Template Story_part9.jpg

Kualat Tol Cipularang: Kematian Meri (Part 9)

30 Desember 2019 11:47 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kematian Meri. Foto: Kiagoos Aliansyah
zoom-in-whitePerbesar
Kematian Meri. Foto: Kiagoos Aliansyah
ADVERTISEMENT
Kuntilanak yang berteman denganku selalu membisikkan sesuatu di telinga setiap malam. Ia mengajakku untuk bunuh diri. Menjanjikan kehidupan yang abadi dan bahagia dengannya.
ADVERTISEMENT
Ah, memang dia benar! Saat ini, aku sudah tidak menikmati kehidupanku. Semua terasa hampa, aku sudah tidak tertarik lagi bergaul dengan teman-temanku, mengobrol dengan keluarga, dan jalan-jalan ke luar kota. Semua sudah tidak menyenangkan lagi bagiku. Kebahagiaanku hanya ketika bersama kuntilanak, apalagi kalau dia tersenyum. Sangat menyenangkan hatiku.
Di suatu sore, aku sedang mengiris tomat. Kuntilanak tiba-tiba muncul dari belakangku. Ia memelukku dan membisikkan ajakan untuk bunuh diri. Aku tersenyum dan membalikkan badan. Ia menatapku dengan penuh kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Iya, mungkin hubungan kami sekarang sudah lebih dari sekadar teman. Dia sudah seperti ibu bagiku, tepatnya ibu kedua.
“Apa aku akan bahagia di duniamu?” tanyaku kepada kuntilanak.
ADVERTISEMENT
Ia mengangguk sambil tersenyum. Aku kemudian mendekatkan pisau ke pergelangan lengan kananku membuat kuntilanak itu kembali tersenyum bahagia. Sesaat sebelum ku iriskan pisau di permukaan kulit. Suara seseorang menegurku.
“Meri! Apa-apaan kamu!” itu Bapak.
Ia merampas pisau dari tanganku sambil mendelik marah, keningnya berkerut.
“Kamu kenapa, Meri?!” Bapak menarik lenganku dan membawaku ke ruang keluarga. Kami duduk di sana.
“Meri, akhir-akhir ini Bapak perhatikan tingkah kamu aneh. Kadang ngomong sendiri. Terus tadi, apa-apaan itu! Kamu mau bunuh diri. Ada apa sebenarnya? Cerita ke Bapak,” Bapak membetulkan posisi kaca matanya dan menatapku tajam.
“Baiklah, aku mau jujur Pak. Aku punya teman gaib.”
Bapak terkejut mendengar jawabanku.
“Siapa?”
“Kuntilanak, Pak.”
ADVERTISEMENT
Bapak menyenderkan punggungnya ke sofa, kemudian geleng-geleng kepala. Dari ekspresi wajahnya, sepertinya ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Kemudian, ia merogoh smartphone-nya.
“Bapak mau apa?” Tanyaku.
Ia tidak menjawab. Dan tetap menunggu seseorang mengangkat teleponnya.
“Halo, tolong hari Rabu kirimkan Psikiater ke rumah saya, ya. Di jalan Adityawarman. Iya, untuk anak saya. Umurnya dua puluh tiga tahun. Oke, saya tunggu.” Bapak berbicara dengan seseorang dari seberang teleponnya.
“Bapak. Aku enggak gila, Pak. Aku beneran punya teman kuntilanak. Dia bahkan sekarang berdiri di samping Bapak!” Jelasku dengan nada tinggi.
Tapi bapak tetap tidak peduli.
“Bapak tahu pasti kamu sedang ada masalah yang nggak bisa diungkapin. Mulai sekarang kamu tidur dengan Ibumu sementara Bapak akan tidur di kamar kamu. Bapak akan terus awasin kamu. Takutnya nanti malah coba bunuh diri lagi.”
ADVERTISEMENT
Jujur, aku tidak terima bapak memperlakukanku seperti ini. Mungkin kuntilanak benar, aku harus bunuh diri saja. Memulai kehidupan baru, di dunia baru. Tapi sayangnya, aku tidak punya kesempatan untuk bunuh diri. Ibu dan Bapak sangat ketat menjagaku, sampai-sampai Ibu yang memandikanku. Mereka tidak membiarkanku sendirian.
Hingga pada suatu malam. Ada tiga orang laki-laki yang mengendap-endap masuk ke rumahku. Mereka bertopeng badut, jaket hitam, celana jeans, dan membawa pistol. Mereka berhasil masuk ke kamar tempatku dan Ibu tidur.
“Jangan sekali-kali berteriak. kami tidak segan-segan membunuh kalian,” kata salah satu dari mereka.
Aku dan Ibu ketakutan. Mereka menggeledah seisi kamar, membuka lemari dan merampas perhiasan emas. Mereka juga meminta kode brankas yang Ibu simpan di dalam lemari. Dengan terbata-bata, ibu menyebutkan kode brankasnya.
ADVERTISEMENT
Ketika mereka sibuk mengeruk uang, buru-buru Ibu meraih smartphone dan berusaha menghubungi polisi. Sialnya, salah satu dari mereka menyadari itu, lalu memberi tahu temannya yang memegang pistol. Segera ia membidik punggung ibu, aku refleks mendorong tubuh Ibu dan peluru itu melesat tepat mengenai dada kiriku.
Nantikan cerita Kualat Tol Cipularang selanjutnya. Biar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten