

ADVERTISEMENT
"Mira jangan melamun. Ini di gunung, bahaya," Riki menyadarkan Mira.
ADVERTISEMENT
"Tapi, jelas-jelas tadi gua lihat Ayah ada di sana," ia menunjuk ke arah semak-semak.
"Udah Mir. Kita jalan lagi aja. Itu pasti cuma halusinasi lu," kataku.
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah pendakian, Mira minta istirahat dulu sejenak. Napasnya terengah-engah, wajahnya sangat berkeringat.
Aku duduk di atas batu besar sambil menikmati pemandangan yang menyejukkan. Ada batang-batang pohon besar dan suara burung bersahutan dengan monyet. Gunung Pulosari memang mejadi habitat nyaman bagi koloni monyet. Di sepanjang perjalanan tadi, aku selalu melihat monyet bergelantungan di dahan pohon.
Selesai istirahat, Riki mengajak kami kembali melanjutkan perjalanan. Ia membagikan tongkat kayu yang baru saja ia buat sendiri. Tongkat itu berguna untuk membantu pendakian.
ADVERTISEMENT
"Kira-kira berapa jam lagi kita sampai ke Curug Putri?" tanyaku.
"Udah deket, kok. Sebentar lagi juga sampai," jawab Riki.
"Ayo lanjut jalan. Kita pasti bisa!" Eldi memberi semangat.
Tidak sampai setengah jam akhirnya kami tiba di Curug Putri. Air terjun itu tidak terlalu tinggi, airnya pun tidak deras. Ini terbilang air terjun kecil, biasa digunakan para pendaki untuk sekadar cuci muka atau mengisi botol air minum mereka. Kedalaman airnya hanya sebetis, jadi tidak akan membahayakan para pendaki.
Saat kami tiba di Curug Putri, suasana di sana sedang sepi. Mungkin para pendaki lainnya sudah melanjutkan perjalanan menuju kawah. Hanya ada seorang anak lelaki kurus yang umurnya mungkin saja baru belasan tahun. Dia membawa botol-botol kosong dan mengisinya dengan air Curug Ciputri.
ADVERTISEMENT
"Itu pedagang air minum. Dia akan membawa botol yang sudah diisi air ke kawah untuk dijual ke para pendaki," kata Riki sambil menunjuk ke arah anak itu.
Kami semua mencicipi air Curug Ciputri, terasa sangat segar. Aku belum pernah meminum air sesegar itu. Eldi dan Mira main air, mereka saling guyur satu sama lain, sedangkan Riki sibuk mengambil gambar menggunakan kamera HP-nya.
"Mira hati-hati," kulihat ia terpeleset dan jatuh ke air. Kulihat celananya basah kuyup.
"Sayang jahat ih," kata Mira pada Eldi.
Bukannnya minta maaf, Eldi malah tertawa.
"Mir...," aku terkejut dengan apa yang kulihat.
"Iya Ri?"
"Lu mens?" tanyaku. Ada darah mengalir di permukaan air.
ADVERTISEMENT
"Astaga! Gua nggak sadar kalau mens, tadi nggak kok," Mira bangun, ia sangat panik."
"Gimana ini Rik?" tanya Eldi.
Riki menggaruk kepalanya sendiri. Dia turun ke dalam air lalu mengaduk-aduk darah yang mengalir perlahan di permukaan air agar gumpalan darah itu hilang.
"Sudah nggak apa-apa. Yang penting banyak berdoa aja," kata Riki. Ia lalu menyuruh kami melanjutkan perjalanan ke kawah.
Sesaat sebelum kami meninggalkan Curug Putri, terdengar suara raungan dari langit. Entah suara apa itu, disambut angin yang berembus kencang menerpa pepohonan. Kami semua menutup mata karena banyak daun kering dan debu yang beterbangan.
Dan saat kembali membuka mata, Mira menghilang entah ke mana.
Kami panik lalu turun kembali ke Curug Ciputri, memanggil-manggil Mira.
ADVERTISEMENT
"Rik! Mira ke mana Rik!" Eldi menarik baju Riki.
"Gimana ini Riki?" lanjutnya tanpa memberi kesempatan Riki untuk bicara.
"Ada apa ini?" seorang lelaki tua muncul dari jalan setapak, ia mengenakan baju hitam dan celana hitam semata kaki, ia juga mengenakan blankon.
"Pak pacar saya hilang, Pak," Eldi menghampiri lelaki itu.
"Siapa itu, Rik?" tanyaku.
"Dia Pak Jaro, kuncen gunung ini," jawabnya sambil menghampiri lelaki tua itu. Riki lalu menyalaminya.
"Memangnya apa yang udah pacarmu lakukan di Curug ini?" tanyanya.
Eldi langsung menjelaskan kejadiannya. Pak Jaro menggeleng-gelengkan kepala.
Ia berjalan mendekati air terjun, di hadapan air terjun itu ia berdiri sambil mengacungkan kedua tangannya ke langit. Entah apa yang sedang dilakukannya. Tidak lama kemudian dia menghampiri kami kembali.
ADVERTISEMENT
"Teman kalian baik-baik saja. Dia melakukan kesalahan fatal, ada ritual yang harus kalian lakukan kalau mau dia kembali."
"Apa itu, Pak?" tanya Eldi.
"Kalau mau mari ikut aku," dia melangkah ke arah jalan setapak menuju kawah. Kami mengikutinya dari belakang.
"Apa dia bisa dipercaya?" aku berbisik di telinga Riki.
"Tenang saja, dia orang baik. Dia juru kunci gunung ini," Riki membetulkan posisi kacamatanya, lengannya menepuk pundakku. Ia mencoba menenangkan kepanikan.
Aku tidak tahu ke mana Pak Jaro akan membawa kami, kata Riki ini bukan lagi jalur menuju kawah. Pak Jaro harus menebas rerumputan liar yang menghalangi jalan. Semakin masuk ke dalam hutan, semakin terasa menakutkan.
Nantikan cerita Kualat Gunung Pulosari selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
ADVERTISEMENT