Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
![piqsels.com-id-zbbqb.jpg](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_1280/v1593421740/rypfwnuhjq7uje39uac5.jpg)
![Ilustrasi cerita Kisah Horor di Pesantren. Foto: Piqsels](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1593421740/rypfwnuhjq7uje39uac5.jpg)
ADVERTISEMENT
Semenjak kejadian itu, aku tidak mau lagi pergi ke toilet tersebut. Sebagai penggantinya, aku selalu menggunakan toilet gedung sebelah. Cerita tentang hantu tanpa kepala menyebar luas ke semua santri, mereka bahkan menamai setan itu dengan sebutan Siti Migrofah.
ADVERTISEMENT
Hanya segelintir orang yang percaya akan ceritaku. Banyak santri yang menganggap kalau itu cerita fiktif belaka yang aku jadikan alasan untuk berhenti mondok. Saat Ibu dan Bapak menjengukku, kuceritakan semua kejadian itu. Anehnya mereka malah tertawa.
“Hantu migrofah? Hahaha…, bagus itu. Jadi kamu bisa terus ingat kosakata migrofah. Hantu itu bantu hafalanmu!” kata Bapak.
“Iya Pak benar juga. Seharusnya kamu berterima kasih sama hantu itu,” tambah Ibu.
Siang itu kami sedang makan bersama di sebuah saung tempat para orangtua menjenguk anaknya.
“Ini serius Bu… ada hantu di pondok ini.”
“Hantu itu ada di mana-mana, Bas. Kita ini berdampingan hidup dengan mereka. Jangan takut, kita makhluk paling mulia di muka bumi,” Ibu menjawabnya dengan santai.
ADVERTISEMENT
“Aku mau berhenti mondok aja, Bu.”
Bapak malah tertawa lagi, “Tuh kan Bu, ujung-ujungnya minta berhenti.”
“Boleh-boleh,” Ibu mengangguk tangannya sibuk mengupas kulit jeruk.
“Serius boleh, Bu?” jelas saja aku sumringah.
“Tapi setelah enam tahun,” kata Ibu, disambut tawa Bapak yang terbahak-bahak.
Aku pun kembali menampakkan wajah murung.
“Aku serius, Bu.”
“Ya, Ibu juga serius. Kamu nggak boleh berhenti mondok. Belajar ilmu agama di sini.”
“Iya Bas. Jangan berhenti mondok. Bapak mau kamu pintar ilmu agamanya, biar nanti bisa mendoakan Bapak sama Ibu kalau udah nggak ada. Kau tahu Bas? Punya anak soleh itu adalah amal kebaikan yang pahalanya nggak akan pernah putus bagi kedua orangtuanya.”
Mendengar penjelasan Bapak, aku pun tertunduk. Apa boleh buat, aku harus tetap melanjutkan perjalananku di pondok ini. Setelah selesai menjenguk, kuantar Ibu dan Bapak sampai ke gerbang pondok. Sesaat sebelum mereka pergi, Bapak berkata padaku.
ADVERTISEMENT
“Jadilah anak soleh, Bas,” kata Bapak sambil tersenyum.
***
Setiap malam Ustazah Laila sering mengaji Al-Quran tanpa spiker di masjid pondok. Beliau memang salah satu ustazah yang sangat rajin. Malam itu aku izin ke ketua kamarku untuk mencuci pakaian di toilet masjid. Dia selalu mengizinkanku asal jangan terlalu larut malam.
Kebetulan saat itu tidak banyak pakaian yang aku cuci, hanya dua buah celana dan satu baju. Dari dalam masjid terdengar suara merdu Ustazah Laila, aku suka mendengar beliau mengaji tengah malam seperti ini, membuat suasana jadi hangat.
Selesai mencuci, kubawa pakaianku ke belakang gedung. Namun di tengah perjalanan, aku bertemu dengan seorang wanita yang berjalan dengan santai sambil membawa Al-Quran.
ADVERTISEMENT
“Kebiasaan kamu nyuci baju malam-malam begini, Bas,” itu jelas sekali Ustazah Laila.
“Ustazah. Bukannya tadi lagi ngaji ya di masjid?”
“Orang saya baru mau ngaji, udah sana cepat tidur udah malam besok harus sekolah,” suruh beliau.
“Ustazah, sumpah tadi aku dengar suara ustazah lagi ngaji di masjid.”
Lalu suara itu terdengar kembali, itu suara Ustazah Laila sedang membaca surat Al-ikhlas. Suara itu bahkan terdengar sangat keras, terkesan membentak-bentak.
“Tuh…, itu suara ustazah,” kuletakkan ember yang berisi pakaian. Wajahku kebingungan.
Ustazah Laila mengerutkan dahi, ia mendengarkan suara itu dengan seksama.
“Astagfirullah…,” katanya, ia lalu menghampiri sumber suara tesebut.
Aku penasaran dan mengikutinya dari belakang.
Dia masuk ke dalam masjid lalu menyibakkan tirai pembatas barisan lelaki dan perempuan. Suara perempuan mengaji masih tedengar keras memenuhi ruangan masjid. Tapi tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Walau pun aku dan ustazah sudah masuk ke dalam masjid, suara itu tak mau berhenti.
ADVERTISEMENT
“Basuki, cepat pulang ke kamarmu,” pinta Ustazah Laila.
Malam itu benar-benar sangat menakutkan.
***
“Jin itu ada yang jahat ada juga yang baik. Sebagian dari jin juga ada yang muslim. Ya bisa jadi apa yang kau dengar di masjid itu adalah jin muslim. Jadi janganlah takut,” aku menceritakan kejadian semalam pada Ustaz Didi. Dan dia menanggapinya dengan santai.
"Kamu jangan khawatir, jin itu tidak akan ganggu lagi."
"Dari mana ustaz tahu kalau dia nggak akan ganggu lagi?"
"Nanti malam ustaz bicara sama jin itu," katanya.
Aku terkagum-kagum mendengar pernyataan Ustaz Didi. Dia memang terkenal sebagai ustaz yang sakti.
Itu baru segelintir kisah mengerikan yang pernah kualami di pondok. Yang paling aku ingat adalah tentang si Sandi. Dia adalah temanku satu kamar. Asalnya dari Tangerang, dia anak yang misterius, pendiam, dan punya tatapan yang mengerikan. Nanti akan kuceritakan tentang anak menakutkan itu, dan bagaimana dia menjadi penyabab kesurupan masal.
ADVERTISEMENT
***
Nantikan cerita Kisah Horor di Pesantren selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: