Ilustrasi cerita horor Kualat Gunung Pulosari

Kualat Gunung Pulosari: Di Gunung Sendiri (Part 8)

10 Juni 2020 15:28 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cerita horor Kualat Gunung Pulosari Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita horor Kualat Gunung Pulosari Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
ADVERTISEMENT
Pintu didobrak paksa. Abah Sarta melihatku dengan tatapan ngeri, tangan kirinya memegang sebuah arit. Dadanya turun naik, ia mengarahkan arit itu padaku. Jelas saja aku panik, ada apa ini? Kenapa dia sepertinya ingin membunuhku?
ADVERTISEMENT
“Pergi dari sini!” bentaknya sambil menebaskan arit pada daun pintu.
“Baik, Bah. Ampun!” dengan cepat kuambil tas ransel dan senterku, mengenakan kembali sepatuku lalu pergi dari rumah itu.
Langit masih gelap, udara dingin membuatku menggigil, di langit bola api masih melayang mengikutiku. Aku lari sekuat tenaga demi menjauh dari Abah Sarta yang marah dan hendak membunuhku. Di tengah jalan seseorang menghentikanku, itu nenek Sapinah.
“Pe... pegang. Ya... ya... hati... hati...,” dia memberiku keris kecil yang ukurannya hanya sejari telunjuk saja.
“Apa ini, Nek?” tanyaku.
Belum sempat ia menjawab, Abah Sarta dari kejauhan meneriakiku agar segera pergi.
“Kubunuh kau!” ancamnya, ia berdiri di depan pintu rumah sambil mengacungkan arit.
ADVERTISEMENT
Segera kukantongi keris kecil itu lalu pergi dari hadapan nenek Sapinah. Aku tidak tahu ke mana arah langkahku sekarang, dari jauh terdengar suara geledek bergemuruh diiringi kilatan cahaya di langit. Tampaknya memang akan hujan. Aku semakin menjauh dari rumah Abah Sarta.
Keris ini? Apa gunanya? Aku berhenti di bawah batang pohon besar, kuperhatikan keris pemberian nenek Sapinah. Kerisnya sangat unik, ada ukiran bertuliskan bahasa Arab di permukaan keris itu. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Tak lama kemudian, hujan turun dengan sangat deras. Aku membaringkan diri di antar akar-akar pohon besar itu, tapi tetap saja tubuhku basah kuyup.
Tubuhku menggigil, gigiku bergetar, perutku lapar tidak tertahankan. Sendiri di hutan seperti ini, membuatku ragu akan kemampuanku sendiri. Aku mungkin tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama lagi di gunung ini.
ADVERTISEMENT
Di langit, walau hujan deras, bola api sialan itu tidak padam dan masih mengikutiku. Aku bangun lalu mendongak ke arah bola api itu sambil mengarahkan cahaya senter. Aku sangat kesal karena terus-terusan diikutinya.
“Bangsat lu! Sini kalau berani lawan gua!”
“Woi! Sini lu!” teriakku sambil menggigil kedinginan. Kalau memang aku harus mati, matilah sekarang agar penderitaanku berakhir.
Sesaat kemudian, ada sesuatu yang menabrakku dari belakang. Tubuhku terpelanting, senterku jatuh ke semak-semak, aku meringis kesakitan. Tubuhku terasa remuk, kuperhatikan objek yang barusan menabrak tubuhku. Objek itu terlihat samar, kuraih kembali senterku lalu mengarahkan cahayanya ke objek tersebut. Itu ternyata babi hutan.
Saat hendak bangun kembali, ternyata betisku sobek. Pasti karena hantaman taring babi itu. Ia mendengkur, matanya merah, tubuhnya sebesar anak kerbau. Aku tidak akan bisa lari dari babi itu. Tidak ada pilihan kecuali melawannya.
ADVERTISEMENT
Babi itu lari dengan cepat ke arahku, kurogoh sebuah pisau kecil dari kantong ransel. Tubuhku diseruduk sampai terseret beberapa meter kebelakang, kupegang erat-erat kepala babi itu lalu menebaskan pisau ke punggungnya. Babi melenguh, ia menggibaskan kepalanya membuat tubuku terpental jauh hingga membentur batang pohon.
Kulit babi itu terlalu keras, pisauku hanya bisa memberi luka kecil di punggungnya. Darah mengalir dari punggung babi itu, tapi dia sepertinya tidak menyerah untuk kembali menyerangku. Dengan dengkurannya yang mengerikan, dia lagi-lagi berlari ke arahku.
Aku melompat dan berhasil menangkap tubuhnya. Babi itu mengamuk, ia lari sembarang arah, sedangkan aku berpegangan erat di atas punggungnya. Kutusuk punggungnya berkali-kali dengan pisau, tapi pisauku malah patah. Tanganku refleks merogoh keris kecil dari dalam kantong celana. Maksudku, ingin kutusukkan keris itu ke mata si babi, biar dia tewas.
ADVERTISEMENT
Ajaibnya, baru saja kuarahkan keris itu ke kepala babi, tiba-tiba tubuhku terpental. Babi itu juga tersungkur ke semak-sema, ia mati begitu saja. Napasku terengah-engah, aku menoleh ke arah kanan. Di antara derasnya tetesan hujan, ada seorang wanita berpakaian seperti puteri kerajaan berdiri di depan pohon besar. Aku masih ingat wajahnya, dia wanita yang berbicara dengan Abah Sarta.
“Apa maumu?!”
“Bangsat! Keluarkan aku dari gunung ini!”
Dengan sisa tenaga yang ada, aku lari ke arah wanita itu, mencoba untuk menyerangnya dengan keris kecil. Yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar perkiraanku. Seharusnya aku tidak menyerang wanita itu.
***
Nantikan cerita Kualat Gunung Pulosari selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten