank you.”
Heri pun beranjak dari hadapan bule itu, ia menuntun kembali lengan Hilda. Si bule heran dengan tingkah Heri yang seolah sendang menuntun seseorang, tapi si bule tidak melihat siapa pun di samping Heri. Bule itu tidak mau ambil pusing, ia lalu menutup pintu kamarnya.
***
Sesampainya di lobi, Heri masih menuntun perempuan itu. Ia terkejut saat melihat Tiara, rekan kerjanya, berdiri di atas meja resepsionis. Mulutnya menganga lebar, tatapannya lurus ke arah pintu masuk hotel, wajahnya seperti sedang melihat sesuatu yang mengerikan di pintu masuk itu. Kedua mata Tiara melotot.
ADVERTISEMENT
“Tiara, lu kenapa?” Heri melepas genggamannya dari lengan hilda, lalu lari ke arah meja Tiara.
Namun, sesaat sebelum Heri tiba di meja kerjanya, tubuh Tiara lunglai. Ia jatuh berdebam ke lantai. Apa sebenarnya yang sudah Tiara lihat?
***
Nantikan cerita horor Hotel Bekas Pembunuhan selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten