ilustrasi pohon angker.jpg

Kisah Horor di Pesantren: Akibat Mengencingi Pohon Angker (Part 4)

11 Agustus 2020 15:46 WIB
comment
51
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pohon angker. (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pohon angker. (Foto: Shutter Stock)
ADVERTISEMENT
“Siapa namamu?” tanya ayah Sandi.
“Ba… Basuki, Pak,” jawabku terbata-bata dan masih dalam posisi telentang.
ADVERTISEMENT
“Berdiri,” pintanya.
Kuturuti perintahnya. Ragu-ragu aku berdiri sambil tertunduk. Aku tidak berani menatap wajah ayah Sandi yang mengerikan itu.
“Pegang lenganku!”
Dia menjulurkan lengan kanannya. Perlahan kupegang lengannya itu.
“Ada denyut nadi?” tanyanya.
Aku mengangguk, padahal aku tidak merasakan sedikit pun denyut nadi di pergelangan tangannya.
“Aku masih hidup. Jangan menakut-nakuti temanmu. Kasihan Sandi,” lanjutnya.
“Baik, Pak. Maafkan saya.”
Aku minta maaf. Padahal aku sama sekali tidak merasa bersalah. Dia lalu beranjak dari kamar, sedangkan aku sempat pipis sedikit di celana saking takutnya. Aku tidak akan pernah lupa kejadian mengerikan itu.
Keesokan paginya, aku bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa semalam. Aku juga memaksakan diri untuk makan nasi timbel yang dibawa oleh ayah Sandi semalam. Semua teman-temanku di kamar terheran-heran melihatku yang lahap memakan nasi timbel pemberian si Sandi.
ADVERTISEMENT
“Lu enggak takut, Bas?” tanya Hadi.
“Enggak. Ini makananya enak kok. Lu mau?” kusodorkan nasi timbel itu.
“Enggak. Gua enggak berani. Itu tuh makanan yang dibawa sama orang yang udah….”
“Udah apa?” tiba-tiba Sandi ada di belakang Hadi. Ia menatap Hadi dengan tatapan tajam.
“Udah em… itu udah…,” Hadi salah tingkah.
“Udah menjenguk lu Sandi,” jawabku dengan santai.
“Ya itu maksud gua,” Hadi membenarkan posisi pecinya. Dia masih terlihat gugup sekaligus takut.
“Enak enggak makanannya?” Sandi melirik ke nasi timbel yang sedang aku makan.
“Wah gila sih ini enak banget. Ibumu yang masak ya?”
“Bukan, tapi Ayah yang masak,” jawab Sandi.
“Ueee…,” Hadi malah mual. Itu membuat Sandi seketika melirik ke arahnya.
ADVERTISEMENT
“Maaf, kayaknya gua masuk angin,” Hadi pun pergi ke luar kamar.
Aku tahu pasti dia membayangkan hal menjijikkan pada makanan ini. Apalagi yang memasaknya adalah orang yang sudah meninggal. Sandi masih memperhatikanku yang sedang makan.
“Ma…, mau ikut makan?” tanyaku ragu-ragu.
“Enggak,” jawabnya singkat.
***
Di belakang gedung kamarku, ada sebuah pohon kedongdong yang katanya angker. Menurut cerita yang beredar dari mulut ke mulut, katanya pohon itu tidak mempan ditebang. Pihak pondok sudah berkali-kali mencoba untuk menebang pohon itu, tapi batangnya sangat keras dan tidak mempan oleh alat apa pun. Sampai saat ini pohon itu masih tumbuh subur di belakang gedung kamarku.
Ada juga orang yang bilang kalau pohon itu dihuni kuntilanak. Aku juga mendengar pengakuan dari beberapa santri yang pernah ditertawakan kuntilanak penghuni pohon kedondong. Semua santri takut pada pohon itu, terkecuali Reno. Dia memang santri yang bebal dan sok tahu.
ADVERTISEMENT
Suatu sore setelah selesai olahraga, aku, Hadi, dan Reno nongkrong di belakang gedung sambil minum es jeruk yang kami buat sendiri. Tiba-tiba Reno melirik pohon kedongdong yang tak jauh dari tempat kami nongkrong.
“Kalian percaya sama keangkeran pohon itu?” tunjuk Reno ke arah pohon.
“Iya lah, udah jangan diomongin nanti penunggunya dengar,” kata Hadi.
“Kalian semua tertipu. Kalian tahu, gua sering lihat Mang Jasim, tukang bangunan pondok ini, ngambil buah kedondong di pohon ini. Isu tentang pohon anger itu pasti hanya akal-akalannya Mang Jasim saja agar tidak ada santri yang berani memakan buahnya. Buah itu pasti dia jual ke pasar.”
“Masa sih, Ren?” aku mengerutkan dahi.
ADVERTISEMENT
“Kalian enggak percaya? Nih gua buktikan ya,” Reno memelorotkan celananya kolornya.
“Eh… eh… Ren! Mau ngapain lu?”
Dia kencingi pohon kedongdong itu, aku dan Hadi terkejut melihat perilaku Reno.
“Gila lu, Ren,” Hadi menggelengkan kepala.
“Jangan bawa-bawa gua ya. Lu yang kencing sendiri dan gua nggak mau ikut ketulah,” sergahku pada Reno.
“Sama, Ren. Gua juga enggak mau kena batunya nanti,” Hadi sependapat denganku.
“Halah, kalian itu dimakan sama mitos dan kebohongan. Lihat saja, gua masih baik-baik aja, kan?” Reno tersenyum, gayanya tengil sekali.
Tidak butuh waktu lama bagi Reno untuk merasakan akibat dari perbuatannya itu. Setelah tadi sore mengencingi pohon angker, malamnya Reno berteriak kesakitan. Kelaminnya membengkak. Ia bahkan menangis karena tidak kuat menahan rasa sakit.
ADVERTISEMENT
Kami lalu membawanya ke puskesmas pesantren. Namun, rasa sakitnya tidak kunjung sembuh. Dia berteriak sambil meminta ampun pada penghuni pohon kedongdong itu.
“Emangnya kamu ngapain di pohon itu?” tanya petugas puskesmas.
“Kencing, Bu. Dia kencing di pohon itu,” aku yang menjawab karena Reno tak berhenti berteriak kesakitan.
“Aduh kayak kebakar nih, tolong!” Reno terus menceracau.
“Coba panggil si Sandi,” pintaku pada Hadi.
Tidak lama kemudian, Sandi muncul. Dia melihat kondisi Reno lalu menggelengkan kepala.
“Enggak bisa ini. Aku enggak bisa tolong dia,” katanya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Penunggu pohon itu sangat marah,” jawab sandi lagi.
Reno pun harus dirawat di puskesma pesantren itu. Keesokan paginya, kelamin Reno semakin parah, membengkak, dan memerah seperti mau meledak. Di saat seperti itu, untung saja ada Ustaz Didi yang datang menjenguknya.
ADVERTISEMENT
“Tolong ambilkan air putih,” pinta Ustaz Didi, dia menyibakkan sarung Reno.
Air itu dibacakan doa-doa oleh Ustaz Didi lalu disemburkannya air tersebut pada kelamin Reno.
“Lain kali jangan gegabah, Ren.”
Kata Ustaz Didi, ia lalu menutup kembali sarungnya Reno. Beberapa hari kemudian, Reno akhirnya sembuh. Dia tidak berani lagi mempermainkan pohon kedongdong itu. Bahkan, Reno tidak mau lagi diajak nongkrong bareng di sana.
***
Di belakang pondokku, ada sebuah sungai besar. Kalau musim hujan, airnya akan naik sampai masuk ke komples pondok. Sungai itu terkenal dengan jembatannya yang angker. Namanya jembatan Cimuning, aku pernah mendengar cerita dari salah satu santri tentang keangkeran jembatan itu.
ADVERTISEMENT
Dulu, menjelang magrib ada seorang pedagang cilok yang hendak pulang ke kampungnya yang berada di seberang sungai. Namun, di tengah-tengah jembatan itu, tiba-tiba muncul sekawanan anak kecil dari semak-semak. Mereka menghampiri pedagang cilok itu sambil membawa uang sepuluh ribuan.
“Mang beli, mang!”
Ada sepuluh orang anak yang mengerumuni si pedagang cilok. Jelas saja hal itu membuatnya senang lantaran dagangnya akan laris. Ia pun berhenti di tengah-tengah jembatan untuk melayani pelanggannya.
Setelah semua anak mendapatkan cilok, mereka berlarian kembali ke tepi jembatan. Selang beberapa saat, uang yang diterima si pedagang cilok berubah jadi daun kering.
Si pedagang cilok terkejut melihat tumpukan daun di lacinya. Lalu dari ujung jembatan tampak anak-anak kecil itu muncul lagi. Kali ini wajah mereka penuh dengan darah dan mulutnya juga bertaring. Bajunya kumal, kedua matanya merah menyala. Mereka membawa lembaran daun, menghampiri si pedagang cilok.
ADVERTISEMENT
“Mang beli lagi, mang!” teriak anak-anak kecil itu membuat pedagang cilok lari terbirit-birit.
***
Cerita tentang keangkeran jembatan itu memang sudah melegenda. Yang aku heran adalah, akhir-akhir ini si Sandi sering mendatangi jembatan itu tanpa sepengetahuan pengurus pondok.
Usai magrib, para santri pergi ke beranda kamar masing-masing untuk mengaji Alquran. Tapi, si Sandi malah pergi ke jembatan itu. Karena penasaran, aku dan Hadi mengikuti dia dari belakang. Sepanjang perjalanan si Sandi tampak mengobrol sendirian, seperti ada makhluk halus yang menemaninya.
Akhirnya kami tiba di ujung jembatan Cimuning. Sandi duduk di ujung jembatan itu, ia seperti sedang menunggu seseorang. Aku dan Hadi bersembunyi di balik pepohonan. Tak lama kemudian, Sandi tersenyum seperti melihat kedatangan seseorang yang ditunggunya.
ADVERTISEMENT
“Hadi lu dengar itu?” bisikku.
“Iya, ada yang bersiul,” jawab Hadi.
“Di, lihat itu!” tunjukku.
Apa yang kami lihat benar-benar membuat kami terkejut sekaligus merinding. Sandi memang tidak seharusnya ada di pondok pesantren ini. Dia tidak sama seperti kami, atau mungkin dia bukan manusia seperti kami.
___
Nantikan cerita horor selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten