Mbah Ngesot

Kos Seberang Saidah: Perempuan Berpiama Ungu (Part 5)

14 Desember 2019 13:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perempuan Berpiama Ungu Foto: Masayu Antarnusa
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan Berpiama Ungu Foto: Masayu Antarnusa
ADVERTISEMENT
“Nak Dani,” ia memanggilku sambil terus mendekat.
Aku tidak menjawab dan tetap bergeming.
ADVERTISEMENT
“Lain kali jangan bawa jimat lagi ya,” katanya, masih dengan nada yang ramah. Logat jawa dari ucapannya terdengar begitu kental.
Langkahnya menjauh. Sepertinya Bu Ratih sudah pergi. Segera aku cek beranda kamar kos nomor enam. Aroma daun pandan masih ada. Tapi, tidak kutemukan satu lembar pun daun itu.
Sesaat sebelum akan kembali ke kamar, mataku menangkap seorang perempuan berpiama ungu tengah berdiri di halaman gedung kosan. Ekspresi wajahnya datar. Rambutnya sebahu dibiarkan tergerai. Ia tampak tidak mengenakan alas kaki.
Perempuan itu mendongak dan menatap tajam ke arahku. Tidak salah lagi dia pasti perempuan yang meminta tolong semalam. Tapi, siapa sebenarnya perempuan itu? Kenapa dia ada di sini?
Dia masih berdiri menatapku dengan ekspresi wajah datar. Dari wajahnya aku perkirakan dia berumur kisaran baru delapan belas atau sembilan belas tahun. Selang beberapa menit, tiba-tiba dia balik badan dan lari begitu saja ke arah menara Saidah.
ADVERTISEMENT
"Aku harus mencari tahu siapa wanita itu," gumamku.
Hari berikutnya, sepulang kantor, aku bertemu dengan perempuan itu di emperan toko yang sudah tutup di dekat menara Saidah. Ia sedang makan nasi bungkus. Sepertinya perempuan itu merupakan seorang tunawisma alias gelandangan. Kuparkirkan motor dan segera menghampirinya.
“Hai! Semalam kamu ke kosan aku, ya?”
Tidak ada jawaban. Dia tetap sibuk makan dengan lahap. Tatap matanya kosong.
“Aku Dani anak kosnya Bu Ratih. Kamu dari mana?” Tanyaku lagi.
“Eh Mas... Mas... dia itu orang gila. Enggak akan nyambung kalau diajak ngomong,” tiba-tiba ada seseorang yang menegurku. Aku menoleh ke kanan ternyata tukang jamu gendong. Dia mendekat kepadaku.
“Mau jamu nggak, Mas?”
“Oh, boleh deh.”
ADVERTISEMENT
Ditodong seperti itu membuatku enggan untuk menolak.
“Dia udah lumayan lama tinggal di emperan toko ini, Mas. Saya yang suka ngasih dia makan sama pakaian baru. Soalnya dulu ibunya adalah teman saya, penjual jamu gendong juga.”
Tanpa diminta, tukang jamu itu bercerita sendiri. Tangannya begitu cekatan meracik jamu untukku.
“Oh begitu ya, Mbak. Siapa namanya, Mbak?”
“Raina, Mas,” jawabnya, sembari menyodorkan segelas jamu.
“Raina dan ibunya adalah perantauan dari Jawa Timur. Mereka dulu ngekos di sekitaran sini, Mas.”
“Begitu ya, Mbak.” Timpalku sambil meminum jamu.
Aku mengerutkan wajah menahan rasa pahit. Segera tukang jamu itu menyodorkan air perasan jeruk.
“Terus ibunya ke mana sekarang, Mbak.”
ADVERTISEMENT
“Nah itu, Mas. Sampai sekarang saya enggak tahu ke mana ibunya. Tiba-tiba hilang gitu aja sampai Raina stres nyari-nyari ibunya.”
Aku terdiam sejenak bertanya-tanya apakah Raina pernah tinggal di kosnya Bu Ratih. Kulihat Raina sudah selesai menyantap makanannya. Ia mengigit ujung plastik berisi air teh, lalu meminumnya perlahan.
Dia sesekali mencuri pandang ke arahku dengan ragu-ragu. Ada sedikit ketakutan terlihat di raut wajahnya. Setelah selesai membayar jamu, aku langsung pamit pulang. Aku akan menanyakan perihal Raina ke Bu Ratih. Semoga saja dia dapat memberi informasi lebih lanjut tentang wanita itu.
___
Nantikan cerita Kos Seberang Saidah selanjutnya. Biar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten