part 8 square (1).jpg

Ilmu Begal: Penyergapan (Part 8)

21 Mei 2020 16:54 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilmu Begal. Foto: Masayu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilmu Begal. Foto: Masayu/kumparan
ADVERTISEMENT
“Tuh yang lagi makan namanya Gilang dan satu lagi yang suka ngajak berantem itu namanya Satria,” Ki Bamantara menunjuk ke arah jendela, di sela jarinya ada rokok lintingan yang menyala.
ADVERTISEMENT
“Mereka sudah gila ya, Ki?” tanya Abe.
“Oh nggak, memang sifatnya seperti itu. Kadang baik, kadang liar.”
“Oh, begitu,” Abe mengangguk.
“Ya sudah, istirahat dulu saja. Ngartasih tolong tunjukkan kamar buat tamu kita, ya.”
“Baik, Ki.”
Abe mengikuti Ngartasih dari belakang. Ditunjukkannya sebuah kamar yang dekat dengan pintu dapur. Abe memandangi setiap penjuru ruangan itu, lantainya masih tanah. Tidak ada perabotan apapun kecuali sebuah ranjang kayu beralaskan tikar daun pandan.
“Ini kamarmu,” kata Ngartasih.
“Oh iya, terima kasih ya Nek,” Abe mengambil tasnya lalu masuk ke dalam kamar itu.
Setelah membuka sepatu, ia membaringkan badan di atas tikar pandan. Namun, baru saja Abe memejamkan mata, terdengar suara anak kecil di ruang tamu. Abe bangkit dan mengintip dari lubang dinding bilik. Di luar terlihat Ngartasih sedang mengais anak perempuan yang umurnya sekitar 6 tahunan. Aneh sekali, padahal dari tadi Abe tidak melihat anak itu. Ah mungkin saja tadi anaknya sedang tidur, pikir Abe.
ADVERTISEMENT
Abe kembali ke tempat tidurnya, selang beberapa menit akhirnya ia bisa tidur dengan pulas. Semetara di ruang tamu, Ki Bamantara dan istrinya masih bermain dengan Melati. Mereka terlihat seperti keluarga bahagia, lain halnya dengan pemandangan aneh di luar sana; Abe dan Satria kembali berkelahi satu sama lain, mereka benar-benar seperti binatang.
Entah jam berapa, Abe tergeragap bangun. Ia mendengar suara gaduh di luar rumah. Abe mencoba untuk tidak mempedulikannya dan tidur kembali, tapi suara itu sekarang bercampur dengan teriakan orang minta tolong. Abe bangkit, ia diam sesaat sambil memastikan lagi kalau yang barusan itu benar-benar suara orang meminta tolong.
“Tolong...!” suaranya parau seperti tertahan.
Abe buru-buru keluar kamar, ia mengintip dari balik jendela dengan hati-hati. Di luar sana, Satria sedang menggigit leher Gilang sampai darahnya muncrat, Gilang menggapai-gapai ke arah rumah Ki Bamantara, ia meminta tolong.
ADVERTISEMENT
“Ki? Ki Bamantara?” segera Abe mengetuk pintu kamar si pemilik rumah.
“Ada apa?” Ki Bamantara malah muncul dari dapur.
“Ki, di luar si Gilang mau tewas digigit temannya.”
Ki Bamantara malah santai saja, ia lagi-lagi menghisap rokok lintingan.
“Kamu jangan khawatir dan jangan repot-repot mengurusi mereka,” Ki Bamantara melangkah mendekati jendela, Abe mengikuti dari belakang.
Di luar, Gilang sudah terkapar tewas. Lehernya acak-acakan digerogoti Satria.
“Di... dia tewas, Ki.”
Ki Bamantara tidak menjawab, ia malah balik badan.
“Sudah kamu tidur lagi.”
“Tapi, Ki.”
“Aku bilang tidur!” Ki Bamantara membentak dengan suara yang berbeda, itu seperti suara puluhan orang dalam satu tubuh.
Lalu terdengar cekikikan kuntilanak dari dalam kamar Ki Bamantara. Abe terkejut, kali ini ia tidak berani melawan dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Sebisa mungkin Abe memejamkan matanya untuk kembali tidur.
ADVERTISEMENT
Keesokan paginya, Abe dibangunkan Ngartasih. Sarapan sudah siap, ada sepiring nasi goreng dan rebus singkong di atas meja. Abe menanyakan toilet, Ngartasih menunjuk ke arah dapur.
“Di sana, nanti ada pintu, masuk saja,” kata Ngartasih dengan ramah.
Setelah keluar dari toilet, Abe baru ingat kalau semalam ada yang tewas di depan rumah Ki Bamantara. Segera ia menengoknya ke halaman rumah, di sana Gilang dan Satria duduk di atas tanah sambil memandangi rumah Ki Bamantara.
Leher gilang terluka parah, tapi anehnya dia masih bisa bertahan hidup. Ngartasih keluar, ia membawa sebaskom nasi basi, menaburkannya ke hadapan Gilang dan Satria. Dengan lahap mereka makan sambil sesekali berebut butiran nasi.
ADVERTISEMENT
Pagi pertama di Balangandang, Abe sarapan bersama keluarga Ki Bamantara. Setelah selesai, Ki Bamantara menyuruh Abe untuk bersiap. Ia akan menjalani syarat pertama untuk mendapatkan ilmu begal.
“Kau harus ditanam seleher di pinggir pantai,” kata Ki Bamantara.
Abe menyeringai senang, syarat pertama terdengar sangat mudah.
“Apa pun yang terjadi jangan berteriak,” lanjut ki Bamantara.
“Baik, Ki.”
“Em... kalau boleh tahu berapa lama saya harus ditanam?”
“Sehari semalam,” jawab Ki Bamantara.
Hal itu tidak masalah bagi Abe, ia siap melakukannya.
***
Sementara itu di lain tempat, rumah Abe disergap oleh komplotan polisi yang dipimpin oleh AKBP Ferdi. Mereka berhasil menemukan lokasi rumah Abe, tapi sayangnya orang yang mereka cari tidak ada di rumah. Ada tiga motor bodong hasil begal di rumah Abe, polisi menyitanya. Orang tua Abe pun dibawa ke kantor untuk dimintai keterangan.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana ini, Pak?” tanya salah seorang polisi yang berpakaian lengkap layaknya tim anti teror.
“Kita terus cari dan tangkap Abe!” jawab AKBP Ferdi, matanya tajam. Ia benar-benar ingin membasmi pembegalan sampai ke akar-akarnya.
Nantikan cerita Ilmu Begal selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten