Ilustrasi cerita horor Kualat Gunung Pulosari

Kualat Gunung Pulosari: Tersesat di Alam Jin (Part 5)

7 Juni 2020 16:42 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cerita horor Kualat Gunung Pulosari Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita horor Kualat Gunung Pulosari Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
ADVERTISEMENT
“Riki kenapa kita balik lagi ke gubuk ini?”
Riki tidak menimpali perkataanku. Sepertinya dia sedang berpikir keras.
ADVERTISEMENT
“Kompas, Rik. Lu bawa kompas, nggak?” aku berdiri lalu menghampirinya.
“Sebentar,” Riki memintaku untuk memegangi senternya. Dia membuka tas ranselnya untuk mencari kompas.
“Ada, Rik?”
“Wah untungnya gua bawa nih,” ia tersenyum sambil menunjukkan kompas itu padaku.
“Sukurlah,” aku menepuk pundak Riki. Kulirik jam tangan ternyata sudah jam dua dini hari.
Dari balik semak-semak kudengar suara dengkuran babi hutan sedang mencari makan. Aku dan Riki harus selalu waspada karena babi hutan itu bisa saja menyerang kami.
“Kita ke arah mana sekarang?”
“Barat,” kata Riki sambil menyesuaikan arah jarum kompasnya.
Tanpa putus asa, kami berdua kembali berjalan mengikuti arah jarum kompas. Kali ini aku yakin kami tidak akan balik lagi ke gubuk sialan itu. Riki yang berjalan di depanku semakin lama langkahnya semakin cepat. Sampai-sampai aku harus berlari kecil agar tidak tertinggal.
ADVERTISEMENT
“Rik, pelan-pelan jalannya,” kataku.
Riki tiba-tiba berbelok ke kanan, aku tidak dapat melihatnya karena terhalang oleh semak-semak. Riki menghilang, kucari dia sambil menyorotkan senter ke segala arah, tapi tetap tidak ada.
“Rik! Riki!” aku panik, keringat membasahi wajah.
Kudengar dengkur babi semakin mendekat. Semak belukar di hadapanku berguncang, sontak saja aku lari terbirit-birit tanpa arah dan tujuan. Semuanya jadi kacau, aku semakin tersesat di gunung ini.
Lelah, itu yang kurasakan. Kakiku rasanya tidak sanggup lagi untuk berlari. Nafasku terengah-engah, tenggorokanku kering, persediaan air sudah habis. Kulepaskan tas ransel dan melemparkannya ke semak-semak lalu aku berbaring di atas rerumputan yang basah. Kulihat di langit, bulan mengambang dengan tenang. Ah, kalau saja aku tidak pernah ikut dalam pendakian ini, mungkin semuanya akan baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
“Ori....” seseorang memanggilku, itu jelas suara Mira. Entah dari mana arahnya.
“Mir?” kusorotkan cahaya senter ke segala arah.
“Ori sini,” sebuah tangan perempuan muncul dari balik semak-semak. Di pergelangan tangannya ada jam berwarna biru, aku sangat mengenali jam tangan itu milik Mira.
“Mira?” pelan-pelan kudekati lengan itu.
“Sini, Ri.” lengan itu melambai-lambai.
Kudekati lengan itu, bajuku ditarik paksa ke dalam semak-semak. Jelas saja aku kehilangan keseimbangan. Untung saja Mira menahan tubuhku, ia membawaku ke sebuah perkampungan. Aku heran kenapa di gunung seperti ini ada perkampungan yang sangat ramai. Wajah Mira terlihat sangat bahagia, ia bahkan tidak berhenti tersenyum.
“Kita di mana, Mir?”
Kampung itu sedang ramai, orang-orang sibuk mempersiapkan sesuatu. Janur dipasang di depan sebuah rumah gubuk, mereka membawa makanan dan buah-buahan lalu menyerahkannya pada tiga orang wanita yang berjaga di depan rumah. Mereka seperti akan menggelar hajatan.
ADVERTISEMENT
“Gua mau menikah, Ri.”
“Hah, nikah?” jelas saja aku terkejut.
“Iya malam ini,” Mira menatapku sambil tersenyum.
“Ayo, gua kenalin kenalin lo sama calon suami gua. Dia ganteng banget.” Mira menarik lenganku.
“Nggak Mir, kita harus pulang. Sadar Mir, ini pasti bukan alam kita.” aku membujuknya, tapi Mira sepertinya tidak peduli pada ucapanku.
Dia membawaku ke rumah gubuk, tempat hajatan akan digelar. Aku dan Mira masuk melalui pintu dapur. Di dalam sana banyak sekali wanita tua yang sedang sibuk masak. Mereka menoleh ke arahku sambil tersenyum ramah. Mira kemudian membawaku ke dalam kamar. Ruangannya temaram karena hanya ada lampu canting yang menjadi penerang.
“Kenalin, itu calon suami gua.”
ADVERTISEMENT
Aku terkejut saat melihat sosok makhluk besar sedang duduk memandangi lampu canting. Sosok itu berbulu hitam, matanya merah menyala, kukunya panjang, dan juga bertaring.
“Astaga Mira. Ayo pulang!” kutarik paksa lengan Mira.
Itu jelas genderuwo. Mira mau menikah dengan genderuwo? Apa apaan ini? Sekuat tenaga kutarik paksa Mira keluar dari rumah gubuk itu. Namun, kami tidak semudah itu keluar dari kampung, nyatanya di halaman rumah sudah berdiri lima lelaki berbadan besar menatapku denga tatapan tajam. Mereka semua membawa golok.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
___
Nantikan cerita Kualat Gunung Pulosari selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten