maxresdefault (8).jpg

Kisah Kesurupan Massal: Pantangan-pantangan Aneh

7 November 2019 19:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi
ADVERTISEMENT
Kami melewati jembatan sederhana yang terbuat dari ikatan bambu, di bawahnya mengalir seperti sungai kecil dengan air yang jernih. Makin masuk ke dalam entah kenapa aku makin merinding. Bukan apa-apa, aku ini takut akan gelap. Entah, kegelapan membuat perasaan ku tidak enak.
ADVERTISEMENT
Untung saja ini masih ada matahari yang menembus lewat sela-sela pepohonan, aku tidak bisa membayangkan jika sudah larut malam. Yuni tampaknya tidak khawatir, rasa sakit di perutnya di perjalanan tadi sepertinya sudah hilang dan sekarang wajahnya tampak ceria dan bersemangat sekali, seperti biasa.
Setelah sekitar lima belas menit kami masuk ke dalam melewati jalanan yang menurutku menyeramkan tadi, akhirnya kami semua sampai di sebuah halaman petak luas dengan pondok-pondok kayu di sekitarnya, dengan satu aula berbentuk panggung kayu lengkap dengan gamelan dan angklung disudutnya.
Ternyata pondok-pondok kayu yang aku lihat adalah kamar-kamar yang akan kita tempati. Aku memperhatikan sekeliling tempat itu. Ada rasa sedikit cemas, karena tempat itu benar-benar di kerumuni oleh pepohonan rimbun, dengan batang-batang pohon besar yang sudah tua. Aku tidak begitu khawatir ketika pemandu bilang bahwa listrik dan air sudah terpenuhi sampai sini, namun ada sedikit ragu muncul ketika ia bilang bahwa kita, perempuan, tidak di perkenankan menyemprot minyak wangi selama berada di daerah ini.
ADVERTISEMENT
Bisa bayangkan, tiga hari tanpa minyak wangi? Astaga. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi aku rasa Yuni juga rada sebal mendengarnya. Katanya, memang itu mitos yang harus kita hormati. Dan aku mengikuti saja peraturan yang ada di sini, meskipun benar apa kata sanggahan Yuni, tidak masuk akal.
Sementara itu kami berbenah dan mengikuti kegiatan sesuai dengan yang dijadwalkan, suara besar generator listrik sudah mulai terdengar keras pertanda matahari sudah mulai terbenam. Kami semua makan malam dengan lauk seadanya sambil berbincang-bincang, “Yun, nanti temenin aku mandi ya. Apa kita mandi bareng aja gitu.”
Aku merasa badanku sudah mulai agak lengket dan butuh mandi, namun melihat posisi kamar mandi ada di belakang aula panggung yang lampunya lumayan redup, aku rasa aku butuh seorang teman.
ADVERTISEMENT
ilustrasi
“Tenang, nanti aku temani. Soalnya aku kan lagi dapet juga Lin, gak enak tau. Udah bisa mandi belum sih?” teman-teman yang lain menyahut, mengatakan bahwa habis selesai makan dan solat, diberikan waktu sekitar lima belas menit untuk mandi sebelum kegiatan malam selanjutnya dimulai.
Sebenarnya di malam pertama semua berjalan dengan baik. Namun di malam kedua, aku benar-benar sudah merasa ingin pulang. Bermula ketika aku masuk kamar mandi, aku merasa seperti ada sepasang mata melihat dari celah-celah dinding kayu di atas sana.
Aku berteriak dan menolak untuk mandi. Yuni dan teman-temanku bersikeras berkata bahwa tidak ada apapun di sana. Tidak mungkin ada yang bisa mengintip, sementara tembok kamar mandi setinggi hampir tiga meter. Tapi aku jelas sekali melihat ada sepasang mata, berwarna kuning cerah, seperti mata kucing yang bersinar di malam hari. Yuni menunjukkan bahwa tidak ada yang terjadi dengannya setelah mandi di sana ketika aku menolak untuk mandi malam itu.
ADVERTISEMENT
Pukul 02.15, lima belas menit setelah acara di malam kedua selesai, aku beristirahat sambil berusaha merapatkan mata. Suara tetesan gerimis kecil dan jangkrik bersahutan dengan suara hewan-hewan hutan yang lain, membuat tidurku malam ini semakin tidak tenang.
***
Senang membaca kisah horor seperti ini, klik tombol subscribe di bawah untuk mendapat notifikasi setiap ada cerita horor terbaru dari Mbah Ngesot.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten