Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
ADVERTISEMENT
Kupejamkan mata karena tidak sanggup melihat eksekusi terhadap diriku sendiri. Tapi, setelah beberapa saat aku tidak merasakan apa pun pada leherku. Lalu tubuhku jatuh berdebam. Kulihat Pak Jaro dan dua anak buahnya berlutut di hadapanku.
ADVERTISEMENT
“Ampun Nyai...,” gumam Pak Jaro. Aku membalikkan badan. Ada seorang wanita yang berpakaian seperti puteri kerajaan di belakangku.
Wanita itu yang sempat aku serang beberapa hari lalu. Dia tersenyum anggun ke arahku. Berbeda dengan Pak Jaro dan anak buahnya yang ketakutan, aku sama sekali tidak takut pada wanita itu. Malah aku menyimpan dendam atas kematian teman-temanku.
“Ulah dipaehan,” kata wanita itu.
Jangan dibunuh? Kenapa wanita itu malah menolongku?
“Sumuhun Nyai,” timpal Pak Jaro.
Wanita itu lalu menghilang. Pak Jaro dan kedua anak buahnya lari terbirit-birit meninggalkanku yang masih dalam keadaan diikat. Aku berusaha melepas ikatan itu. Tapi, aku tidak bisa karena simpulnya terlalu kuat.
Kudengar suara dengkur babi dari balik semak-semak yang semakin membuatku takut. Ikatan tali ini mustahil bisa kulepas sendiri. Harus ada orang yang menolongku.
ADVERTISEMENT
***
Dua hari aku terkapar dengan keadaan kaki dan tangan diikat. Aku kelelahan. Tenggorokanku sudah tidak kuat lagi untuk berteriak meminta tolong. Tempat itu sepertinya jarang didatangi manusia. Hanya ada kawanan monyet yang memperhatikanku dari dahan pepohonan.
Tiba-tiba seekor monyet melemparku dengan pisang. Aku melihat ke arah monyet itu. Ia bersama koloninya sedang asyik makan di atas dahan pohon. Aku meringsut mendekati pisang yang dilemparkan monyet tadi. Setelah berhasil meraih pisang itu, kumakan dengan lahap berserta kulitnya.
Koloni monyet itu sepertinya senang melihatku makan. Mereka melompat-lompat sambil berteriak ke arahku. Setelah itu, mereka kembali melempariku dengan pisang. Perutku sampai kenyang memakan pisang-pisang itu.
Tak lama berselang, terdengar suara dari semak-semak. Aku waspada, takutnya itu binatang buas di sekitar sini. Aku tidak tahu, mungkin saja di gunung ini masih ada macan atau beruang. Aku meringsut menjauh dari semak itu.
ADVERTISEMENT
“Hai!,” seorang wanita menggendong tas ransel muncul dari balik semak-semak.
“Akhirnya...,” dia mengembuskan napas lega.
Ia terlihat kelelahan. Wajahnya juga pucat.
“Lu siapa?”
“Uswah. Nama gua Uswah, udah dua hari gua nyasar di gunung ini.”
Dia mendekatiku lalu melepas ikatan tali dengan pisau kecil.
“Lu kenapa bisa kayak gini?”
Perempuan itu membantuku bangun. Kedua kakiku ringkih. Dia harus menopang tubuhku.
“Caritanya panjang,” kataku.
Jujur saja, aku merasa lega bertemu dengan sesama pendaki di tempat seperti ini.
“Gunung ini udah enggak aman,” katanya. Lanjutnya, “Semua teman gua mati. Hanya gua yang tersisa."
"Sama," jawabku singkat.
"Gila, teman-teman lu juga mati?" ia terkejut.
"Iya. Ada satu yang katanya masih hidup. Tapi , ia terjebak di alam jin. Oh ya, nama gua Ori."
ADVERTISEMENT
"Terjebak?"
"Iya dinikahi genderuwo."
Uswah bergidik ngeri saat aku menceritakaan yang dialami Mira. Aku mendongak ke langit. Ocos, bola api sialan itu kini tidak lagi mengikutiku. Uswah mengeluarkan HP-nya dari dalam tas. Ia mengarahkan HP itu ke segala arah untuk mencari sinyal.
“Tetap enggak ada sinyal. Lu bawa HP?” tanyanya.
“Hilang. Lagipula HP gua udah lowbet dari pertama naik gunung.”
Uswah berdecak.
“Kita harus segera turun dari gunung ini,” ia memapahku.
“Lu lihat itu,” Uswah menunjuk rerumputan. Ada kembang berwarna putih yang bertaburan di sana.
“Itu kembang melati. Gua ngikutin kembang itu dan ketemu sama lu di sini. Kita ikutin kembang itu aja. Siapa tahu itu jalan pulang.”
ADVERTISEMENT
Aku mengerutkan dahi. Setelah banyak sekali kejadian aneh dan tragis yang kualami, kini aku tidak mau terlalu percaya pada hal-hal mistis seperti itu. Tanpa perlu persetuajuanku, Uswah malah memapahku mengikuti taburan kembang tersebut.
“Gua enggak yakin kalau kembang ini bisa membawa kita pulang.”
“Apa salahnya mencoba,” timpal Uswah.
***
Sampai sore, kami tidak kunjung menemukan jalan setapak. Taburan kembang itu membawaku ke tempat yang tidak pernah kudatangi sebelumnya. Hutan ini berkabut dan membuat jangkauan penglihatanku terbatas.
Uswah menyalakan senter. Ia mengarahkannya ke semak-semak untuk memastikan kalau kembang itu masih ada. Dia berhenti. Kulihat wajahnya terkejut.
“Kenapa?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
Cahaya senter itu ia geserkan beberapa meter ke depan menembus kabut yang tebal. Tampaklah mayat-mayat manusia yang terkapar di hadapan kami. Itu mayat para pendaki, mereka masih mengenakan jaket, tas ransel, dan sepatu gunung.
ADVERTISEMENT
“Jangan disentuh!” kataku saat Uswah mencoba memeriksa mayat itu.
Kami melanjutkan perjalanan melangkahi mayat-mayat itu. Mereka mati dengan mengenaskan. Ada yang lehernya digorok, ada yang bola matanya hilang, bahkan aku melihat kepala yang terpisah dari tubuhnya.
Apakah benar perkataan Pak Jaro kalau para pendaki lain celaka karena ulah kelompokku? Entah kenapa, aku merasa bersalah sekarang.
Kabut semakin lama semakin menguar dan hilang. Kini tidak ada lagi mayat di hadapan kami. Selang beberapa saat terdengar suara gemuruh air dari kejauhan.
“Curug Putri. Itu pasti Curug Putri,” kataku dengan penuh semangat.
Uswah berbinar. Ia kembali memapahku mengikuti taburan kembang melati. Dan, benar saja, itu adalah Curug Putri. Kami senang karena di dekat air terjun itu ada jalan setapak menuju perkampungan warga.
ADVERTISEMENT
***
Nantikan cerita Kualat Gunung Pulosari selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: