videoblocks-ghost-standing-in-the-doorway-spirit-of-the-girl-in-an-old-scary-house_bejoylglw_thumbnail-full01.png

Kisah Dewi, sang Arwah Penasaran: Aku Bukan Kuntilanak

31 Oktober 2019 19:03 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ilustrasi
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi
ADVERTISEMENT
“Ngomong-ngomong, hantu yang mendiami pohon itu memang kuntilanak," kataku.
“Tidak. Mereka lebih jelek, bau, dan menyeramkan. Baju putihnya kebesaran dan rambut panjang sasak andalannya itu, aku tentu jauh lebih bagus dari mereka,” timpal Dewi, merengut.
ADVERTISEMENT
”Iya. Terserah aja. Lanjut,” jawabku, singkat.
Dewi menyilangkan lengannya di dada. Tampak raut wajahnya sangat kesal.
“Aku bukan kuntilanak. Tapi, pohon rambutan itu memang adem," tuturnya.
Dewi lalu bercerita bahwa sekarang ia punya jarak yang lumayan jauh dari Hanif. Ia tidak bisa mendekati Hanif. Bahkan, jarak lima meter saja sudah membuatnya mau muntah.
Kendati demikian, ia suka dengan perubahan Hanif dari tahun ke tahun. Menurutnya ia semakin terlihat dewasa. Dewi juga bercerita bahwa belakangan ini ia melihat Hanif datang ke masjid tidak sendirian. Terkadang ia menggendong anak laki-laki bertubuh mungil dengan jalan yang masih terseok-seok. Wajah anak itu manis, persis Hanif versi kecil.
"Tapi anak itu menyebalkan. Ia selalu menangis hebat kalau melihatku dari kejauhan. Padahal aku sudah melempar senyum seramah mungkin. Dan gara-gara itu, Hanif memutar ke jalan lain yang tidak bisa aku hampiri,” jelas Dewi.
ADVERTISEMENT
Dewi memulai terisak. Suaranya lirih dan terdengar menyeramkan.
“Aku sadar sekarang aku bukan manusia lagi, Giya. Entah sampai kapan aku terombang-ambing begini. Mungkin sampai ada yang bisa membantuku. Dan, sepertinya aku sedikit berharap kamu bisa,” lanjutnya.
Sejujurnya aku sedikit geli mendengar cerita Dewi. Aku ingin tertawa, tapi sedih juga. Ingin sedih, tapi lucu juga.
“Jadi kamu mau aku bantu apa?”kataku kemudian setelah berhasil menahan rasa ingin tertawa. Tangisan Dewi yang semakin lirih berhasil membuatku sedikit prihatin.
“Tolong temui Hanif! Sampaikankepadanya bahwa aku sayang sekali sama dia. Hanif adalah satu-satunya lelaki yang ada di hatiku, setelah ayahku tentunya," tutur Dewi.
Ia menghentikan percakapannya sebentar. Lanjutnya, "Ia laki-laki yang bisa menyentuh hatiku. Dan, aku ingin meminta maaf, karena tidak sempat pamit sebelum pergi. Aku ingin sekali dia tahu kalau selama delapan tahun ini aku masih menghampiri dia. Dan, ucapkan juga terima kasihku untuk dia. Kuburku akan terasa lapang sekali, karena setiap hari aku mendengar doa dari ibu, ayah, dan juga dari dia."
ilustrasi
Dewi mengungkapkan pada malam tertentu Hanif mengumpulkan teman-teman beserta ayahnya untuk mengirimkan doa khusus untukku. Doa-doa itulah yang selalu menyejukkannya.
ADVERTISEMENT
"Dan, oh, satu lagi. Sampaikan juga bahwa aku tidak enak hati beberapa tahun lalu melihat dia mencium kening seorang perempuan bercadar dan gaun putih berkilap-kilap norak di depan kerumunan orang-orang yang berteriak kencang. Aku kesal," katanya kemudian dengan sedikit agak kesal.
Aku mengempaskan punggung ke sofa, lalu membuang napas panjang.
Dengan hati-hati, aku berusaha menjelaskan kepada Dewi bahwa Hanif sudah menikah dan memiliki anak. Aku pun menjelaskan sulit menjelaskan kepada Hanif ketika tiba-tiba datang dan menyampaikan salam cinta dari kuntilanak.
“Giya, jaga mulutmu! Aku sakit hati mendengarnya,” jawab Dewi. Tangisannya semakin kencang.
“Iya baiklah. Aku akan menyampaikan salam cinta dari bidadari pohon rambutan. Tolong berhenti menangis seperti kebiasaan kuntilanak,” jawabku sedikit menggodanya.
ADVERTISEMENT
“Kuntilanak itu ketawa! Catat!” timpal Dewi, singkat.
Aku tidak bisa menahan tawa mendengarnya. Tingkahnya yang polos membuatku semakin terpingkal-pingkal. Tebersit rasa haru dan mengandaikan jika ia memang masih hidup. Tentu ia bisa jadi teman yang menghibur hari-hariku dengan kepolosannya.
Namun, aku melihat kembali wajah menyeramkan Dewi yang tiba-tiba muncul. Itu seperti wajah jenazah yang baru meninggal, Pucat dan bibir membiru. Aku cukup tahu bahwa itu menandakan Dewi tidak suka dengan caraku menanggapinya.
Aku menghentikan tawaku dan menatap penuh ancaman ke arahnya agar tidak menampakan wajah menyeramkan nya.
Kali ini aku serius. Ini giliranku yang bicara. Aku memintanya untuk mendengarkanku baik-baik.
"Dew, apa enggak ada orang lain yang bisa kamu mintai tolong daerah-daerah sana? Jarak rumahku ke Kediri itu bisa sampai 10 jam naik kereta. Tapi, mungkin bisa saja asal kamu kasih tau alamat lengkap masjid dan pesantren itu. Satu lagi, jangan sekali-kali kamu mencoba membodohi aku seperti hantu-hantu lain!” kataku, serius.
ADVERTISEMENT
***
Senang membaca kisah horor seperti ini, klik tombol subscribe di bawah untuk mendapat notifikasi terbaru setiap ada cerita horor terbaru dari Mbah Ngesot.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten