Part 9-Square.jpg

Kualat Gunung Pulosari: Gubuk Tua (Part 9)

11 Juni 2020 13:02 WIB
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cerita horor Kualat Gunung Pulosari bagian Gubuk Tua. Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita horor Kualat Gunung Pulosari bagian Gubuk Tua. Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
ADVERTISEMENT
Aku terkejut saat sosok wanita itu berubah menjadi Riki. Kerisku telanjur menusuk tenggorokannya. Mata Riki melotot, kaca matanya jatuh. Kedua tangannya bergetar seperti kecoa yang sedang sekarat.
ADVERTISEMENT
Kucabut kembali keris yang panjangnya hanya setelunjuk orang dewasa itu. Darah muncrat dari lubang dari bekas tancapan keris. Aku berteriak sambil menahan tubuh Riki yang lunglai.
Rik! Rik! Riki!”
Kututup luka yang masih terus mengeluarkan darah dengan sapu tanganku. Ia sekarat. Matanya menatapku seperti ada hal yang ingin ia ucapkan, tapi tertahan di tenggorokannya.
“Ma... maafin gua, Ri. Pu... pu... pulanglah,” katanya.
Sesaat kemudian kedua matanya terkatup. Aku tidak lagi merasakan detak jantungnya. Aku menangis. Rasanya ingin sekali aku bunuh diri saja saat itu juga. Tidak sanggup lagi aku bertahan di gunung seperti ini. Kejadian demi kejadian yang aku alami semakin aneh dan tragis.
Hujan tidak kunjung reda. Aku bangkit lalu merogoh sebuah tali dari dalam tas ranselku. Kuikatkan tali itu ke tubuh Riki. Aku harus membawa pulang jasad Riki.
ADVERTISEMENT
***
Dua hari berlalu. Aku seperti berputar-putar saja di kawasan gunung ini. Selama dua hari ini, aku makan belalang panggang. Koloni belalang itu kutemukan di tengah perjalananku. Yang menjadi masalah saat ini adalah jasad Riki yang semakin membusuk. Tubuhnya mengeluarkan bau yang begitu menyengat.
Aku berhenti di tengah jalan setapak. Aku rogoh botol air minum dari dalam tas, yang sempat kuisi saat turun hujan. Aku meneguk air itu. Aku menoleh ke jasad Riki. Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin aku bisa membawanya pulang. Menguburkan jasad Riki bisa jadi jalan terbaik.
Kulepaskan tali yang mengikat tubuhnya. Aku lalu mencari permukaan tanah yang lembap sehingga mudah untuk digali. Dengan susah payah, aku menggali tanah itu menggunakan sebuah batang kayu sebesar lengan orang dewasa yang telah kuruncingkan ujung kayunya.
ADVERTISEMENT
Aku tidak mampu menggali tanah itu terlalu dalam. Asal bisa menimbun jasad Riki itu sudah cukup. Setelah berhasil menguburkannya, kutancapkan batang kayu tersebut sebagai penanda kuburannya. Kamudian, aku berdoa untuk Riki.
***
Malam kembali jatuh. Aku masih menyusuri jalan setapak yang seolah tidak berujung. Mira dan Eldi tidak lagi muncul. Sementara bola api masih melayang mengikutiku kemana pun aku pergi. Tak lama kemudian, aku mencium bau kayu kering yang dibakar. Dari jauh terlihat bayangan api unggung.
“Akhirnya...,” aku tersenyum bahagia. Tampaknya ada seseorang yang berkemah di sekitaran sini.
Kupercepat langkahku menerjang semak-semak. Tapi, setibanya di sumber cahaya aku tidak melihat orang berkemah di sana. Itu lagi-lagi gubuk tua yang pernah kudatangi. Di depan gubuk itu ada api unggun yang menyala dan seorang lelaki yang sedang duduk sila menghadap api tersebut.
ADVERTISEMENT
Aku mengenali lelaki itu. Dia Pak Jaro, si juru kunci Gunung Pulosari. Aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Kudekati dengan perlahan. Dia bangkit dari duduk silanya sebelum aku sempat menyapa. Pak Jaro menatapku dengan tatapan datar. Aku waspada. Tangan kananku bersiap memegang pisau.
“Kau mau lihat apa yang sudah kau perbuat?” Pak Jaro melangkah menuju gubuk.
Dia menendang pintu gubuk itu. Betapa terkejutnya aku saat melihat Abah Sarta dan nenek Sapinah tewas. Lehernya digantung. Kedua matanya melotot, lidahnya terjulur. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi terhadap mereka berdua.
“Mereka mati karena mencoba menyelamatkanmu,” kata Pak Jaro. Lanjutnya, “Kau beruntung. Kau lahir malam Jumat. Jin di sini tidak bisa melukaimu, tapi dia tidak akan membiarkan kau pergi dari gunung ini.”
ADVERTISEMENT
Mataku jeli memperhatikan gerakan tangan Pak Jaro yang perlahan merogoh sesuatu dari balik punggungnya. Aku mundur beberapa langkah. Benar saja dia mengeluarkan golok.
“Aku harus membunuhmu dan menjadikanmu tumbal agar tidak ada lagi korban jiwa.”
Dua lelaki muncul dari belakang gubuk. Masing-masing dari mereka membawa tali. Aku langsung lari sekuat tenaga menjauh dari Pak Jaro. Mereka bertiga mengejarku.
“Kau harus mati!” teriak Pak Jaro dari belakang.
Aku lari seperti babi hutan saja, menabrak apa pun yang ada di hadapanku. Sesekali aku menoleh ke belakang. Cahaya senter Pak Jaro berayun-ayun semakin mendekat ke arahku. Sengaja kumatikan senterku agar tidak terlihat olehnya.
Seandainya aku harus mati di gunung ini, aku tidak mau mati ditangan Pak Jaro.
ADVERTISEMENT
***
Nantikan cerita Kualat Gunung Pulosari selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten